April 9, 2013

Ruang Publik Agama (Pemaknaan Agama di Ruang Publik)

ini artikel ketiga yang saya kirimkan ke surat kabar. alhamdulillah dimuat di Mimbar Mahasiswa Solo Pos edisi 25 Maret 2013. anyway, statistik media saya benar-benar payah. ternyata terakhir ngirim tulisan ke media massa satu tahun lalu T.T
nah, di bawah ini naskah asli yang belum diedit penyuntingnya Solo Pos.

--

Ruang Publik Agama

Wacana Indonesia sebagai negara demokratis penyedia kebebasan beragama kembali dipertanyakan dengan pembongkaran paksa Gereja HKBP Filadelfia Setu, Bekasi, Kamis (21/3) lalu. Dinilai meresahkan masyarakat, kelompok agama ini telah berulangkali mengalami aksi kekerasan berbasis keagamaan.

Kelompok-kelompok minoritas, baik dalam identitas liberalis maupun fundamentalis, seringkali menjadi obyek anti-keberagaman di negara yang masih menggunakan semboyan Bhineka Tunggal Ika ini. Deretan aksi intoleransi tersebut bukan hanya lahir sebagai bentuk kekerasan fisik keagamaan, melainkan sedimen kekerasan intelektual terhadap agama.

Keberadaan masyarakat yang memilih jalan kekerasan untuk ‘menyelamatkan’ keyakinan dapat dilihat sebagai ‘aksi peduli’ terhadap agama. Namun, kepedulian intrareligius tanpa dibarengi komunikasi silang justru berpotensi melahirkan intoleransi interreligius. Nihilnya upaya orientasi terhadap golongan lain semakin meningkatkan paranoid terhadap eksistensi ‘the other’ yang berbeda pandangan ideologi. Tanpa komunikasi, semua perbedaan lantas diselesaikan dengan kekerasan.

Dihapuskannya iklim dialog keagamaan sebagai upaya ‘penyelamatan agama’ jalur damai tidak lepas dari ketiadaan ruang publik untuk agama di negeri ini. Penafikan luar biasa pada besarnya fenomena keagamaan (baik kekerasan terhadap ‘terduga’ teroris hingga maraknya ‘aliran sesat’) tampak pada apatisme keagamaan masyarakat beragama ini.

Konsekuensinya, berdiskusi dalam wacana keagamaan dinilai berbahaya. Membicarakan keyakinan dianggap pelatihan terorisme. Dalam level ketakutan selanjutnya, mempelajari agama (golongan) lain adalah sesat, lengkap dengan asumsi ‘usaha pengubahan keyakinan’ oleh pihak-pihak penyelenggara dialog.

Ketakutan yang berkembang menjadi apatisme hidup dalam atmosfir beragama dan keberagaman bukan tidak berbahaya. Secara sosial, intoleransi muncul dari apatisme keberagaman di bumi nusantara. Secara keagamaan, ketakutan ini berdampak tidak sehat pada keimanan. Tanpa ruang publik keagamaan, dialog (pembelajaran) agama berhenti pada level pendidikan formal.

Diskusi keagamaan di luar ruang kelas menjadi sangat ekslusif; terpusat pada titik-titik pertemuan ‘religius’ (rumah ibadah) dan oleh orang-orang ‘religius’ (pemuka agama, santri). Paskapembelajaran sembilan tahun dalam pendidikan formal, seorang penganut agama negeri ini akan mudah merasa cukup dengan ilmu agama dan agamanya.

Ketakutan diskusi beragama yang terlalu lama dipelihara bangsa ini lahir dari kebiasaan nrima masyarakat yang kebablasan. Agama pun dikenal sebagai warisan identitas turun-temurun yang harus diterima begitu saja, seringkali tanpa kesadaran. Sebagai bawaan lahir yang sudah fix, pengayaan maupun pembelajaran lebih mendalam tentang warisan tersebut dianggap tidak perlu, bahkan berbahaya karena ‘segala kebaruan’ di luar agama nenek moyang adalah sesat.

Agama: Ilmu dan Iman

Kesadaran agama menempatkan agama sebagai ilmu (knowledge) dalam budaya kesukarelaan beragama (voluntary religion) di Amerika. Dengan porsi demikian, terdapat ruang lebih luas dan bebas untuk mempelajari agama tanpa batas pelaku dan tempat. Ketika dialog dan pembelajaran keagamaan terselenggara dengan tingkat penerimaan antargolongan yang baik, peluang terciptanya harmoni pemahaman atas perbedaan akan lebih besar.

Meski begitu, dialog keagamaan, utamanya yang melibatkan golongan lain, selalu ditakutkan akan mengubah keyakinan seseorang. Melalui Dialogue Principal, Guru Besar Kajian Katolik dan Interreligius Dialog, Leonard Swidler, menyanggah pernyataan tersebut. Dalam dialog, seseorang tidak perlu menjadi salah agar orang lain menjadi benar, sebagaimana kompromi (compromise) tidak diperlukan dalam kajian ideologis. Ketakutan kompromi ini pula yang seringkali menjadi alasan penolakan dialog keagamaan.

Kenyataannya, kode etik dialog tidak membenarkan penarikan garis merah dengan keras untuk menyamaratakan semua agama dalam dialog antarideologi. Tanpa disadari, pergeseran makna ‘harmonisasi’ menjadi ‘sinkretisasi’ ini telah menutup kesempatan belajar agama (golongan) sendiri dan orang lain.

Argumen lain para penolak dialog keagamaan mengerucut pada tuduhan pendangkalan keimanan. Padahal dengan menjamurnya dialog agama –dalam variasi ruang dan peserta, kemungkinan tegaknya kesadaran agama dalam semangat kesukarelaan akan lebih besar. Sebagaimana penjelasan Michael Warner dalam Keyword for American Cultural Studies (2007) tentang voluntary religion, agama yang dipilih di atas kesadaran dan pembelajaran menggiring seseorang pada tingkatan religiusitas personal tertentu. Hal ini baik dalam rangka penciptaan hubungan vertikal dengan Tuhan. Dalam pemahaman lanjutan, ekspansi hubungan vertikal dimanifestasikan melalui pemahaman terhadap the others dalam variasi hubungan horizontal.

Masyarakat selalu ditakut-takuti dengan pemberitaan agama yang menyeramkan. Pembatasan dialog keagamaan di ruang publik diselenggarakan dalam pemahaman ‘damai itu diam’. Pelabelan golongan tertentu sebagai aliran sesat menjadi cerita horor baru yang menghapus semangat berkelompok dalam budaya keagamaan kita. Maka menjadi penganut agama yang biasa-biasa saja populer sebagai justifikasi pelabelan sesat dan kekerasan terhadap the others.

Saat ini kekerasan keagamaan seolah masih ‘dimaklumi’ negara atas dalil penistaan agama. Maka, bukankah sebuah penistaan bagi agama pula, jika negara mengharuskan masyarakat menuliskan agama tertentu dalam KTP tanpa kebebasan belajar dan membicarakan agama di ruang publik?

--

banyak komentar soal tulisan saya ini. yang mendukung dan tidak. yang positif dan tidak. bahkan ada yang menilai saya sebagai sepiliser. whatsoever. Tuhan yang tahu kucinta Dia... :)

No comments:

Post a Comment