April 8, 2013

#19 Cinta Tanpa Modal


19 Ramadhan 1433 H :: 7 Agustus 2012 M

Hari ini saya dapat kesempatan buka puasa tidak berbayar lagi, alhamdulillah. Kali ini dengan seorang kakak yang memberi tawaran menulis berbayar. Pada awalnya saya terima tawaran itu mengingat anjuran bekerja dunia yang harus diseimbangkan dengan kerja akhirat. Intinya, saya ingin belajar kerja berbayar. Karena pikiran childish saya yakin akan lebih keren saat beramal dari kantong sendiri yang benar-benar hasil keringat sendiri, bukan dari uang saku bulanan.

Tetapi niat saya ternyata masih sering batuk-batuk. Saya selalu sebal pada mereka yang menasihati saya untuk menjadi enterpreneur, karena Muhammad adalah pebisnis teladan dan niaga menjanjikan pintu rezeki terbanyak. Tapi saya masih maju mundur karena merasa bisnis bukan ladang saya. Karena saya akan menjadi pedagang paling moody seantero kabupaten (terbukti dengan para pembeli pulsa yang lebih sering meminta saya segera mau dibayar). Mungkin saya memang tidak cocok berbisnis begituan, tapi karena dunia beginian memang challenging dan kadang saya suka tantangan, pada akhirnya saya jadi berkeinginan usaha sesuatu.

Sebenarnya saya jadi seperti ini salah satunya karena sosok itu. Dia sangat kaya tetapi tidak sombong dan hobi bermewah-mewahan. Bahasa kerennya, dia itu zuhud sekali. Bukan miskin. Dengan pendapatan sebanyak itu, kecintaan pada Dia membuat harta itu mengalir di jalan langit. Seorang dengan materi lebih memiliki kesempatan lebih banyak membuktikan kesungguhan cintanya, kan?

Sebenarnya saya bukan perempuan materialistis, tetapi saya berdoa untuk sosok yang mampu menafkahi sebagai calon pendamping saya. Bahkan salah satu tahap perkenalan yang penting sebelum pernikahan tidak bisa lepas dari pengetahuan ekonomi pasangan. Kalau kata orang tua di drama-drama, “Mau dikasih makan apa anak saya? Cinta saja tidak cukup, anak muda!”

That’s it. Cinta yang berhenti pada kata-kata tidak cukup meyakinkan. Saya percaya tidak ada perempuan yang mau disunting laki-laki tanpa modal. Karena jika untuk menghidupi diri sendiri tidak bisa, bagaimana bisa menafkahi pendamping? Dan cita-cita beramal dalam jalan langit menjadi semakin sulit tercapai. Teman-teman saya yang mengakhiri hubungan mereka (both taaruf dan pacaran) biasanya kecewa pada kesungguhan dan komitmen pasangan. Well, mereka selalu bersaksi “kamu lah satu-satunya” dan seterusnya, tetapi tidak ada realisasi materi. Tidak pernah nraktir makan, nonton, uang bensin minta, jarang ada pulsa, terlebih membelikan. Persaksian “kamu lah satu-satunya” tidak bisa membeli cinta.

Jika saya berharap pecinta bermodal untuk mendampingi saya, seharusnya saya juga begitu, kan? Mempersembahkan kepunyaan saya untuk membuktikan Cinta. Toh dengan janji langit, saya hanya butuh percaya dan berusaha. Berapapun yang saya dapat, setidaknya saya telah membuktikan kesungguhan Cinta saya. Persaksian saya bahwa Dia lah satu-satunya tidak cukup berarti sebelum saya membuktikannya.

Tuhan tidak meterialistis. Saya hanya tidak mau dianggap pecinta tanpa modal. Yang hanya bisa obral janji dan persaksian, menerima Cinta, tanpa mau benar-benar memberi.

No comments:

Post a Comment