April 9, 2013

KTP (cerpen)


Katakanlah kamu seorang WNI. Saat lahir, tinjauan ius soli dan ius sanguinis mendukung keberadaanmu sebagai WNI. Tetapi tanpa mendaftarkan diri sebagai penduduk, akankah kewarganegaraanmu diakui? Lantas, jika kelak kamu mendapatkan masalah, masihkah pemerintah wajib membelamu tanpa kejelasan identitas?

Sebenarnya dia tidak berharap mendapatkan masalah tentang keberadaannya di kemudian hari. Tetapi pada akhirnya dia membuat KTP di tahun keduapuluhtiganya menjalani hidup.

“Bikin KTP kan nggak bikin kamu rugi. Malah banyak sekali manfaatnya buat kamu. Bisa milih di Pemilu, bisa jalan-jalan ke luar negeri, dan yang paling penting bisa nikah!” nasihat ayahnya, mencoba mempengaruhi.

Dia masih terdiam di balik komputer, mengetik artikel untuk zine komunitas kebudayaannya. Dia sama sekali tidak tertarik mengikuti Pemilu. Hanya akan menambah daftar dosa karena turut menghancurkan negeri dengan kepemimpinan busuk, pikirnya. Apalagi ke luar negeri. Menurutnya berlibur ke luar negeri berpuluh kali tanpa sekalipun mengunjungi pojok-pojok eksotisme negara sendiri tidak menambah gengsi apapun. Menikah? Sepertinya dia akan mulai memikirkan ini. Tetapi sesungguhnya, bukan itu penyebabnya melangkah ke Balai Desa untuk mengurus kartu identitas kewaranegaraan pertamanya.

Kakaknya yang penulis pernah mencaci cerpennya. Menurut orang itu, dia memang cukup lihai bermain teknis dan diksi, tetapi sangat bermasalah dengan jati diri. Identitas kepenulisan. Dalam esai-esai budaya pada zine-nya selama ini, dia hanya mangumpulkan teori-teori dan menganalisisnya dalam kesempitan cakrawala. Dia tidak cukup mengenal dirinya, bagaimana dia bisa menulis sesuatu yang mewakili dirinya? Tidak ada kesadaran lokal, terlebih internalisasi nilai-nilai yang diyakini.

Mungkin membuat KTP akan membantunya mengenali diri.

“Mas, saya mau bikin KTP,” katanya pada petugas Balai Desa yang terlihat sibuk memanfaatkan akses internet kantor dengan mengakses jejaring sosial siang itu.

“Perpanjang?”

“Bukan, bikin baru.”

Petugas itu tampak kaget dan meragukan kalimatnya. Dia pun cukup sadar diri dengan tidak memiliki wajah yang awet muda.

“Umur saya baru dua puluh tiga tahun. Telat enam tahun nggak papa, kan?” katanya buru-buru.

“Oh, iya. Mau dipakai buat daftar nikah ya?”

Sialan. Petugas ini mulai sok akrab. Tetapi jauh lebih baik daripada bersikap sok sangar dengan berbagai ketentuan birokrasi desa yang dibuat terlihat penting.

“Nggih, Mas. Sampun wayahe,” jawabnya berbohong sambil terkekeh. Juga berusaha sok akrab.

“Silahkan diisi formulirnya. Kalau sudah, nanti dimintakan cap ke Mbak di pojok itu. Habis itu diserahkan ke kantor Kecamatan,” jelas petugas itu cukup cepat dan kembali sibuk dengan internetnya. Dia segera menuju kursi panjang dan mulai menulis.

Nama : Muhammad Al Fatah

Namanya memang tertulis seperti itu, tetapi dia lebih menyukai panggilan Cungkring dari teman-teman zine-nya. Menurutnya lebih bernafaskan kekeluargaan, dan dengan sederhana lebih mewakili dirinya yang kurus dan jangkung. Dia terkadang justru malu jika ditanyai nama ‘sebenarnya’. Dirinya tidak semulia kandungan makna Muhammad Al Fatah untuk menyandang ‘gelar seumur hidup’ seperti itu. Terkadang dia berpikir untuk mengganti namanya.

