April 9, 2013

Untitled

Takdir menetapkan kelahiranku pada keluarga yang mengesakan Allah dalam ajaran tauhidNya; menjadikanku terbiasa menjalankan titah tanpa banyak kata. Bagiku, tak ada yang lebih aman dan nyaman selain menjadi patuh. Patuh berarti bebas dari kemarahan dan hukuman. Diam, dengar, dan taat berarti kebebasan, begitu pikirku dulu. Konsep aneh tentang kebebasan yang kujalani selama lebih dari sepuluh tahun sejak perkenalanku dengan ilmu agama, sebelum kemudian lingkunganlah yang mengubahku.

Keikutsertaanku pada klub debat di SMA menuntutku berpikir ‘kritis’ atas semua permasalahan –yang sebenarnya tidak memiliki koneksi langsung denganku, dan komitmen untuk memaksimalkan otakku sepertinya menampakkan hasil. Aku, yang dengan semangat pencarian jati diri remaja tertarik mengikuti Kerohanian Islam, mulai mempertanyakan konsep ketuhanan secara totalitas –Islam kaffah, seperti yang selalu disebut dalam kajian Rohis kami.

Mengapa setiap muslimah harus memakai rok dan berjilbab besar? Toh, memakai celana panjang longgar dan berpakaian rapi tanpa mengundang syahwat lawan jenis sepertiku juga bukan tidak baik? Menngapa harus menunduk dan melembutkan suara saat berbicara? Sementara Khalifah Umar ra. tetap luarbiasa tanpa menjadi Abu Bakar ra. yang lemah lembut. Mengapa menatap tidak senang pada persahabatan orang lain yang begitu solid, dan mengatakan itu adalah kumpulan maksiat, sedang ukhuwah yang diagung-agungkan justru berantakan? Mengapa sibuk menasihati orang lain sementara diri sendiri banyak dosa? Para ikhwan dan akhwat itu pun terlihat hanya sebagai kumpulan orang sok suci yang ekslusif di mataku.

“Ideologi itu sistem. Kau tahu bagaimana system bekerja, kan? Totalitas, atau tidak samasekali,” seseorang mengingatkanku. Sisi pemberontak tanpa ilmu dalam diriku terus membantah selama pembicaraan itu. Agama itu tentang aku dan Tuhan, tanpa perlu melibatkan kalian atau mereka, pikirku. Dan sekarang, agama yang selama kehidupanku selalu ada di setiap lembar kartu identitas dan istilah-istilah yang kugunakan sebagai identitas, kini mulai menggangguku dengan meminta perhatian lebihku untuknya, tetapi pemikiran-pemikiran tanpa ilmuku tentangnya justru semakin membawaku pada pertanyaan tak terjawab yang lain. Aku semakin menolak konsep totalitas dalam beragama.

Pelajaran Kewarganegaraan –studi yang bagi sebagian orang merupakan akar sekulerisme- justru menamparku dari keraguan tanpa ilmu selama ini. Aku selalu bertanya untuk kembali bertanya, tanpa memahami setiap kata dan keadaan yang keluar sebagai jawaban. Aku tak pernah mau belajar, tetapi kemudian menolak segala konsep hanya karena tidak sesuai dengan ‘keyakinanku’ –jika masih bisa disebut keyakinan. Aku mengakui dan meyakini eksistensi Dzat penuh Maha di atas sana sebagai pencipta dan pengatur semesta, yang kepadaNya masih aku mengadu dan meminta, bahkan mencaci keadaan yang sebenarnya tercipta olehku. Dan keyakinan ini lah yang menamparku, sekali lagi menjatuhkan kesombongan seorang angkuh tak berilmu sepertiku.

Jika aku masih meyakini keesaan Tuhan yang bersemayam di Arsy, membaca firmanNya, memohon, mengadu, dan berterima kasih untuk setiap nafas yang Dia izinkan untukku hidup dengannya, Dia yang kuyakini sebagai penghidup yang mematikanku untuk kemudian membangkitkanku kembali pada kehidupan lain yang juga kuyakini –lantas apakah pantas jika kemudain aku berbalik mempertanyakan sistemNya, konsep hidup yang dikehendaki Dzat yang padaNya masih aku mengemis kasih di setiap detik kehidupanku? Rasanya aku tidak lebih dari seorang munafik. Mungkin, jenis sepertiku inilah yang sering tertulis dalam setiap firman peringatanNya.

