April 8, 2013

#18 Topeng


18 Ramadhan 1433 H :: 6 Agustus 2012 M

Dalam obrolan dengan seorang tamu multitalented dalam buka puasa bersama keluarga besar majalah hari ini, saya dan seorang teman disebutnya “polos”. Apa adanya, tanpa misteri, dan mudah ditebak. Kami hanya tertawa gimana gitu seraya bersyukur dan mengamini. Bagaimana tidak? Disebut sebagai orang apa adanya berarti kami tidak muna, dong? Artinya, seperti kata iklan, “Yang lain ada apanya, gue apa adanya”. Meskipun sebenarnya beliau tidak berniat memuji kami, hehe.

Orang yang melabeli kami itu dikenal sebagai trainer dan motivator yang hobi membaca karakter orang; topeng apa yang dipakainya dan wajah apa yang tersembunyi di baliknya. Menurutnya, beberapa di antara kami cukup misterius sementara kami berdua tidak sama sekali –yang menurutnya nggak seru. Dalam hati jujur saya heran dan bergumam, “Piye banget sih?”

Sebenarnya mungkin saya tidak sepolos itu, tapi saya sedang mengusahakannya. Dalam dunia psikologi, manusia punya mekanisme self-defense yang berbeda-beda, dan penggunaan topeng (ada juga yang menyebutnya jaket) menjadi salah satunya. Yang membedakan adalah nominal topeng yang melapisi warna asli individu tersebut. Mungkin seorang teman merasa cukup dengan satu topeng multifungsi yang portable pada komunitas tertentu, sementara teman lain butuh berlapis-lapis sehubungan dengan banyaknya atribut identitas yang melekat. Ada juga teman yang merasa tidak perlu membeli topeng apapun. Orang inilah yang sampai saat ini saya kagumi.

Saya berusaha tidak banyak presumption belakangan ini. Kata kakak saya, “Kamu kan nggak tahu niat dia sebenarnya?” Kata saya, “Whatsoever.” Bukan ranah saya menilai ketulusannya atau derajat kemisteriusannya. Setahu saya, dia selalu begitu: apa adanya, di mana dan pada siapa saja. Tidak ada istilah mimikri kepribadian padanya. Dan dia bukannya nggak seru, melainkan bikin cemburu. Karena penyampai risalah pun begitu, bisa dipercaya karena dia apa adanya. Tidak bertopeng dan berjaket xxx demi xxx dalam rangka xxx pada xxx.

Apakah Muhammad bertopeng? I don’t think so. Kalau boleh dibilang, saya ini looser karena tidak berani sejujur dia. Dengan tegasnya, dia menolak bertopeng manis di hadapan musuh demi menusuknya di belakang. Dia baik pada semua orang, tidak hanya saat orang itu menjadi objek dakwah kemudian mengabaikannya saat gagal maupun telah menjadi bagiannya. Dia bijak dan lembut tidak hanya pada objek dakwah kemudian menjadi kasar dan menyebalkan pada orang-orang terdekatnya. Saya sering mendapat komentar “rung ngerti asline” saat seorang teman mengatakan saya pendiam atau tyipical judgement lain. Seolah hanya teman dekat saya yang tahu siapa dan bagaimana saya sebenarnya. Bahkan tulisan-tulisan saya sering dianggap plagiat karena tidak representatif.

Padahal niat saya tidak begitu. Saya easily labelled as ‘bocah’ dalam interaksi langsung. Tetapi saat saya menulis, ya memang begitulah saya. Kata kakak saya, “Jiwa kamu terbelah!” dan saya mau ketawa. Nggak gitu-gitu juga, kali. Ibaratnya, saya menulis seperti itu karena seperti itulah saya. Mereka yang kaget dan curigaan pasti nggak pernah rapat bareng saya atau baca semua tulisan saya. Atau perbedaan warna karakter ini bisa jadi memang self-defense saya. Karena saya menulis tentang ideologi yang pasti akan langsung ditertawakan dengan bahasa humor seperti sehari-hari saya.
Karena ini tentang keyakinan yang saya perjuangkan, dan saya tidak mau bahasan langit menjadi bahan candaan. Karena mungkin seperti inilah saya kalau mencoba serius.

Dalam hubungan manusia, menjadi apa adanya (anti-kepalsuan) sangat penting. Memiliki pasangan tanpa topeng sangat diidamkan, karena tidak ada yang disembunyikan dan tidak ada kepura-puraan. Putra Abdullah sekali lagi telah menjadi figur anti-kepalsuan yang baik. Kalau sekarang kepura-puraan itu berlindung di bawah label ‘taktik’ atau ‘siasat’, saya percaya Muhammad tetap bersiasat tanpa menanggalkan ‘kepolosannya’.

Manusia dari kelompok mana pun yang pernah berinteraksi dengannya akan mengakui karakter baiknya yang universal, terlepas dari dukungan mereka pada ajarannya. Saya juga ingin begitu. Menjadi apa adanya seperti dia dan doa Mr.Trainer, jadi tidak ada lagi komentar iseng “kayak bukan kamu.” Aamiin :)

No comments:

Post a Comment