Tempat, tanggal lahir : Yapen Waropen, 13 Maret 1989

Dia memang terlahir di pojok timur negaranya. Lima belas tahun pertama hidupnya dihabiskan di tanah multikultural itu, sebelum keluarganya yang merasa sudah cukup ‘menabung’ memutuskan kembali ke Jawa. Tetapi kehidupannya di pulau masyarakat ‘berwarna’ itu tidak menyisakan sedikitpun kepribadian daerah yang mewakili tanah kelahirannya. Ingatannya tentang Papua hanya sebatas enaknya papeda, indahnya pantai Aromarea di Yapen, murahnya berbelanja di pasar ikan, dan seringnya bentrok pribumi dan pendatang. Poin terakhir pula yang semakin mempercepat kepulangan keluarga mereka.

Sebenarnya dia tidak menyukai tanah kelahirannya itu. Dengan mengaku orang kelahiran Papua, teman-temannya akan langsung mendekatinya sebagai manusia primitif untuk diwawancarai. Apakah dia berpakaian selama di sana. Apakah semua penduduk Papua berwarna gelap. Apakah di sana ada televisi dan internet, dan pertanyaan bodoh lain yang menunjukkan derajat pengetahuan mereka. Dengan mencantumkan identitasnya sebagai putra Papua, tatapan kawan-kawannya seolah menyiratkan ada kertas bertuliskan ‘Orang Papua’ menempel di punggungnya. Tetapi pada akhirnya dia menuliskan kata itu sambil berharap suatu saat dapat kembali bermain pasir putih di pantai-pantainya.

Jenis kelamin :

Dia berhenti sejenak. Sebenarnya dia tidak menyukai kolom ini disertakan dalam kartu identitas. Dia mengenal seorang teman yang kesulitan menentukan identitas kelaminnya. Meskipun teman itu secara fisik hanya memiliki satu alat kelamin yang mengharuskannya mengaku sebagai golongan tertentu, temannya merasa tidak mewakili golongan tersebut.
Menurut teman itu, “Manusia ya manusia. Aku tidak mau disebut laki-laki. Bukan juga perempuan. Aku ya... manusia. Sudah.”

Dia sempat meragukan identitas kelaminnya saat berkenalan dengan orang itu. Penjelasan manusiawi yang memukau dari kawan itu membuatnya semakin yakin kolom jenis kelamin diadakan dalam rangka ‘mengkhianati’ perasaan kelompok-kelompok seperti temannya.
Tetapi dia pernah membaca perihal kemutlakan jenis manusia dalam buku kakaknya yang religius. Dan entah mengapa, dia lebih menyukai konsep itu. Pada titik tertentu terkadang dia merasa manusia terlalu rumit dengan menyusahkan diri mereka dalam perumusan golongan-golongan tertentu berdasar isme-isme ciptaan mereka. Perlahan, dituliskannya ‘laki-laki’ pada kertas di hadapannya.

Alamat : Bulusari, RT 07 RW 09 Bulusulur, Wonogiri, Jawa Tengah

Sinyal putus-putus internet yang selama ini membuka horison pengetahuannya di luar daerah ini. Pertama kali pindah ke Jawa, dia selalu protes atas pemilihan tempat tinggal yang terlalu ke dalam tersebut. Saat itu bahkan jalan menuju rumahnya masih berupa telasahan yang rusak di berbagai tempat. Tetapi ayahnya selalu berkeyakinan lingkungan yang asri akan mempengaruhi perkembangan jiwa seseorang. Beliau yang mengetahui hobi menulisnya bahkan menambahkan manfaat tinggal di daerah bagi karir kepenulisan seseorang.

Dibandingkan dengan tempat tinggalnya sekarang, jujur dia lebih nyaman bermukim di Papua. Masyarakat yang katanya guyub itu lebih sering kompak dalam bergosip tentang tetangga. Saat di Papua, keluarganya dan masyarakat Jawa lain terhubung dalam ikatan persaudaraan dan rasa senasib sepenanggungan yang kuat dan abstrak. Meskipun mereka tidak tercatat sebagai keluarga dalam ikatan darah, kekeluargaan yang dirasa sangat besar. Terkadang dia merasa harus kembali menjadi minoritas untuk merasakan kuatnya ikatan tanpa hubungan darah.

