April 8, 2013

#2 Penulis terhebat

2 Ramadhan 1433 H :: 21 Juli 2012 M

Prolog: Ini tulisan yang akan sangat subyektif, karena berkaitan dengan selera pasangan hidup seseorang. Thus, no offence, please :D

Di antara keajaiban Al Qur’an, bagi saya pribadi, untuk pertama kalinya saya jadi menganggap mencintai seorang penulis not that bad :D Jujur saya tidak berharap mendapatkan pasangan dari bidang profesi sejenis. Meskipun saya belum menjadi penulis beneran, saya masih berkeinginan tinggi menjadikan menulis sebagai bagian penting masa depan saya.

Menurut saya, pribadi gemar menulis seperti saya tidak akan klop berdampingan dengan lawan jenis berprofesi penulis sebagai pasangan hidup saya. Alasannya memang trivial dan silly: saya tidak suka laki-laki yang oke dalam hal tulis-menulis, utamanya fiksi. Karena akan menyaingi saya, kemungkinan perang soal pengetahuan sastra akan sangat tinggi, dan sangat tidak seru memiliki pasangan dari bidang serupa. Karena saya introvert, dengan suami penulis, potensi lingkungan pergaulan saya tidak bervariasi akan sangat tinggi.

Maaf maaf, tulisan ini memang berkesan sangat kacau dan tidak begitu esensial. Tapi ketakutan-ketakutan konyol tadi memang masih bertahan dalam impian saya. Sekaligus menguatkan paradigma saya mengenai penulis-penulis pria. Well, saya akui orang hebat pasti menulis. Atau setidaknya, ucapannya dijadikan tulisan. Tetapi tidak semua penulis pasti hebat untuk menjatuhkan hati saya #eaaa. Maaf-maaf, semakin gaje.

Saya tahu akan berdosa di hadapan manusia jika memposisikan Dia sebagai laki-laki atau perempuan. Tetapi kecenderungan saya yang sedang jatuh cinta pada Dia menjadikan saya memikirkan lebih banyak sisi maskulinitas hari ini. Saat baca Al Qur’an pagi tadi, saya tersadar kalau selama ini kitab di tangan saya memiliki bahasa langit yang tidak mungkin dapat disaingi penulis bestseller peraih nobel manapun. Pemilihan kata, perumpamaan yang digunakan, ‘permainan’ bahasa, tingkatan tafsir yang memungkinkan.

Segala teori sastra yang pernah saya dapat di kelas-kelas menulis tidak akan pernah cukup untuk menciptakan tandingan, pun satu surah-nya. Saya lantas berpikir, tulisan ini great dan Penulis ini cool. Oke, Dia memang tidak benar-benar menulis seperti manusia. Saya sedang membahas esensi kalimatillah yang dituliskan.

Mereka bilang, jika sedang jatuh cinta semua menjadi indah dan mungkin. Kali ini saya mengamini. Dulu saya melarang diri saya jatuh cinta pada penulis. Tetapi sekarang saya jatuh cinta pada Penulis terhebat sepanjang masa. Yang tidak ada satu pun yang dapat mencipta tulisan serupa milik-Nya. Pun jika titik kecil kemiripan itu tercipta, tidak ada satu pun tulisan yang memiliki kekuatan menggerakkan ummat sebesar Al Qur’an.

Tulisan-Nya sangat lengkap dan memenuhi kaidah logika teori filsafat apapun. Tetapi sebagaimana hakikat tulisan langit, tulisan dan pembuktian menemui proses yang sangat lama untuk mencapai kata kepastian. Tapi toh ini bukan buku ilmu pasti meskipun beberapa ilmu alam dijelaskan di dalamnya. Adalah keimanan, bukan rasa ingin menjatuhkan atau mencari kelemahan yang dibutuhkan untuk memahami tulisan-Nya.

Saya sadar selama ini masih ada sedikit riak dalam keimanan saya yang mengusik keyakinan saya atas tulisan-Nya. Tetapi kali ini saya mencoba lebih meresapi pesan-pesan yang berusaha Dia sampaikan melalui kata-kata ‘tinggi’ dan perumpamaan yang sebagiannya tidak membumi. Tak apa, karena penyampai risalah ada untuk membumikan Al Qur’an.

