April 8, 2013

#12 Linguist yang buta huruf


12 Ramadhan 1433 H :: 31 Juli 2012 M

Sudah hampir masa menyusun KRS, dan saya yang galauan masih memikirkan Literature atau American Study. Ada penjurusan (namanya mainstream) lebih spesifik saat memasuki semester kelima di jurusan kuliah saya. Empat mainstream yang harus dipilih; Linguistik, Penerjemahan, Sastra, dan Kajian Amerika. Saya kurang berminat pada dua opsi pertama, tetapi sampai hari ini saya masih memikirkan Sastra meskipun 80% keyakinan menuntun saya memilih Kajian Amerika. Tapi pada akhirnya, saya memantapkan diri ke salah satu jurusan mengingat nasihat dosen saya.

“Kecuali kalian mau jadi dosen, mainstream nggak terlalu penting.”
Well, saya memang belum berkeinginan mengajar, tetapi saya rasa memilih mainstream lebih pada memilih fokus subyek apa yang ingin dipelajari, seperti kata teman saya.
Sebenarnya saya jadi ingat mainstream karena sosok itu lagi. Dia bukan mahasiswa dari mainstream Linguistik, tapi kemampuan bahasanya luar biasa. Dia bisa ubah struktur kalimat complex jadi simplex, dia bisa berkomunikasi efektif dengan pengubahan bahasa sesuai register yang tepat, dia bisa aplikasikan semua teori Linguistik –yang bikin kuliah saya suram– dan terkesan tidak sesulit itu.

Bahasa mencerminkan budaya, sekaligus peradaban. Kemampuan berbahasa mencerminkan perilaku, karena ‘orang-orang bahasa’ biasanya lebih sensitif pada pesan-pesan yang sengaja disimpan dalam bahasa –dan mereka menikmati permainan bahasa. Sayang sekali, belakangan ini mereka yang pandai berbahasa tidak menggunakan kemampuan itu seperti dirinya. Hakim dan pengacara yang hobi main bolak-balik pasal, pelawak yang sometimes justru keraskan hati, politikus yang persuasif di masa-masa kampanye dan mendadak amnesia saat menjabat.

Seorang sahabatnya bilang, dengan kemampuan bahasanya, dia mampu pindahkan pedang lawan di lehernya ke leher lawan dalam lima menit –bahkan kurang. Dengan kelembutan bahasanya, para orang keren yang dulunya sangar jahat jadi sangar baik dalam barisannya. Dengan ketegasan bahasanya, dia tetap dihormati para pemimpin disbelievers meskipun bukan bagian mereka. Sepertinya saya sudah pernah bilang kalau dia ummi, kan? Tapi dia dikenal sebagai penyusun perjanjian terbaik di dunia. Saya percaya, karena saya sudah baca perkataannya yang dituliskan (baca ini, haters pasti langsung bilang: yakin itu tulisannya?).

Sepertinya memang tidak ada kartu nama penulis di kotak cinta saya. Karena Cinta dari langit dan Cinta pertama saya di bumi tidak pernah benar-benar menulis, meskipun ajaran itu diabadikan dalam tulisan terindah yang jadi buku favorit saya.

Setahu saya, syahadat itu satu paket: mengakui Dia dan dia, bukan Dia saja atau dia saja. Kalau dulu para pemuka agama menolak –atau menunda persaksian mereka, menurut saya bukan karena mereka tidak paham. Mereka justru sangat paham konsekuensi di balik persaksian itu, makanya mereka mikir-mikir (yang menurut-Nya kelamaan karena akhirnya batal bersaksi dan do nothing) sebelum menyatakan Islam. Saat sudah mengakui paket Tuhan dan utusan-Nya, sedikit keraguan atas mereka bisa jadi dianggap membatalkan persaksian, atau –kalau ini pasti– melukai esensi persaksian.

Saat saya sudah meyakini dia sebagai utusan, seharusnya saya percaya, kan? Kemampuan yang Dia lebihkan untuknya lah yang jadikan dia sanggup menyampaikan ajaran besar, meskipun dia hanya pedagang, gembala yang buta huruf. Namun bukannya aneh seorang yang buta huruf dapat menciptakan kitab semulia Al Qur’an, jika mereka berpikir firman-Nya adalah tulisannya? Saat mereka yang mengaku percaya tulisan langit tapi berusaha mengamandemen –atau sedikit customize ajaran langit, bukankah itu menunjukkan keraguan atas Tuhan dan utusan-Nya?

Dia adalah penduduk bumi yang dilebihkan agar dapat dijadikan contoh. Dia yang buta huruf, mampukah menulis 114 surat menjelaskan hubungan vertikal dan horizontal manusia? Dia yang menghabiskan masa muda dengan berdagang, mampukah menulis hukum dalam bahasa langit, ketentuan perang, bahkan pengaturan semesta? Dia yang bahkan terkenal karena kebesaran yang ‘ditularkan’ istrinya, mampukah menciptakan syair-syair penghimpun pengikut skala dunia hanya dengan tiga hari menyendiri di atas gunung?

Dia bukan penyair, pendusta, atau pendongeng cerita raja-raja. Dia laki-laki buta huruf dengan kemampuan bahasa yang dilebihkan agar dia dapat dijadikan teladan. Agar yang tinggi tidak angkuh, dan yang rendah tidak rubuh. Seperti saya. Astaghfirullah.

No comments:

Post a Comment