Agama :

Sekali lagi dia terhenti. Hampir satu jam dia mengisi formulir itu, tetapi baru empat kolom yang berhasil dilengkapinya. Menulis di atas titik-titik itu seperti menguras energinya. Dia merasakan tatapan mencurigakan para pegawai Balai Desa yang seolah mengisyaratkan tawaran bantuan. Tetapi tentu saja dia tidak akan menerimanya. Ini kan tentang dirinya, akan lebih menyedihkan saat orang lain lebih memahami dirimu dibandingkan pemahamanmu.

“Masih lama, Mas?” tanya petugas yang sama di balik komputernya.

“Ng, tidak, Mas. Sebentar lagi. Maaf. Ngapunten,” tambahnya buru-buru, dengan nada yang diusahakan mengandung penyesalan. Penggunaan bahasa daerah seperti itu bukanlah kesadaran lokal baginya. Dia hanya merasa lebih sopan dan enak saat meminta maaf dengan gaya njawani.

Matanya kembali menatap kolom di hadapannya: Agama. Saat SMA dia pernah mengikuti diskusi-diskusi yang mempertanyakan eksistensi agama. Sama seperti jenis kelamin, menurutnya ini adalah hal sensitif yang seharusnya tidak perlu dicantumkan dalam kartu identitas. Jika sesuatu diciptakan hanya untuk menciptakan kebencian dan permusuhan, sebaiknya sesuatu itu dilupakan atau dimusnahkan saja. Tetapi kakaknya sekali lagi membantahnya habis-habisan.

“Namanya saja agama. A artinya tidak, gama artinya kacau. Tujuan agama ya biar nggak ada kekacauan. Kalau orang-orang ngaku beragama tapi justru bikin kacau, jangan salahkan lembaganya. Itu kan urusan oknum. Personal!”

Dia sempat menyetujui itu dan kemudian kembali yakin dengan pilihan beragamanya selama ini. Tetapi ternyata bagi kakaknya dia tidak benar-benar serius menjadikan agama sebagai bagian identitasnya. Parameternya tentu saja dalam nilai-nilai ‘kering’ pada setiap tulisannya. Dia seperti menjadi orang lain dalam setiap esai dan cerpennya. Pikiran, perkataan, dan perbuatannya bertemu dalam hubungan kontradiktif yang sangat kontras. Bahkan tidak dapat dikategorikan abangan seperti tuduhan kakaknya selama ini.

“Mas kalau minggu ke gereja?” tanya petugas yang sama, tiba-tiba telah duduk di sampingnya.

Dia menggeleng. “Aneh,” pikirnya. “Dia kan bisa baca namaku.”

“Kalau jumat ke masjid?” tanyanya lagi.

Dia mengangguk. Sebenarnya dia ingin menjawab “jarang” tetapi dia yakin tatapan lebih menyebalkan yang akan diterima dari pria di hadapannya.

“Ya sudah, ditulis itu.” Petugas di sampingnya bahkan mengulurkan telunjuknya pada kolom kosong tempat pengisian ‘agama’ sebagai identitas.

Perlahan, dia menuliskan kata yang dianjurkan. Ada rasa bersalah dan ketakutan luar biasa seiring tinta-tinta dalam bolpoin di tangannya menjelma menjadi satu kata sakral. Dia bukan tipe orang yang ingin mewarisi keyakinan nenek moyang begitu saja. Dia yakin, pengetahuan agamanya saat ini akan kalah dengan menyedihkan jika disandingkan dengan pencari keyakinan yang sebenarnya.

Pekerjaan : Penulis

“Mas nulis buku?” tanya petugas itu, masih dengan jarak teramat dekat dan dengan pandangan mengawasi khas satpam toko swalayan tidak laku. Menyebalkan.

“Enggak. Belum, ding,” ralatnya buru-buru.

“Nulis di koran?”

