April 8, 2013

#15 Kesetiaan dan Perubahan


15 Ramadhan 1433 H :: 3 Agustus 2012 M

Saya pernah berpikir, “Kalau Muhammad bersetia dengan ajaran nenek moyangnya, akankah Islam disampaikan melaluinya? Kalau Muhammad tidak pernah mengkritisi ajaran kaumnya, akankah ia tergerak ber-uzlah dan kembali hadir dalam ajaran baru?”
Perubahan itu perlu, bahkan penting. Tetapi pemilihan hal-hal yang harus dan tidak seharusnya diubah yang menjadikan saya kadang gamang. Antara taat dan memberontak. Antara mengkritisi dan tidak percaya. Antara banyak pertimbangan dan tidak mau bergerak.

Guru SD saya pernah bercerita soal pencarian Tuhannya. Beliau telah berpindah dari empat (atau lima) agama besar di Indonesia sebelum akhirnya berlabuh pada Islam –alhamdulillah sampai saat ini. Beliau memang tidak dilahirkan dari keluarga Islam, tetapi bukan berarti keluarganya tidak mengenal agama. Well, memang ayah guru saya juga pengembara agama sepertinya. Tetapi, jika guru saya lahir dari keluarga ortodoks manapun, akankah beliau dapat menemukan Islam?

Adik-adik kelas saya di SMA sangat keren dalam syiar. Setahu saya, mereka telah membantu dua (atau tiga) teman mereka berkenalan dan menjadi bagian Islam. Bagi umat golongan serupa, tentu sebuah anugerah menambah kekuatan (karena mereka sadar akan pilihan dan konsekuensi, bukan agama keturunan), tetapi bagi golongan yang ditinggalkan tentu sebuah musibah.

Mereka bukan anak nakal yang tiba-tiba kecelakaan, amnesia, dan mendapat hidayah menjadi seorang muslim. Mereka belajar agama mereka, merasakan something missed atau salah, mencoba mencari di tempat lain, hingga bertemu dan meyakini Islam. Kalau adik-adik itu tidak pernah mengkritisi agama mereka selama ini, saya tidak yakin tiba-tiba mereka datang dan mengikuti kajian mingguan Rohis Nisaa’ kami.

Mereka bilang ini tentang hidayah. I do believe, makanya saya sering mak dheg jika kata ‘kafir’ dilabelkan pada mereka yang berbeda keyakinan. Saya pikir, seharusnya produksi kata itu ada di luar kemampuan bahasa saya. Saya tidak bisa berbicara dengan sangat yakin dan sangar soal penganut agama A akan masuk surga dan sisanya pasti ke neraka, diadzab Allah karena bukan golongan benar. Terlebih pada fanatisme golongan yang begitu gahar memproklamasikan ‘hanya satu golongan yang masuk surga’. Well, sampai saat ini saya masih yakin kitab Faktor X masih ditulis dan dijalankan. Wallau’alam.

Loyalitas dalam berlembaga selalu dinilai sebagai wujud ketaatan pada pemimpin. Tetapi, sejauh mana loyalitas bekerja? Padahal menurut saya, tanpa meninggalkan ‘ke-siqoh-an’ dari ajaran nenek moyang, tidak akan ada Islam untuk Muhammad. Tapi, saya kemudian sadar kalau kesetiaan dan perubahan berbanding lurus. Karena setia (loyal) pada ajarannya, Muhammad benar-benar mempelajarinya. Saat beliau SAW merasakan ada yang tidak beres, uzlah di Gua Hira lahir dalam rangka pencarian jawaban dan pemecahan masalah saat itu, karena dia ingin perubahan yang membawa kebaikan pada ajarannyya. Pun jika ajaran yang selama ini dibanggakan kaumnya sebagai yang terbaik dan nggak bisa diubah ternyata bertentangan dengan keinginan langit, Dia yang menggerakkan Muhammad pada perubahan.

Berhubung selama ini saya selalu maju-mundur untuk bersetia atau berpikir, wajar jika statistik perjuangan saya kelak akan dilihat sebagai grafik penghubung titik nol ke nol. Dan dengan kesetiaan seperti ini, nilai jual saya pada pejuang dan musuh sama-sama nothing. Pada akhirnya saya hanya mentok sebagai simpatisan yang plin-plan. Teriak senang saat pejuang menang, atau merutuk saat musuh berjaya. Tanpa benar-benar tahu tujuan saya yang sebenarnya.

Seseorang yang mencintai pasangannya akan setia pada pasangan itu, kan? Bahkan Asiyah istri Fir’aun masih setia mengabdi pada musuh langit itu, tanpa –setahu saya– berusaha mencari Fir’aun yang lain. Jika memang ternyata Fir’aun bukan jodohnya, Dia percaya pada ketetapan langit untuk memberikannya pendamping terbaik (entah saat ini, atau nanti). Dalam romantisme manusia, bukankah saya akan tampak menyebalkan jika selalu mengkritisi pasangan saya dan mencari peluang mendapat pasangan yang lebih hebat (baik dengan mengganti atau menambah)? Dengan begini saya yakin akan semakin sedikit laki-laki yang mau meminang saya.

Bersetia dengan Cinta bukan serta-merta berarti buta. Bukankah saya percaya hidayah? Jika memang Cinta yang saya yakini ini bukanlah yang terbaik menurut konsep langit, sekuat apapun saya perjuangkan, tidak ada jaminan Cinta ini tidak akan berhasil. Tetapi bukan berarti saya harus menghabiskan waktu mempertanyakan Cinta tanpa pernah memperjuangkannya, kan? Karena dengan begitu kemungkinan Cinta berhasil tidak pernah ada.

Saat saya mencintai seseorang, saya berusaha meng-upgrade kecintaan saya padanya dengan maksimalisasi dan variasi pengabdian. Saat keyakinan saya berkurang pada seseorang, saya berusaha meng-upgrade penelitian saya padanya dengan bersikap ‘kritis’. Keduanya adalah perubahan, hanya dengan dibedakan faktor penyebab: kesetiaan atau kecurigaan.

No comments:

Post a Comment