April 8, 2013

#5 Pemimpin terbaik


5 Ramadhan 1433 H :: 24 Juli 2012 M

Ada yang so sweet dari drama elektronik siang kemarin. Film televisi itu menceritakan proses pencarian cinta sejati dua anak manusia setelah berulang kali dikecewakan(sounds so FTV). Dalam sebuah dialog hati, tokoh perempuan berkata, “Ternyata cinta sejati memang ada. Jika telah menemukannya, cinta sehati akan mengaliri tiap nadi untuk memberi kehidupan.”

Sebenarnya saya tidak terbiasa mengikuti permainan emosi FTV, tetapi karena saya sedang (mengusahakan) Cinta, saya mengamini konsep itu, meskipun nggak nangis-nangis kayak pemainnya. Cinta sejati bekerja seperti air dan zat hara pada tiap xylem dan floem untuk berproses dalam fotosintesis tumbuhan. Tanpa berfotosintesis tumbuhan akan mati. Dan dalam FTV itu tokoh perempuan dan laki-laki nyaris ‘mati’ karena overthinking cinta sejati mereka saat berpisah. I’m not saying this is a romantic film, though. Tetapi saya jadi malu sama sineas FTV.

Mereka saja bisa sedalam itu memaknai cinta makhluk: sebagai penggerak dan sumber kehidupan, yang tanpa cinta semua akan berakhir. Saya sih nggak mau seperti itu untuk cinta makhluk, tapi saya ingin Cinta Pencipta saya bisa sedalam itu. Yang mengaliri nadi saya dan melandasi setiap perbuatan saya. Konsekuensinya, ada kesatuan kemauan saya dan Dia. Jangan suudzon, ini bukan ajaran manunggaing kawula lan Gusti, yang tanpa pemahaman ekstra sangat mudah menyesatkan, tetapi ini bentuk kecintaan yang sederhana.

Logikanya, seperti kata Afghan, saat seorang jatuh cinta, dia akan mengusahakan yang terbaik untuk cintanya. Seharusnya, jika saya sudah berkomitmen untuk mencintai-Nya dengan sebenar-benar cinta (yang bigger daripada cinta fans dan FTV), seluruh hidup ini akan saya dedikasikan pada pengabdian untuk-Nya. Alhamdulillah saja tidak akan cukup sebagai wujud syukur.

Salah satu pengabdian tercermin dalam penyerahan diri. Tadi saya baca status temannya teman (pas lagi kepo) tentang dialog pengantin baru. Mempelai wanita menyatakan penyerahan diri seutuhnya pada suami dengan basmallah, cinta di atas iman. Penyerahan diri istri tersebut tidak hanya secara fisik tetapi juga non-fisik. Seorang istri yang baik, dengan cinta di atas Cinta (pinjam istilah seseorang), berusaha mengabdi seutuhnya. Menjadikan perintah suami sebagai kewajiban, mengambil pemikiran dan nasihat suami sebagai masukan, menjauhi larangan suami dengan tulus dan lapang hati. Seorang yang mencintai kekasihnya akan percaya seutuhnya pada kebijakan pasangannya. Sebagai istri yang baik, saat berkomitmen menjadikan suami sebagai pemimpin, ia akan hidup di atas sistem keluarga pimpinan suaminya.

Berhubung saya belum memiliki pemimpin yang itu serta pemimpin keluarga kami sudah berpulang satu tahun lalu, saya merasa ada kekosongan dalam diri saya. Istilah organisasinya, vacuum of power. Sebenarnya sih, kalau mau jujur kekosongan pemimpin itu tidak pernah ada. Saya hanya enggan berkomitmen dengan kepemimpinan terbesar dalam hidup saya, yakni untuk bergabung di istana cinta-Nya. Ternyata selama ini saya hanyalah warga tidak tahu diri yang setiap saat menerima santunan dan fasilitas negara tanpa pernah mau membayar pajak. Padahal, di istana cinta-Nya, tidak akan ada pajak yang dikorupsi. Karena petugas pencatatnya adalah makhluk bersayap tanpa nafsu Gayus.

