April 9, 2013

Sebelum Gugur dan Berbuah


Zain menatap pot di hadapannya. Mawar putih dalam pot tanah itu kian layu meskipun satu liter air selalu disiramkan ke tubuhnya. Gadis itu mendekat. Tangannya memeluk erat pot itu sebelum jari-jari mungilnya lincah menelusuri tulang daun. Satu-satunya bunga tersisa di tangkai itu masih bertahan dalam putih yang semakin menguning. Kelopaknya berguguran dalam enggan yang membantunya mempertahankan senyum Zain.
Dia tahu, Zain akan sedih saat tak ada lagi kelopaknya tersisa. Terlebih saat seluruh bagian tubuhnya harus mengering. Dia selalu berharap kematiannya terjadi di malam hari saat gadis itu terlelap. Sehingga keberadaannya hanya akan seperti mimpi saat gadis itu terbangun.

“Zain, sebenta lagi hujan deras. Masuk, gih!”
Suara wanita berteriak dari balik pintu. Zain menoleh dan menyahut sebelum kembali sibuk dengan sahabat putihnya. Tangan-tangannya membelai tiap ruas tangkai dan daun sebelum meninggalkannya di beranda teras. Dia tidak berani menyentuh kelopak, karena perasaannya selalu melarangnya melakukan itu.

Lima langkah sepeninggal Zain sebelum satu kelopak putih menyentuh tanah dalam pot. Tiga kelopak tersisa sebelum pemandangan tak indah itu diakhiri ibu Zain. Tanpa ibu Zain pun, hujan lebat malam ini sanggup membawa pergi seluruh nyawanya meninggalkan sumber hara-nya selama ini.

“Ma, kenapa si putih tambah layu?”
Zain memutar-mutar cangkir berisi cokelat hangat di atas meja. Mama selalu membuatkannya segelas tiap sore, dan Zain selalu menikmatinya hingga tetes terakhir. Terlebih dengan hawa dingin gerimis seperti ini.

“Putih nggak bisa hidup lama kayak Zain. Hari ini si putih pergi, tapi besok pasti ada putih-putih yang lain. Kayak dulu waktu pertama kali putih lahir dengan saudara-saudaranya.”

Sejujurnya Zain tidak begitu paham maksud ibunya, tetapi dia mengangguk atas nama kesopanan. Dia juga tidak ingin ibunya merasa sedih memiliki anak gadis yang sepanjang hari menghabiskan waktu mengamati setangkai mawar putih yang sedang sakaratul maut.

“Besok ikut Aisyah ke Taman Baca yuk! Tadi sore umi¬-nya ngajak Mama, tapi kamu masih tidur.”

“Iya, Ma. Kecapekan ngurus si putih nih. Padahal udah aku siram terus tiap hari segayung, masih layu aja.”

Zain mengerucutkan bibirnya. Matanya menatap ke luar jendela. Dari sana dilihatnya hujan semakin deras membasahi bumi, termasuk petak tanah di pot rumah si putih.

“Jadi mau ya?”

Zain memahami pertanyaan kali ini lebih berdaya intimidasi dibanding tawaran pertama. Dia mengangguk. Baginya melihat si putih sepanjang hari adalah terapi kehilangan. Bagi ibunya, gejala pesakitan. Ibunya menganggap kegiatan itu sebagai wujud protes jiwa Zain atas kehilangan ayahnya dua minggu lalu.

Kedua bola mata gadis itu kembali tertanam pada pot tanah kecil di beranda rumah. Derasnya air hujan mengaburkan bayangan si putih di kaca. Zain hampir mendekat untuk membersihkan sebelum ibunya meraih tangannya dan mengajaknya mempersiapkan makan malam. Zain tahu itu adalah penolakan. Ibu tidak pernah benar-benar membutuhkan bantuannya di dapur.

--

Aisyah tampak lebih normal untuk gadis seusianya. Berlari menuju antrian peminjaman, berdesakan memilih buku favorit, berbagi kisah dalam bacaan di tangan dengan para gadis kecil di sekitarnya. Sementara umi Aisyah berusaha menjaga perasaan ibu Zain dengan tidak menatap haru pada putrinya, gadis kecil lain yang diharapkan berbagi cerita bersama Aisyah berdiri beberapa meter dari mereka.

Zain masih mendongak tanpa lelah setelah hampir sepuluh menit berdiri dengan wajah menatap langit seperti itu. Pandangannya tertuju pada rerimbun bunga mangga di atasnya, tetapi pikirannya masih dikuasai bayangan si putih.

Mawar putih itu resmi menyerahkan dirinya pada hujan yang menarik keyakinannya pada tanah merah dalam pot. Zain tidak menduga perjuangan si putih sesingkat ini. Menurutnya mawar itu seharusnya bisa lebih menghargai persahabatan mereka dengan bertahan lebih lama. Setidaknya, sampai dirinya sanggup menyapa kelopak-kelopak terakhir si putih pagi ini.

Pikirannya tentang si putih mulai terganggu dengan kehadiran bunga lain yang lebih mewah pada cabang tinggi di atasnya. Bunga-bunga kecil yang berkumpul membentuk bunga lain yang lebih besar ini tampak lebih menjanjikan. Setidaknya, ada lebih banyak bunga di sana. Jadi Zain tidak akan merasakan kecewa yang begitu cepat dibanding gugurnya tiap kelopak si putih.