Aku pasti sudah dicuci otak. kalau beragama jangan fanatik, yang biasa-biasa sajalah.. sekali lagi pikiranku terganggu dengan kalimat yang sengaja kuciptakan untuk kembali menolak konsep. Bukankah perbedaan fanatik dan totalitas sangat tipis? Dia meyuruh, bukan menyarankan, manusia untuk memasuki sistemNya secara keseluruhan melalui ayat ke dua ratus delapan dalam surat ke dua di kitabNya. Perintah yang begitu jelas tanpa analogi, yang anak kecilpun bisa menafsirkannya. Aku ingin masuk surga –tempat indah tak terdefinisi indera manusia yang kuyakini ada pada kehidupan selanjutnya, dan aku cukup sadar diri tifak dapat ke sana tanpa ‘sesuatu’. Sholat lima waktu yang tidak tepat waktu tanpa diiringi rowatibnya, sholat malam tidak bermutu penuh kantuk dengan muhasabah yang sering dipaksakan, puasa sunah dengan masih berprasangka, dan di atas semua itu – ketakutan atas penilaian orang lain, tentu menjadikanNya memiliki sangat banyak alasan untuk menolakku dari pintu surga terendahnya.

Bukankah Muhammad bin Abdullah, manusia pilihan yang kuyakini berfungsi sebagai pembawa risalah, juga tidak biasa-biasa saja dalam beribadah? Sisi pemberontak buta ilmu agama dalam diriku seketika bereaksi: sungguh tidak pantas membandingkan diri dengan Rasulullah. Lalu, pada siapa aku harus bercermin? Bukankah padanya lah terdapat teladan yang baik untuk semua umat? Aku memang tidak akan pernah bisa seperti sosok mulianya, tetapi aku sadar, dengan menjadi baik dan biasa saja belum bisa memenangkan surgaNya.

Selama ini aku mengaku diri Islam dalam lumpur kejahiliyahan, dengan menjalankan perintah yang kumaui dan menolak yang lain. Sepertinya Islam menjadi sangat mudah di jalanku: pilih ajaran yang sesuai dengan keinginanmu, lalu sampaikanlah pada penerima ajaran itu. Sesederhana itu kah? Rasanya berdosa sekali mengubah keagungan sebuah ideoloogi menjadi begitu remeh. Mengutip kalimat sakti ilmuwan penemu teori relativitas yang diagungkan: segala sesuatu harus dibuat sesederhana mungkin, tetapi tidak lebih sederhana; seperti mempersingkat perjalanan darat Jakarta-Surabaya dengan beralih dari jalur pegunungan ke dataran rendah, bukan mengubah jalur menjadi Jakarta-Bandung hanya agar lebih cepat mencapai tujuan. Jangan mempersulit hal mudah, tapi jangan menjadikannya sepele.

Beragama itu pilihan, seperti saat pertama kali aku dilahirkan dalam keadaan suci. Saat pada akhirnya aku memilih Islam sebagai jalan hidupku, aku tahu pasti konsekuensinya, dan itu sangat tidak sepele. Para ahli kitab yang dalam firmanNya dituliskan menyembunyikan kebenaran untuk menunda keislaman mereka, menurutku, karena mereka tahu pasti konsekuensi di balik ‘dua kalimat persaksian’. Bukan sekedar mengakui Allah dan RasulNya untuk kemudian kembali melakukan persaksian setelah bermaksiat.

Saat aku berkata, “Kan ku genggam hidayah ini erat-erat selamanya” bukan berarti seseorang telah memberi cahaya padaku. Aku meyakini hidayah sebagai pencerahan –cahaya matahari yang mengharuskan kita keluar gua untuk mendapatkannya, meskipun pada akhirnya Dia adalah penentu dari setiap ketentuan.

Ideologi itu jalan dan pandangan hidup, begitu penjelasan yang kupahami dari pelajaran Kewarganegaraan sejak SMP. Aku pernah menyangsikan keberadaan Tuhan, menolak sistemNya, dan begitu sombong seperti seorang atheis sok religius. Saat aku memutuskan untuk meyakininya, aku telah siap dan tahu pasti pilihannya: totalitas atau tidak sama sekali. Surga atau neraka, wallahu’alam.

No comments:

Post a Comment