“Nggak juga. Isinya politik terus sih, saya nggak minat,” jawabnya mencoba ramah.

“Nulis di majalah, pasti, ya?”

“Semacam itulah, namanya zine. Z-I-N-E,” ejanya.

“Ditulis wiraswasta aja, Mas.”

“Lho kenapa? Kan saya nulis, bukan dagang.”

“Kan saya nggak nyuruh sampeyan nulis pedagang. Nggak ada daftar pekerjaan ‘penulis’ kalau di KTP, Mas.” Petugas itu beranjak dan kembali dengan tipp-ex di tangannya.

“Pemerintah bisa ribet Mas, kalau harus nerima semua pekerjaan ditulis di KTP. Susah bikin statistiknya. Kemarin malah saya baca isu katanya ada orang homo mau bikin identitas di KTP. Lha yo rusak negarane nek carane ngono.”

Dia hanya mengangguk dan segera menuliskan kata wiraswasta di kolom pekerjaan. Berbicara dengan orang ini soal hak asasi rasanya tidak akan efektif.

“Mas tahu soal yang begituan?” tanya petugas itu penasaran. Mungkin wajahnya terlihat cukup berpengetahuan luas, jika tidak petugas itu menduganya sebagai homo.

“Homo?”

“Iya. Teman Facebook saya ada yang begitu lho, Mas. Begitu saya nyadar dia nggak beres, langsung saya remove. Ndak nulari-nulari. Kalau Indonesia tambah penuh sama yang begituan, saya mau ikut demo anti-mereka saja lah Mas. Biarpun capek, paling tidak saya kontribusi, gitu,” kata petugas Balai Desa itu bersemangat.

“Ya kan orang banyak, Mas. Anaknya orang banyak juga. Beda-beda, lah.” Dia mencoba netral dengan tidak terlibat jauh dalam obrolan itu. Masih ada beberapa formulir yang harus dilengkapinya, dan dia mulai terusik dengan obrolan sensitif ini. Statistiknya selalu menunjukkan akhir yang tidak baik dalam setiap diskusi tema-tema ini.

“Tapi lak yo nggak boleh egois to, Mas? Harus menghormati yang lain juga. Yang hidup di Indonesia kan nggak cuma mereka itu. Kita-kita yang normal ini juga mau hidup nyaman,” tandasnya. Raut wajah arogan berbalut nada sok tahu petugas itu semakin membuatnya muak.

“Nah, itu Mas. Yang hidup di Indonesia kan nggak cuma kita. Mereka juga mau hidup nyaman. Mas pernah dengar soal multikulturalisme?” katanya membalik keadaan. Berusaha tenang, merasa akan menang.

“Pernah. Lukisan coreng-moreng, kan?” jawab petugas itu, kembali menyulut sekam di hatinya.

“Maksudnya?” tanyanya berusaha menahan emosi.

“Banyak warna dan disatukan. Kalau diibaratkan Mas lagi melukis wajah orang dan Mas bingung harus diwarnai apa karena karakternya terlalu banyak, akhirnya semua warna dipakai. Hasilnya ya coreng-moreng nggak jelas,” kata pria itu kalem tetapi sangat sukses mengesalkannya.

BUK!

Refleks tangannya meninju petugas Balai Desa di hadapannya. Entah mengapa ucapan wajah coreng-moreng itu begitu melukai hatinya. Seolah kegagalannya memahami identitas diri yang selalu ditutupinya dengan idealisme multi menjadi begitu hina di mata petugas Balai Desa. Diambilnya kembali formulir-formulir yang hampir terisi penuh.

“Nggak jadi bikin KTP aja, Mas.”

Kertas-kertas itu kemudian berakhir dalam tong biru plastik bertuliskan ‘sampah organik’ di depan kantor Balai Desa.

-0-

Surakarta, 15 Maret 2012

*cerpen ini alhamdulillah masuk antologi cerpen Joglo 7 Taman Budaya Jawa Tengah. sebenarnya, nulis ini karena motivasi tugas creative writing dan kebanyakan mengonsumsi isu politik identitas. haha

No comments:

Post a Comment