April 8, 2013

#1 Yang Mahabaik, Yang Terlupakan

Menjelang Ramadhan.. Tiba-tiba(?) pengen share tulisan tahun kemarin :)

1 Ramadhan 1433 H :: 20 Juli 2012 M

Prolog: Ini tulisan yang akan sangat subyektif, karena berkaitan dengan pencarian cinta sejati seseorang. Thus, no offence, please :D

Awal Ramadhan kemarin alhamdulillah saya diberi lagi rasa itu. Ralat. Mungkin untuk pertama kalinya saya jatuh cinta seperti ini. Ar Rahman, Ar Rahim. “Dia itu Maha Pemurah, bukan Maha Pemarah,” kata seorang teman mengawali curahan hatinya. “Selama ini saya kalau sholat cuma ritual. Nggak ada rasa. Sekedar menggugurkan kewajiban, karena saya yakin orang yang sholatnya nggak bener nantinya masuk neraka,” katanya lagi.

Ingatan saya berhenti pada masa kecil saya sebagai anak TPA. Kata Ustadz, di neraka, kepala orang yang tidak sholat akan dipukul dengan bola besi berduri sampai hancur. Lalu kepalanya akan kembali utuh untuk dihancurkan kembali, dan seterusnya.
Bagi anak SD seperti saya kala itu, bayangan kekejaman Tuhan membuat saya takut untuk meninggalkan sholat. Bahkan dulu saat kecil, saya tidak pernah bisa tidur tenang sebelum sholat atau terlambat. Pernah sekali dua kali saya berpura-pura kelupaan sholat. Tetapi saya tidak bisa tidur dan hanya gulung-gulung nggak jelas di kasur sebelum akhirnya saya ‘menyerah’ dan sholat. Tapi, itu dulu... Saat teman saya bercerita, hati saya mengamini dan berbisik ‘Gua banget...’ Bukan bermaksud bangga. Saya justru sedih kenapa saat ini bahkan ritual saya tidak berlandaskan ketakutan –hanya sesekali. Rasanya bisa merasakan ‘belaian Tuhan’ seperti kisah teman saya akan sangat mustahil.

Tapi, (alhamdulillah) itu dulu... Teman saya menjelaskan alasan pertama kali dia jatuh hati pada-Nya. Saya pikir ini konsep umum yang dapat berlaku bagi siapa saja, maka saya coba. Dan saya sadar, saya hanya tidak pernah menyadari selama ini ada yang benar-benar mencintai saya apa adanya. Pun saat saya tersadar, tidak ada usaha saya untuk mengenal Sosok itu. Terlebih membalas Cinta-Nya. Padahal selama ini Dia sudah berikan terlalu banyak untuk saya. Keluarga baik dan harmonis, lingkungan belajar dan bergaul yang kondusif, dipertemukan dengan orang-orang hebat, fisik tanpa cacat. Saya terlampau malas dan sering lupa untuk berterima kasih.

Untuk nafas hari ini, sahur hari ini, suasana pagi ini, agenda hari ini, tamu hari ini, sholat jamaah hari ini, kesehatan hari ini. Jika tidak ada lafal ‘alhamdulillah’ dalam bacaan sholat, mungkin saya akan lebih sering melewatkan kesempatan berterima kasih pada-Nya. Segenap kebaikan langit menjadi kecil di hadapan kesombongan saya. Saya bahkan menyebut mereka yang beradab dengan gemar berterima kasih sebagai orang lebay. Padahal saya selalu merasa terganggu saat tidak menjumpai senyum atau kata ‘terima kasih’ setelah berbaik hati pada orang lain.

