April 8, 2013

#14 Love Me, Love My Dog


14 Ramadhan 1433 H :: 2 Agustus 2012 M

“If you wanna be my lover, you gottta get with my friend...” kata Spice Girls dalam lagu mereka. Kalau kata pepatahya western people (entah saying atau idiom atau apalah istilahnya), “love me love my dog”, bukan anjing dalam artian denotatif pastinya. Mereka mengusulkan konsep “jangan cintai saya apa adanya”, karena hubungan manusia tidak hanya berbincang tentang internal pasangan. Ada keluarga dan teman masing-masing pasangan, dan kalau calon pecinta ingin mendekat, dia wajib dekat pada atribut yang dicintai.

Dalam budaya saya, meskipun saya tidak tahu unen-unen-nya apa, hubungan manusia juga begitu. Pernikahan dikenal tidak hanya menyatukan dua hati mempelai, tetapi dua keluarga. Pasangan yang dinilai baik adalah mereka yang sayang atribut pasangannya: keluarga, teman, tetangga, kenalan.

Saya mempercayai konsep itu. Kalau saya menyukai seseorang, saya akan berusaha menyukai atribut orang itu –kegemaran dan kelompok di luar dia yang membentuk identitasnya. Saya jadi hobi jogging tiap pagi semisal orang yang saya sukai hobi olahraga. Saya jadi rajin belajar karena takut terlihat sangat bodoh jika orang yang saya suka adalah juara sekolah. Saya tidak hanya pedekate sama dia, tetapi pada orang-orang terdekatnya. Sok perhatian sama adiknya (yang biasanya jadi sering dapat rezeki sogokan), tanya-tanya soal keluarga dan main ke rumahnya, ikut kumpul sama temen-temennya, dan kalau positif, ikut ngaji dengan si dia.

Saat seseorang disukai pun, dia akan berharap orang itu melakukan hal yang sama. Karena kelak dia tidak hanya harus menerima pasangannya secara single, kecuali dia hanya bisa bermain-main tanpa mengenal kata komitmen dan keseriusan. Parameter kecintaan seseorang dapat dilihat dari sejauh mana orang tersebut mengusahakan cinta mereka. Termasuk dalam mendekati dan mencintai atribut yang dicintainya.

“Itu bukan cinta, tapi membentuk cinta!” protes seorang teman yang percaya segalanya harus dibiarkan mengalir seperti air sungai. Padahal, bukankah air sungai pun tidak sepolos itu, mengalir begitu saja? Kalau sungai kotor, harus ada pembersihan agar alirannya kembali lancar. Tidak ada yang benar-benar bisa dibiarkan mengalir begitu saja. Kalau proses penyesuaian dianggap menodai cinta sejati, saya pikir seharusnya bayi tidak perlu belajar bahasa manusia dengan keyakinan bahasa apapun yang digunakan, ia akan diterima apa adanya, tanpa usaha penyesuaian.

Memaksa orang mencintai komunitas dan hobi kita bukan memaksa mereka tidak menjadi diri mereka. Karena komunitas dan hobi itu adalah refleksi identitas kelompok seseorang. Bangsa barat yang dikenal berbudaya indivudualis saja berkonsep “love me, love my dog”, terlebih bangsa Indonesia yang dikenal kolektivis. Memaksa mencintai atribut bukan berarti memaksa pasangan memiliki atribut yang sama –karena pasti sangat tidak seru, seperti harapan saya tidak memiliki suami penulis fiksi– tetapi memberi ruang pemahaman baginya untuk mengenal kita dari sudut pandang lain.

Ketika saya mendeklarasikan embrio cinta pada The Prophet SAW, saya dihadapkan pada komitmen mencintai atributnya. Kalau kata seorang teman, “Wujud kecintaan pada Rasul adalah nyunnah.” Mencintainya berarti melaksanakan nasihat-nasihatnya dalam pembumian Kitab dan mencintai orang-orang yang dekat dengannya. Saya yang banyak tanya di bawah jaket kelogisan sebenarnya hanya tidak benar-benar mencintainya. Karena nyunnah akan terlihat kurang keren dan membicarakan sahabat-sahabatnya pun tidak membantu skala popularitas saya meningkat.

Di era tablet ini, susah sekali mencari mereka yang mau berdiskusi tentang hadist dan mencintai Umar ra. Atau mungkin saya hanya belum bersungguh-sungguh mencari dan mengusahakannya, karena seperti quotes di sebuah novel, “Orang sukses adalah mereka yang menemukan situasi yang mereka inginkan dalam hidup. Dan jika mereka tidak menemukan, mereka menciptakannya.”

Kemarin seorang teman bertanya, “Memangnya bisa ya, merindui sosok Rasul? Memangnya pernah ketemu?” Jawab saya, “Bisa” dengan penjelasan tidak memadai soal perasaan. Sebenarnya, saya simply bisa merindui suatu sosok saat harapan ditampar kenyataan yang menyesakkan. Seorang teman menulis saya pernah punya buku impian berjudul “Merindu Umar”.

Apakah teman saya pernah bertemu Umar? Tentu tidak, karena dia masih muda (dan cantik) dan penciptaannya ke bumi bahkan mungkin belum direncanakan saat itu *jk. Tetapi kerinduannya pada sosok Umar lahir dari kekecewaannya pada kepemimpinan yang ngetren saat ini, ketika sangat sulit menemukan pemimpin yang mau menyamar, survei malam tanpa pengawal, langsung bertemu rakyat, bahkan memanggul karung gandum untuk mereka. Untuk bisa bersalaman dengan Pak Bupati saja rasanya ih wow sekali saat ini.

Dulu saya buta informasi tentang Abu Bakar, Umar, Usman, Salman, Abu Dzar, Ali, dan sahabat lain yang subhanallah itu. Pengetahuan saya tentang mereka adalah warisan masa lalu hasil mendongeng Bapak dan Ibu saat saya kecil –yang beberapa detilnya sudah saya lupakan. Padahal saat saya naksir seseorang, beberapa ‘mata-mata’ saya bekerja tidak hanya untuk kepo tentang dia, tetapi juga teman-temannya dan aktivitasnya.

Saya pernah agak serius soal ‘sahabat keluarga’ dengan beberapa teman. Jadi, saat kami menikah kelak, suami atau istri kami seyogyanya tidak mengintervensi hubungan persaudaraan yang telah terbentuk sebelum bertemu mereka. Bahkan, sepatutnya mereka pun berteman dengan teman-teman kami. Kalau pada pertemanan yang belum pasti kedudukannya di mata Dia saja saya segini ngototnya, kenapa saya masih belum bisa ngotot mencintai atribut The Messanger?

Elemen pembentuk identitas sangat penting. Muhammad didefinisikan sebagai utusan Allah, suami Khadijah++, sahabat Abu Bakar++, pemilik kata-kata dalam kitab As-Sunah, pemimpin tertinggi dalam jama’atul muslimin manapun. Seharusnya saya bisa mencintai Allah, Khadijah++, Abu Bakar++, kitab As-Sunah, semua jama’atul muslimin, dan atribut panjang lain yang untuk mereka seharusnya saya paham kenapa saya ber-sholawat. Bukan karena kebiasaan tanpa makna sebagai pembuka pidato, melainkan wujud kecintaan pada mereka sebagai bagian dari Cinta. Wallahu’alam.

No comments:

Post a Comment