Suara panggilan Mama memaksa Zain bersikap lebih kekanakan dengan berlari mendekati Aisyah dan menatap takjub pada buku bergambar di tangannya. Dia lalu menanyakan keberadaan buku-buku tanaman bergambar sebelum Aisyah menggandeng tangannya menuju mobil buku. Beberapa meter dari mereka, dua wanita mulai tersenyum dalam harap masing-masing.

“Kak Sila, Zain mau pinjam buku tanaman. Tolong dicariin ya!” Aisyah berkata lantang dengan semangat ‘saya-bisa-bantu-teman’ yang diajarkan Pramuka sekolah.

“Yang ada gambar bunga mangga,” tambah Zain.

“Kamu beneran suka bunga ya? Anak tanteku ada yang suka tanaman juga. Dia sekolah khusus tanaman di Bogor sekarang.”

“Oh.”

“Kalau mau liatin bunga mangga, di taman yang sebelah belakang aja. Pohonnya lebih pendek, jadi lehermu nggak bakal capek.”

“Oke deh. Makasih ya, Aisyah.” Benar kata Mama, kamu ini anak baik. Zain masih membatin saat seorang remaja perempuan akhir mendekati mereka.

“Ini bukunya, Zain. Hari kamis dikembalikan ya!” katanya tersenyum menyerahkan buku berjudul ‘Budidaya Mangga’.

“Terima kasih, Kak!”

Zain berlari menuju pohon mangga yang dimaksud Aisyah dan segera membaca buku pemberian Kak Sila. Banyak kata-kata yang tidak dimengertinya, tetapi sebaran gambar di buku itu memudahkannya mengenali bunga besar yang tampak jelas sebagai kumpulan bunga berukuran kecil.

--

“Ma, kenapa bunga mangga kecil banget? Padahal pohonnya besar. Nggak kayak si putih.” Zain menyodorkan halaman terbuka pada foto-foto bunga mangga pada awal persemiannya. Sudah diputuskannya, ‘si imut gendut’ akan menjadi nama bunga mangga di taman baca.

Ibunya terdiam sebelum menjawab. Ada rasa kecewa menatap buah hatinya masih hidup dalam trauma kehilangan. Setelah ayahnya, si putih, dan kini pada bunga-bunga mangga itu. Dia bahkan belum memahami tanaman ini untuk menyusun ceramah kehilangan jika suatu hari nanti bunga-bunga itu gugur tak bersisa.

“Mama punya cerita bagus. Dahulu kala, ada anak yang berpikiran seperti itu. Dia duduk di bawah pohon beringin dan mengeluh pada Tuhan kenapa buah pohon beringin kecil sedangkan semangka besar? Padahal pohon beringin jauh lebih kokoh dan besar dari pohon semangka. Kamu tahu apa jawaban Tuhan?”

Zain menggeleng. Aksi penghormatan. Sebenarnya gurunya pernah menceritakan versi lain cerita ini, tetapi semangat wanita muda di depannya membuatnya memilih diam.

“Tuhan lalu menjawab pertanyaannya dengan menjatuhkan buah beringin tepat di atas kepala anak itu. Kamu tahu apa yang dia pikirkan selanjutnya?”

“Tuhan Maha Adil,” kata Zain singkat.

Ibunya tersenyum sebelum melanjutkan penjelasan yang sebenarnya sudah dihafal Zain. Jika saja Tuhan menciptakan buah beringin sebesar semangka saja, anak itu pasti tidak akan selamat.

“Kapan Tuhan ambil si imut gendut dari Zain ya, Ma?”

Wanita itu tak kuasa menahan emosi yang menyesakkan dadanya. Diraihnya tubuh mungil di hadapannya dan didekapnya penuh kasih. Cukuplah bahasa hatinya menjawab kegelisahan hati Zain.

--

Gadis itu semakin mendekat pada rumpun bunga di hadapannya. Beberapa bunga telah menjelma buah kecil yang hijau. Zain kecil menatap takjub pada tiap perubahan yang dituangkannya dalam sketch book di tangannya.

“Ma, kenapa bunga mangga harus layu dulu sebelum jadi buah?” Zain menunjuk bunga-bunga layu pada rumpun di hadapannya. Mata beningnya menanti jawaban bijak ibunya. Wanita itu tersenyum. Ada aliran panas yang menampar pipinya demi mendengar dan menjawab pertanyaan anaknya.

“Seperti manusia, ada yang layu sebelum menjadi lebih baik. Ada pula yang layu sebelum gugur.”

Mata wanita itu panas menahan air yang menggenang di kelopaknya. Menatap gadis di hadapannya mengangguk paham membuatnya semakin sakit. Dalam menghadapi kehilangan, sebenarnya Zain lah bunga mangga itu. Dia adalah setangkai mawar yang semakin layu di atas tanah kehidupan. Tetapi dia tidak mau seperti si putih. Tidak untuk menciptakan kehilangan lain bagi Zain.

Solo, 21 Desember 2011

#repost cerita lama (:

No comments:

Post a Comment