April 8, 2013

#8 Cemburu


8 Ramadhan 1433 H :: 27 Juli 2012 M

Saya memang tidak pernah benar-benar suka atau benci sama manusia (sejauh ini), tapi tingkatan paling lumayan dari rasa suka saya sama orang-orang itu adalah saat saya bisa mencemburui orang lain yang lebih dekat atau didekatinya. Dulu saat saya belum mengalami sendiri perasaan ini, menurut saya apaan banget sih, cemburu-cemburuan. Tapi akhirnya saya tahu bahwa emosi bernama cemburu ini wajar hadir saat seorang yang kita cintai memiliki porsi cinta yang lebih pada orang lain. Poinnya adalah: bukan saya.

Saat kecil, saya suka cemburu pada kasih sayang orang tua yang sepertinya lebih banyak untuk kakak, bukan saya. Kakak lebih sering mendapat barang baru karena barang lamanya yang masih bagus akan secara otomatis menjadi hak milik saya. Kakak lebih sering diajak kalau ayah dinas ke luar kota. Ibu saya bahkan dipanggil “Mama Siti” (Siti nama kakak saya), bukan “Mama Esty”. Saya yang childish dan penuh cemburu segera berpikir kalau saya anak pungut dan seterusnya (yang hobi lihat sinetron pasti tahu jalan pikiran saya yang sering dinarasikan para sineas).

Saat mulai mengenal pertemanan, terkadang saya juga cemburu. Pada teman baru yang menjadikan saya dilupakan. Pada kedekatan lebih si K yang menurut saya seharusnya lebih dekat ke saya, dan seterusnya. Bahkan saat saya berkenalan dengan ikatan bernama ukhuwah islamiyah pun, saya kadang cemburu dengan perlakuan berbeda para ikhwah. Ukhti A lebih ramah sama B karena B mengemban amanah yang lebih penting. Akhi H lebih bermanfaat sama Akhi T karena mereka satu amanah penting.

Saat naksir lawan jenis, saya juga pernah cemburu. Hanya dua kali sih, tetapi dengan alasan yang sama: karena kedekatan dia yang lebih pada perempuan lain, kebaikannya yang lebih pada perempuan lain, dan eksistensi perempuan lain yang lebih di matanya. Maaf kalau saya pernah manusiawi. Tapi saat itu saya rasa saya cemburu, dan kecemburuan saya melahirkan dua energi.

Energi positif menjadikan saya ingin lebih bermanfaat dan berarti untuk orang tua, teman, saudara, dan dia. Energi negatif membuat saya sebal pada orang tua, teman, saudara, dan perempuan tak bersalah itu. In the name of love, saya bisa melakukan apa saja kalau cemburu (both positive and negative). Sayangnya, saya tidak pernah cemburu pada-Nya dan merasa dicemburui oleh-Nya.

Alhamdulillah, saya bisa merasakan hawa kompetisi putih di sekitar saya. Banyak orang berlomba dalam kebaikan. Terlepas dari penglihatan siapa yang ingin mereka capai, mereka tampak berkejaran menuju tangga Cinta-Nya. Tapi saya tidak cemburu. Saya justru duduk-duduk dalam dalih “tidak mau kelihatan”. Padahal saya hanya manja dan berharap Dia yang mendatangi saya. Padahal saat perempuan lain tampak mendekatinya saja saya pasang kuda-kuda dari jauh, kenapa dengan rombongan pelari menuju hati-Nya saya tidak tergerak?

Jika mereka yang rela bangun tiap dini hari dalam dingin angin dan air demi bertemu Kekasihnya itu menerima lebih dari saya, pantaskah saya cemburu? Jika mereka yang berbicara dalam kesopanan pada-Nya, senantiasa mengingat Cinta mereka dalam duduk, diam, bahkan tidur itu lebih dulu doanya dijawab daripada saya, pantaskah saya cemburu? Tentu tidak. Tapi sayangnya saya tidak cemburu bukan karena tahu diri, tetapi karena ternyata saya tidak pernah secinta itu.

Oke, saya mungkin belum secinta itu pada Dia. Tapi mempertanyakan Cinta-Nya sungguh tidak pantas. Katanya, cinta itu memberi tanpa mengharap dibalas. Cinta itu tersenyum meski telah tersakiti. Cinta itu menunggu meski telah dikhianati. Cinta itu percaya meski telah banyak dusta. Dia juga begitu pada saya, kan? Dia masih memberi rezeki, meskipun saya jarang bersedekah dengannya. Dia masih menunggu kebaikan saya di bumi-Nya meskipun saya tidak pernah berniat melakukannya. Dia masih percaya saya bisa menjadi khalifah fil aard meskipun bahkan memimpin diri saya saja masih payah. Dia masih terus beri saya kekuatan untuk mencintai-Nya meski saya sering selingkuh dan menyekiankannya. Poinnya adalah: Dia masih.

Untuk semua itu (bahkan lebih), bukankah Dia pantas cemburu? Sebenarnya, harusnya saya tidak pantas merasa dicemburui. Tapi rasanya menyeramkan sekali memiliki Cinta sebesar itu tanpa ada secuilpun rasa cemburu. Setelah berulang kali memanggil dari TOA yang berbeda, pada masjid ke berapa saya akhirnya beranjak dari TV di depan saya saat adzan? Padahal satu kali panggilan SMS si dia segera menyedot perhatian saya. Belakangan saya bahkan lebih percaya pada kata motivator mahal dan politisi pengusung isme modern daripada tulisan dalam kitab-Nya yang kata mereka “perlu diamandemen”. Dia yang memberi saya semua, bahkan tanpa saya minta, tetapi saya justru meninggalkannya. Ibarat drama-drama, Dia adalah tokoh protagonis yang selalu diabaikan saat bahagia dan menjadi pelarian saat duka.

Tokoh-tokoh itu, dalam semua cerita, memiliki kecemburuan, meskipun tidak semua ditampakkan. Saya percaya tulisan dalam buku-Nya yang menunjukkan betapa Dia memiliki potensi cemburu. Seharusnya sebagai bagian ummat ini, saya harus lebih was-was dan setia karena kecemburuan-Nya tidak segera ditampakkan di dunia ini. Tidak seperti ummat Nabi yang lain, yang dapat segera merasakan kecemburuan-Nya ketika Dia diduakan atau diabaikan.

Seperti pernyataan Yusuf Mansyur, bahwa ummat Muhammad adalah yang paling lengkap maksiatnya karena akumulasi dari maksiat ummat-ummat dulu. Beliau menyebutkan kejahatan ummat Nabi Syuaib yang gemar korupsi serta umat Nabi Luth yang mendukung hubungan sejenis. Entah apa yang dijadikan parameter dosa bangsa ini, tetapi saya yakin cerita pada Al Qur’an tentang adzab pada dua bangsa itu bukanlah dongeng ciptaan Muhammad.

Saya hidup sebagai ummat Muhammad di tengah kaum Nabi Syuaib dan Nabi Luth, dengan adzab yang ditangguhkan, dengan Cinta yang terus tercurah dalam kesetiaan yang tergadaikan. Bagaimana saya yakin Dia tidak akan cemburu?

No comments:

Post a Comment