Menurut saya ini bukan soal pamrih, tetapi adab sebagai manusia yang sopan. Tetapi kepada Dia yang memberi hidup, ternyata saya jauh lebih tidak sopan. Saya sebal saat seseorang meminta tolong pada saya tanpa menyebut kata ‘tolong’. Menurut saya itu perintah, bukan permintaan tolong. Menjadikan saya (seolah) inferior. Tetapi di lain sisi saya terlampau sering memerintah-Nya. Doa ‘layak’ saya sangat sedikit karena saya lebih sering memberi perintah mendadak untuk Dia. Saat sedih, tiba-tiba saya menyuruh Dia menghentikan masalah saya atau beri saya kekuatan. Padahal saya sedang bertamu di bumi-Nya. Dalam hukum manusia, tamu yang hanya datang untuk meminta dan mengeluh tetapi tidak pernah berkunjung untuk sekedar menyapa dan berterima kasih disepakati tidak sopan. That’s me.

Ayah saya meninggal satu tahun lalu. Kepergian beliau memaksa saya mendekat pada-Nya, untuk berdoa sebagai anak biasa (yang mungkin tidak cukup sholehah untuk dikabulkan). Saya menjadi cukup dekat dan mulai menyadari Cinta-Nya tidak pernah hilang dari hidup saya. Tetapi siklus permanen seolah hanya menjadikan magnet saya mendekat pada-Nya saat sedang berduka. Cerita-cerita kecil teman saya yang menjadikan saya sadar siapa Cinta Sejati itu.

Yang selalu menyaksikan tangis saya meskipun tidak pernah saya berbagi tawa dengan-Nya. Yang selalu memberi bahkan tanpa kata ‘tolong’ saya ucapkan. Yang sering saya nomor sekian-kan tetapi masih bersedia menoleh pada saya. Yang terus memberi kebaikan-kebaikan kecil meskipun tidak saya sadari. Dalam hubungan pasangan , detail-detail kecil seperti pesan penyemangat di kulkas, masakan istri setiap hari, rumah bersih setiap pulang kantor, kaos halus dan wangi untuk mancing, bahkan sekedar celotehan ringan pelepas suntuk, terkadang menjadi kenangan romantis untuk dikenang. Tetapi keteraturan menjadikannya hal biasa yang luput dari terima kasih. Kecuali bantuan orang terdekat itu diberikan pada momen spesial, tidak ada ucapan terima kasih untuknya.

Bagaimana dengan detail-detail kecil-Nya pada saya? Sebenarnya hal-hal yang menurut saya remeh temeh ini tidak pernah sesimpel itu. Nafas yang masih berhembus setiap bangun, matahari yang menerangi setiap hari, hujan yang membasahi bumi setiap turunnya. Saya tidak pernah berterima kasih untuk pemberiannya itu. Dan saya yakin saya akan game over tanpa mereka semua. Saya sangat suka pesan dari seorang teman: “Saat kau minta hujan dan Dia justru memberimu sinar surya yang sangat terik, kenapa kau marah? Bukankah matahari akan menguapkan air, menaikkannya ke atas, dan memrosesnya untuk kembali turun sebagai sesuatu yang kau sebut hujan?”

How could I be so blind? Dia bukan tidak pernah membalas pertanyaan dan ‘suruhan’ saya. Dia hanya punya cara yang ‘tidak manusiawi’ untuk menjawabnya. Dan jika ini drama Korea, saya akan menggumam ‘so sweet’ menghadapi sosok cool penuh kharisma seperti ini, berharap menemui sosok serupa dalam kehidupan. Padahal saya sudah memiliki-Nya. Saya hanya kurang pandai membaca bahasa kasih-Nya. Dan hari ini, alhamdulillah, saya rasa saya mulai merasakan belaian-Nya dalam sujud dan doa.

Saya tidak mau mendekat penuh ketakutan padanya. Takut akan kuasa dan kebesaran-Nya memang bagian dari iman. Tetapi ketakutan milik saya tidak sebaik itu, dan jika hanya bermodal ketakutan, saya tidak akan pernah menikmati peribadatan ini. Sujud saya hanya akan penuh ketakutan bayangan bola besi berduri, bukan kekhusyukan penuh bahagia bertemu Kekasih tercinta. Bukankah salah satu hakikat sholat adalah sebagai istirahatnya para mukmin? Di antara tumpukan kepalsuan dunia, saya ingin meyakini dan menjalani Cinta ini sepenuhnya. Bismillah.

No comments:

Post a Comment