Sebagai muslim seharusnya saya tak perlu meragukan ajaran Al Qur’an. Karena usia saya tidak cukup panjang untul melakukan riset pribadi atas 114 surat cinta-Nya. Seharusnya jika saya benar-benar mencintai-Nya, saya akan baca dan mempercayainya. Tentu saya bukan orang yang seketika percaya ketika membaca. Tetapi setidaknya saya tidak perlu berepot menghabiskan seluruh hidup saya menyelidiki kebenaran Al Qur’an dengan sangat sedikit, atau bahkan tanpa melakukan satu pun ajaran-Nya. Seperti ceramah Ustadz saat tarawih hari ini, “Allah memberi ummat Muhammad ‘hadiah’ Ramadhan karena usia mereka tidak sepanjang ummat terdahulu. Diharapkan mereka dapat memaksimalkan amalan di bulan ini”.

See, adil sekali Dia. Ummat yang berusia paling singkat tetapi justru paling banyak merusak bumi-Nya, masih Dia beri keistimewaan dan kesempatan beribadah yang sama dengan ummat terdahulu. Bulan ini menjadi benar-benar lebih berharga. Jika ada yang katakan ‘tidak mau terjebak tren religius sesaat’, menurut saya dia akan merugi. Bukan ranah kita untuk menilai keikhlasan atau semangat beribadah seseorang. Sebelas bulan sangat cukup untuk ‘menimbun’ dosa, dan saya pribadi tidak yakin doa-doa ‘menyuruh’ saya cukup membantu menutupnya. Kita tentu tidak tahu seburuk apa aib seseorang yang Dia sembunyikan, sebagaimana keputihan hati seseorang yang selama ini (hanya) sedang tertutup debu. Dalam hal ini keberadaan Ramadhan sangat penting bagi mereka yang bersungguh-sungguh ingin berubah.

Sebagai bulan penanda turunnya ayat pertama-Nya, Ramadhan mengajarkan saya untuk berhemat waktu tidak mempertanyakan tulisan-Nya. Saya percaya Dia adalah Penulis terbaik, kurangnya pemaksimalan penggunaan otak saya untuk membaca ayat-ayat-Nya lah yang menyebabkan saya masih sering bertanya dan ‘menolak’. Terlebih hari ini –saat melarikan diri di Twitter siang tadi– saya menemukan tweet yang sesuai dengan kondisi ini: “Orang pintar belajar dari kesalahan orang lain, orang bodoh belajar dari kesalahan diri sendiri”. Kisah-kisah yang Dia tuliskan memuat pelajaran-pelajaran dari masa lalu. Jika saya pintar, saya tidak perlu menggunakan usia saya yang pendek ini dengan mencicipi semua kesalahan dan peluang azab tersebut, kan? Tetapi dulu saya memang terlampau sombong untuk mengakui kehebatan tulisan-Nya.

Sebenarnya saya mengagumi sosok penulis. Tapi penulis berita, pekerja media. Menurut saya yang korban media ini, mereka cooler daripada penulis buku cerita. Dibandingkan Dia, terkadang saya justru lebih percaya mereka. Dulu, sebelum saya membuka mata, saya tidak pernah menolak berita koran. Sementara setiap diceramahi mbak-mbak ROHIS, saya sering membantah berita mereka yang bersumber pada Qur’an. Sebelum belajar mengenal tulisan-Nya, dulu saya lebih memilih Koran (newspaper) daripada Koran (English of Qur’an). Ketika saya tersadar koran-koran itu menyampaikan berita menurut kepentingan masing-masing, saya jadi malas. Tetapi Koran tidak hanya untuk kepentingan golongan tertentu. Dia menulis bukan hanya untuk bangsa Arab keturunan Muhammad, tetapi seluruh ummat. Karena seharusnya aplikasi tulisan-Nya membawa rahmat bagi seluruh alam, bukan hanya golongan tertentu.

Ini (baru) tulisan kedua dari 30 catatan pencarian cinta saya. Mereka mungkin akan menilai rasio saya tergadaikan cinta ini. Cinta buta. Cinta tanpa logika. Tapi... tidak juga. Banyak tulisan-Nya yang dulu dijadikan olok-olok, disebut-sebut sebagai hanya dongeng raja-raja, dianggap kebohongan, dan kini terbukti kebenarannya secara ilmiah. Tentu setelah penyampai risalah telah tiada bersamaan dengan hilangnya kesempatan menjadi ‘orang-orang yang pertama kali percaya’. Sebagai seorang yang sedang mengupayakan Cintanya, saya ingin mencintai dengan baik. Saya ingin menjadi bagian mereka yang pertama kali percaya dan melaksanakan. Karena keyakinan saya berkata demikian. Bukan karena label bestseller dan blowing up media atas tulisan-Nya. Bukankah kepercayaan menjadi harga sebuah Cinta?

No comments:

Post a Comment