April 8, 2013

#3 Kepo


3 Ramadhan 1433 H :: 22 Juli 2012 M

Manusia yang sedang jatuh cinta, naksir, atau sekedar kagum sederhana pada seseorang akan mencari informasi sebanyak mungkin tentang idolanya. Menjadi seorang stalker, dan tiba-tiba sibuk –kalau kata remaja sekarang– kepo, mau tau banget. Sebagai manusia, saya juga pernah seperti itu. Terlebih teknologi semakin memudahkan saya untuk kepo.

Via facebook, twitter, personal blog, myspace, atau yang lebih purba, friendster (saya memang tidak terlalu banyak main social networking). Sebagai sesama stalker, saya yakin banyak manusia lain paham apa yang saya lakukan dengan situs-situs tersebut terkait seseorang yang saya idolakan.

Sayangnya selama ini saya belum melakukan hal yang sama dengan Cinta (baru) saya ini. Membaca komentar seorang teman di catatan kemarin, saya jadi sedih dan sadar selama ini saya tidak se-Cinta itu. ‘Kalau memang cinta, pasti nggak berat baca ayat-Nya tiap hari. Pasti nggak berat hapalinnya. Pasti nggak berat melaksanakannya.’ Dan dia meneruskannya dengan realita ‘hafalan lirik’ saya yang selama ini lebih oke. Padahal lirik-lirik lagu itu ditulis dalam bahasa Inggris, jika saya ingin beralasan ‘Arab bukan bahasa ibu saya’. Padahal both lirik lagu dan ayat-Nya mengandung kemanfaatan penggerak pribadi, jika saya ingin beralasan ‘ayat-Nya nggak membumi’. Sebenarnya, seperti kata guru saya, ‘Semua alasan hanyalah pembenaran kemalasan’. Astaghfirullah.

Tapi alhamdulillah, setelah disadarkan ceramah Ustadz tentang kenapa Ramadhan harus dimanfaatkan, belakangan saya mulai sedikit kepo tentang Dia. Kalau ada yang menilai saya alim musiman, karena ‘tiba-tiba’ rajin belajar agama karena terpengaruh tren Ramadhan, saya bilang “It’s okay.” Menurut saya mereka yang tergerak untuk mengikuti tren ‘alim’ saat Ramadhan lebih baik daripada yang sok cool dan tidak berubah dalam dalih ‘tidak mau termakan tren’. Kalau dalam setahun saja saya tidak bisa mengambil satu bulan demi menurunkan ego duniawi saya untuk sedikit lebih berpikir tentang akhirat, kapan saya akan mulai benar-benar mendekat pada-Nya? Saya tidak yakin ‘ketiba-tibaan’ itu dapat kembali hadir di saat lingkungan pergaulan saya tidak mendukung.

Oke, semua orang bilang ini tentang takdir, hidayah, yang ‘kalau Allah memang menghendaki saya baik, saya akan baik. Dan seterusnya’. Segampang itukah takdir bekerja? Kalau Abu Dzar Al Ghifary berserah pada takdirnya, tetap berdiam dalam kesuksesan dan popularitas keluarga perampok besar Al Ghiffar, akankah dia menjadi salah satu sahabat yang keteladanan anti-kapitalisnya dapat kita pelajari saat ini? Hingga seluruh kabilah perampok itu diislamkannya dan mengabdi penuh untuk Cinta mereka? Dia bahkan rela mendatangi Muhammad ke Mekkah demi mendapatkan ajaran itu. Saya percaya hidayah memang dari Dia, tapi saya harus mendekat untuk mendapatkannya.

Cinta juga begitu, kan? Rasa cinta datangnya dari Dia, tetapi saya tidak bisa tiba-tiba mencintai Dia tanpa pernah berusaha mendekat dan mengenal-Nya, kan? Kenal saja tidak, bagaimana bisa cinta? Mereka yang tidak pacaran pun punya sistem yang disebut taaruf. Jika cinta pada manusia yang tidak pernah benar-benar memberi saya kebahagiaan saja mampu menggerakkan saya ber-kepo ria tentangnya, kenapa pada Cinta ini saya tak pernah kepo? Jika bingkisan manis dari seorang pengagum rahasia saat ulang tahun saja mampu membuat saya penasaran dan mencari tahu tentangnya, kenapa Dia yang memberi hidup sehebat ini tidak cukup membuat saya penasaran atas-Nya?

Maka saya mulai kepo tentang-Nya. Lewat berbagai buku, situs, kelompok, personal, dan medium lain. Tetapi akhirnya kepo saya agak ribet, karena kebiasaan mencoba banyak jalan. Beda persepsi antar-ulama, haroqah, website, halaqoh, penulis, ideologi, dan tokoh mewarnai kepo saya. Hasilnya? Ababil. Saya dibilang netralis (?), liberalis, sekaligus ekstremis, bahkan teroris. Padahal beginilah saya apa adanya. Fakir ilmu yang sedang belajar mencintai Dia. Saya yang banyak tanya dibilang pembangkang. Saya yang diam dicap taqlid. Akhirnya saya sadar, memang tidak semua harus ditanyakan. Apakah saya kalah? I don’t think so. Saya hanya belum menemukan sosok yang bisa mengisi titik kecil dalam mozaik warna yang saya ciptakan #eaaa.

Sepertinya, saya hanya harus lebih kepo tentang Dia. Kata teman saya, ‘Tiap benda ibarat kartu memori.’ Seharusnya Dia adalah kartu memori paling haybat yang bisa saya miliki, karena seluruh benda di semesta memiliki koneksi memori pada-Nya. Tetapi saya terlalu lemah untuk menggunakannya. Ilmu-ilmu tentang Dia terlalu bermuatan besar, yang bukannya mencerahkan saya, justru melemahkan daya saya alias menjadikan program-program saya lemot. Melihat kondisi ini, sebenarnya tidak ada yang salah selain saya.

Mungkin ketidakpahaman saya selama ini hanya karena hati saya belum cukup berkualitas untuk menerima Cinta-Nya. Dan sekeras apapun saya kepo tentang kebaikan kartu memori untuk ponsel saya, kalau ponsel saya tidak memenuhi spek yang dibutuhkan, kartu memori itu tidak akan bekerja. Astaghfirullah. Okay, next target: servis ponsel! :)

No comments:

Post a Comment