April 8, 2013

#4 Konsekuensi Idola


4 Ramadhan 1433 H :: 23 Juli 2012 M

Saya pernah membaca tulisan bernada negatif, ‘Tuhan itu melindungi, bukan yang dilindungi. Yang menolong, bukan yang ditolong.’ Dalam Islam, Dia menolong dan melindungi sekaligus memberi jackpot kepada penolong dan pelindung ajaran-Nya. Tetapi bukan karena lemah Dia dibela. Bukan karena rapuh agama-Nya dijaga.

Seseorang yang mengagumi idola akan berusaha menjaga kehebatan idola tersebut, sehebat apapun. Bukan karena dia pemimpin klub fans idola tersebut. Bukan karena keberadaannya sangat berpengaruh pada nama besar idolanya. Bukan karena tanpa dia idolanya akan hancur. Karena bahkan kepergiannya pun tidak berpengaruh signifikan bagi kehebatan idola tersebut.

Dalam dunia manusia, hubungan ini disebut loyalitas. Atas nama cinta, seseorang rela melakukan apa saja demi yang dicinta. Dalam salah satu lirik lagu Afghan yang tidak sengaja saya dengar pagi ini, dikatakan ‘Kan kuberikan yang terbaik tuk membuktikan cinta kepadamu.’ Untuk manusia saja bisa segitunya.

Hari ini saya banyak mengonsumsi berita kebebasan Ariel Peterpan. Puluhan penggemarnya rela datang dan menginap jauh-jauh hari dari luar pulau. Mereka bahkan menjual motor dan harta lain demi menutupi pengeluaran akomodasi di Bandung. Oke, secara bisnis orang-orang ini berpengaruh dalam karir Peterpan. Tetapi sebenarnya, Ariel tidak membutuhkan para fans itu untuk menyelesaikan kasus hukumnya, karena mereka bukan pengacara yang bisa bermain logika hukum untuk membantunya. Tetapi, saat diwawancarai, para fans mengaku mereka lah yang butuh Ariel. Mereka rindu karya-karyanya dan berharap ‘Ariel dapat kembali’.

Well, sebenarnya kasus loyalitas fans dan idola berada di bawah label simbiosis mutualisme. Tetapi hal yang ingin saya tekankan dalam fenomena ini adalah kecintaan Sahabat Peterpan. Seorang yang bahkan terbukti sesalah itu (meskipun yang dibahas selalu soal distribusi, bukan aksi) masih dibela dan ditunggu serta diberi loyallitas. Ada yang bilang loyalitas idola itu bodoh. Beberapa kasus yang diangkat adalah fanatisme Korean holic yang sanggup menangis heboh saat boyband idola mereka terancam bubar atau salah satu personilnya sakit atau bahkan gagal memenangkan festival tertentu. Mereka sangat sangar soal mengidolakan sesuatu, dan saya pernah baca kalau secara psikologis kondisi seperti ini justru memberi banyak hal positif.

Lantas, apakah mengidolakan seseorang masih salah? I don’t think so. Dalam hidup, seseorang membutuhkan public figure, role model. Ada beberapa orang yang benar-benar menginspirasi. Lewat kepribadian, karya, perkataan, juga pikiran mereka. Saya memang tidak pernah merasakan cinta pada idola sebesar para Korean holic yang kena hallyu. Tetapi jujur saya salut pada porsi cinta sebesar itu, dan saya percaya saya juga bisa memilikinya. Tetapi saya ingin alokasi cinta yang berbeda.

Saya ingin, pada Cinta baru saya ini, saya dapat memiliki Cinta sebesar para ELF, Shawol, Cassiopea, Sahabat Peterpan, dan fans club lain. Yang dapat bereaksi saat yang dicinta dilukai, yang rela belajar bahasa Korea agar paham lirik-lirik lagu sang idola, yang rela menabung bertahun-tahun agar dapat menghadiri konser idola. Saya ingin, pada Cinta baru ini, atas dasar Cinta saya belajar bahasa Arab agar komunikasi dalam sholat saya lebih bermakna, juga menabung sejak saat ini agar dapat mengunjungi rumahNya.

Seorang kakak menceritakan kecemburuannya pada tokoh idola yang bercita-cita mengobrol dengan para shahabiyah di surga. Beliau lantas membandingkan hafalan ayat dan hadistnya dengan para shahabiyah tersebut sebelum beristighfar. Saya hanya diam. Dalam hati saya berbisik, “I am so envy.” Memiliki mimpi seperti itu pun saya tak pernah. Orientasi saya sangat duniawi. Dengan alasan childish “Saya bukan Khodijah, Aisyah, Fatimah” saya menghindari keteladanan itu. Padahal saya hanya belum siap berubah. Padahal, bukannya jika seseorang benar-benar Cinta, dia akan rela berubah lebih baik?

Sisi lain saya lalu kembali protes “Berarti itu bukan cinta karena tidak mau terima saya apa adanya.” Namun rasanya ingin tertawa mengingat statement itu. Di dunia ini, tidak akan ada yang akan terima kamu apa adanya. Karena apa yang dilihat manusia tentangmu adalah kebaikan yang Dia tampakkan dan aib yang Dia tutupi.

Saya tidak perlu menuliskan semua aib saya karena mungkin setelah membaca tulisan ini daftar teman saya akan kosong. Intinya, demi kebaikan, berubah itu perlu. Semoga Ramadhan ini membantu perubahan saya, dan semoga kepo-an saya berubah ke arah lebih baik. Hehe.

Berjalanlah walau habis terang, ambil cahaya Cinta ‘tuk terangi jalanmu...

1 comment:

  1. Subhanallah. tulisannya bagus..
    analogi yang sederhana tetapi mengena..
    jujur, setelah membaca tulisan diatas, jadi merenung kembali. sudah besarkah porsi cinta saya kepada Sang Pencipta

    ReplyDelete