Seharusnya, jika saya benar-benar cinta pada Dia, saya harus mau hidup dalam aturan-Nya, kan? Seperti cinta sejati yang mengaliri nadi. Semua perbuatan didedikasikan dalam rangka ketundukan pada-Nya. Dalam hubungan manusia, tentu saja saya hanya akan mengabdi jika saya; 1) benar-benar cinta, 2) ingin serius berkomitmen menjalani cinta, 3) percaya pada cinta, dan 4) mau diatur atas nama cinta. Jika ada yang mempertanyakan eksistensi kebebasan, saya katakan ‘Kebebasan itu omong kosong’, mengutip kata-kata ‘inspiring’ di iklan provider 3.

Think again. Apakah hidup saya dapat berjalan oke tanpa adanya aturan? Saat hidup saya sibuk dengan kegiatan, lomba, dan organisasi saja, saya harus buat to do list atau matrikulasi spesifik hari per hari. Ada usaha untuk mengatur diri agar tujuan tercapai. Ajaran-Nya pun diturunkan untuk mengatur manusia, agar tidak ada kekacauan karena benturan nafsu manusia. Siapa yang bisa menjamin konsep hak asasi tidak akan saling berbenturan tanpa hukum yang jelas? Bahkan dalam negara liberal pun ada konstitusi yang berlaku. Masalahnya, saya terlalu sombong dan sering mempersulit diri sendiri.

Mengapa ku selalu mengatur yang telah teratur? Apakah aku merasa hina jika Dia yang mengaturnya?
(lirik lagunya Gigi, lupa judulnya, salah satu soundtrack serial Para Pencari Tuhan).

That’s it. Jika saya benar-benar telah menerima Cinta-Nya dan mengakui kebenaran tulisan-Nya serta bersedia untuk berada dalam sistem-Nya, kenapa saya masih terlalu sering mengatur apa-apa yang secara nyata telah diatur-Nya? Seolah keyakinan dan pengakuan Cinta saya selama ini tidak bernilai, bahwa semua air yang pernah menetes dalam sujud saya hanyalah –kalau kata sinetron– air mata buaya.

Bahkan konsep Cinta saya adalah Cinta Tebang Pilih. Meskipun Dia mau menerima saya apa busuknya –bahkan menutupi busuk itu– saya begitu sombong dengan tidak mau menerima-Nya seutuhnya. Kalau cocok dengan kesukaan saya, take it. Kalau tidak, saya berusaha keras cari pembenaran untuk menghindarinya. Dalilnya apa? Shohih nggak? Tafsirnya, yakin, begitu? Ini zaman modern, yang begituan mana mungkin bisa jalan? Kenapa begitu? Bukannya begini?

Menurut saya, 3 Lambang Cinta dan ketundukan yang selama ini dinilai ‘surat biasa’ karena paling memasyarakat adalah Al Faatihah dan An Naas, tulisan pembuka dan penutup kitab-Nya, juga Al Ikhlash. Mungkin saya tidak sadar konsekuensi besar yang ada di balik ayat-ayat yang begitu fasih saya lafalkan dalam sholat itu. Padahal saya sudah mengakui-Nya sebagai Tuhan Semesta Alam, Satu-satunya, Raja Manusia, Tidak Terbandingkan, Satu-satunya tempat bergantung dan memohon pertolongan, tetapi praktiknya: nihil. Astaghfirullah.

Saya masih belajar, dan saya berada dalam proses pemahaman #meyakinkan diri sendiri. Seperti konsep-konsep berpikir positif Semesta-nya The Secret dan You are what you think-nya artikel-artikel posmodernisme, Dia menjanjikan Allah sesuai prasangka hamba-Nya. Saya hanya harus sabar dan ber-khusnudzon atas Cinta-Nya. Pada lawan jenis dalam bahasa manusia saja saya butuh belajar untuk memahami, apalagi pada Pencipta makhluk dalam bahasa langit? Katanya, salah satu attitude orang sukses adalah mau belajar. Dan saya mau itu.

Seperti kata-kata bagus yang saya dapat dari tumblr temannya kakak saya sore ini, “Courage doesn’t always roar. Sometimes courage is the quiet voice at the end of the day saying, ‘i will try again tomorrow’.” Superb sekali :)

No comments:

Post a Comment