April 8, 2013

#17 Kebebasan Itu...


17 Ramadhan 1433 H :: 5 Agustus 2012 M

Hari ini saya dan teman-teman nulis di majalah alhamdulillah berkesempatan mengunjungi sekolah alternatif di Salatiga. Sebelum ke sana saya sempatkan browsing tentang sekolah alam yang internationally acknowledged itu, dan konsep sekolah yang ada dalam kotak imajinasi saya adalah sekolah menyenangkan ala kisah Toto Chan. Tetapi ternyata sekolah –yang lebih sreg disebut kelompok belajar– yang kami kunjungi memiliki stok kebebasan yang jauh lebih banyak dari sekolah Toto Chan.

Abstrak adalah kata pertama yang mengonsep sekolah alternatif itu dalam benak kami sejak awal hingga akhir perbincangan dengan bos besar kelompok belajar itu. Tidak ada jadwal pelajaran. Tidak ada daftar pelajaran. Tidak ada seragam. Tidak ada jam dan hari masuk, kecuali kumpul bersama tiap habis Dhuhur. Mereka bebas membaca, menyanyi, menulis, main gitar, internetan, atau sekedar share ide proyek dalam waktu dan tempat bersamaan. Tidak ada kelas, hanya satu aula besar yang digunakan sebagai tempat kumpul dan segalanya. Tidak ada ujian atau tes dan bentuk evaluasi pada umumnya, kecuali sharing individu tiap Senin pagi.

Saat ditanya ukuran keberhasilan siswa, jawabnya: kemandirian, yang dimanifestasikan dalam produksi karya. Menjadi anak-anak produktif yang mandiri. Guru dilarang mengajar dan berfungsi hanya sebagai pendukung dan pendamping, bukan fasilitator. Saya bisa yakin produktivitas mereka bukan hoax dari tumpukan buku, komik, film, kompilasi lagu, juga lukisan karya santri sekolah ini –yang sayangnya tidak menjiwai konsep local genius yang mereka usung. Sayangnya lagi tidak banyak siswa mereka yang hadir hari itu, jadi saya belum benar-benar memahami konsep pendidikan sekolah ini. Pada dasarnya, konsep yang dikembangkan didasarkan pada kebebasan dan kesadaran peserta didik. Dengan ‘keliaran’ itu, hanya satu konvensi yang mereka miliki: dilarang merugikan diri sendiri dan orang lain.

Saat para pendidik mengampanyekan sistem pendidikan bebas, student-centered, dan kebijakan pemaksimalan potensi siswa lainnya, saya percaya adanya konstitusi yang tetap mengaturnya. Ada aturan main, target yang ingin dicapai, dan evaluasi. Pengekangan kah? Tidak juga, karena dalam prosesnya pilihan potensi yang ingin dikembangkan sepenuhnya di tangan siswa. Saya dan teman-teman sempat diskusi banyak soal kunjungan ini, dan ikatan hati kami terbukti dengan pendirian kami untuk tidak membentuk kelompok belajar dengan konsep yang sama. Kami percaya dalam komunitas apapun anjuran dan larangan masih eksis. Kami percaya, saat ingin sukses, target nyata harus ditetapkan bersama. Dan kalau konsep bebas benar-benar seliar dan abstrak itu, saya rasa opening statement iklan 3 oke banget dengan kondisi ini.

Kadang saya merasa, konsep kebebasan seperti itu dilahirkan sebagai pembenaran nafsu. Soalnya saya sering begitu, in the name of liberty, bilang semua fine dan justifiable untuk dilakukan. Katanya bebas bertanggung jawab, dengan batasan ‘tidak merugikan orang lain’. Padahal parameter ‘merugikan’ akan sangat relatif. Menurut teman saya, berbicara keras dengan aksen ABG yang nggak pantes is okay, tapi menurut saya itu merugikan saya. Apakah saya yang lebay atau dia atau keduanya, akan sangat relatif.

Tapi, in the name of liberty, kami berdua berhak merasa dirugikan. Dan kalau manusia benar-benar boleh sebebas itu, kenapa Dia ciptakan agama-agama? Kenapa Dia turunkan penyampai pesan? Kenapa Dia bacakan ayat-ayat langit? Padahal saya tahu jawabannya: untuk mengatur. Tapi saya yang tidak mau diatur selalu membenarkan nafsu saya, in the name of liberty.

Kembali ke sekolah bebas tadi, saya sempat membandingkannya dengan komunitas-komunitas lain yang pernah saya kunjungi juga. Fokus mereka memang beda (pemberdayaan masyarakat desa, mahasiswa, anak jalanan, hingga PSK), tetapi masing-masing capaian mereka cukup tinggi. Hanya saja manajemen kebebasan yang menjadikan output mereka sangat berbeda. Kelompok dengan aturan, visi misi, dan target paling nyata bukan berarti tidak menyediakan kebebasan. Ibaratnya, komunitas ini adalah yoyo yang ditarik-ulur oleh pemainnya. Tidak sepenuhnya terulur jatuh atau digenggam tanpa pernah diayunkan.

Dan soal kebebasan seperti ini, saya jadi ingat Rasulullah. Beliau memainkan yoyonya dengan sangat baik. Dalam mengelola pasukan, tidak ada pengekangan atau kebebasan sebebas-bebasnya (yang abstrak sekali). Perbedaan karakter sahabat diterimanya dengan kelapangan disertai kebebasan pengembangan potensi yang berbeda-beda. Tetapi dalam pengembangan itu para sahabat berlari di bawah aturan langit (Quran) dan pembumiannya (sunnah). Konsep seperti inilah yang (sebenarnya) saya inginkan. Bukan bebas sebebas-bebasnya. Pun batasan bebas yang diciptakan di bawah pembenaran nafsu manusia.

Bukankah dia adalah uswah terbaik? Kenapa saya masih enggan meneladaninya? Bukankah Dia membacakan ayat langit bukan hanya untuk keren-kerenan via SMS tausyiah atau status dan catatan facebook seperti ini? Tetapi kenapa saya masih berbangga pada selain contoh mereka? *istighfar*

No comments:

Post a Comment