April 9, 2013

Merajut Tanpa Benang dan Jarum (Bagian 2)


Dia ciptakan suara-suara, dan tidak semua yang Dia ciptakan membantu dengan nyata. Seperti game developer yang ciptakan banyak ghost untuk dapatkan reward. Dan seringkali mereka tidak membantu.

Kalau mencari dan mengusahakan benang dan jarum itu (saja) masih begitu sulit, masih bisakah saya merajut? Saya pikir mungkin merajut bukanlah profesi yang paling tepat untuk saya.

Mereka bilang: seharusnya kau tidak boleh tertekan dengan pencapaian sejauh ini. They think (that) they know me, seperti menganggap kotoran luwak sebagai biji termahal di dunia atau tumpukan liur sebagai aset berharga. Those come from (sorry) shit.

Apa jadinya seseorang yang tumbuh dengan sosialisasi tidak sempurna, orang yang cacat secara sosial? Jiwa mereka juga cacat. Mungkin sama riskannya dengan kupu-kupu yang dipaksa bangun dari kehangatan kepompongnya oleh anak-anak kecil yang ingin tahu. Poor it.

After a long thinking… rasanya semua masih sama: hitam – abu-abu. Dan mereka (sekali lagi) pikir saya tidak berpikir. Terserah mo ngomong apa toh gue yang… #Wrong Way, Bondan-fade2black#

Menenggelamkan diri dalam pecahan kaca murahan yang menyayat kulit. Merusak wajah yang tidak sempurna. Menyakiti diri sendiri. And the story goes back… what a suck!

#np SS501: Because I’m Stupid.

Yeah, maybe like that… berhubung saya selalu berpikir dan merenungi kejadian lingkaran: tanpa pernah tahu titik awal dan akhir. Saat terdiam pun, gema di otak saya hanya menyuarakan semua kejadian-kejadian lingkaran.

Mencari Benang

Even though yang paling berantakan, ruwet, dan gak jelas… selama itu benang-benang yang punya awal dan akhir. Bukan roda, gelang, tutup botol, kincir angin. Dan hal-hal melingkar lain yang jika terus mellingkar dan merapat akan menyesakkan dan tewaskan saya.

Menguraikannya

Dengan tersenyum dan berpikir untuk sesuatu yang lebih jelas, lebih bermakna. Someone said: sepayah apapun itu, pasti bermakna. Okay, maybe yes -menurut mereka. Tapi apakah pantas saya pakai standar mereka yang bahkan bukan SNI? Sialnya, saya tidak suka standar mata, apalagi hati mereka. Karena semuanya hanya akan memantul ke otak mereka.

Tuhan yang tahu kucinta Kau… BCL sang.

Everything’s back to The Only Gave It to Me.

Bukan Anda, kamu, dia, mereka, juga kalian. No matter how precious your degree is.

Sebenarnya saya tidak peduli. Tapi otak (ditambah hati) saya begitu jahat dengan terus memaksa saya memikirkan kalian. Menyebalkan.

Kapasitas otak saya masih kecil, tapi sudah 18 tahun Dia biarkan saya rusak bumiNya. Padahal saya ingin kembali, tapi saya harus terus ke depan. Menyapa mereka dari podium dan memaksakan senyum palsu tanda terima kasih dan mengoceh banyak hal untuk menyenangkan mereka. Setelah itu menangis.

Poor me? No, that’s stupid. Dan menangis lagi, tapi bukan untuk sesuatu yang cukup tinggi dan sulit untuk ditangisi. Lantas, masih mulia kah air mata yang terus menetes keluar itu?

Saat hati tak lagi beku, ia menjadi cair untuk apa dan karena apa? Bukannya semua itu tangisan? Dan bertanya pun menjadi attitude orang bodoh: karena mereka tidak mau berpikir.

Ya, benar. Saya jadi egois tanpa sosok penjaga benang dan jarum yang dulu saya buang. Tapi saya masih punya sosok Yang Maha Memberi.

Padahal Undang Undang sudah mencatat saya sebagai orang dewasa secara yuridis. Sayang sekali. Seandainya bisa ditunda… padahal saya masih ingin berteriak kencang atas kekecewaan, bukan menangis dalam pemikiran yang terabaikan.

Padahal keong racun dirilis tahun 2008, tapi baru tahun 2010 hati saya bergejolak? *tulisan apa ini? analoginya terlalu menyesakkan dada!!*

Mungkin karena saat menerima gift-Nya saya belum paham dan berpikir semua ini akan berlangsung seperti mengikuti acara konser Justin Bieber di MTV: berteriak histeris dan terharu (?) menatap teman sebaya (saat itu) menyandang status dan peran seperti itu. Dan pastinya karena otak saya belum terpakai lebih dari 0,5 persen saat itu. Arrrgh!!

Saat kau tahu kau nyaman berjalan kaki tapi kau harus naik bus untuk sampai ke tujuanmu dengan alasan waktu. Dan ini paksaan dalam bahasa nasihat.

Debater itu munafik. Sometimes. Maybe yes. Maybe no. Saya ingin katakana “No” dan mengangguk, lalu katakan semua dengan jujur.

In my way…

No comments:

Post a Comment