April 8, 2013

#13 Bolehkah Kita Bersaudara?


13 Ramadhan 1433 H :: 1 Agustus 2012 M

Sebenarnya saya masih belum bisa cerita banyak tentang laki-laki ini. Mungkin karena selama ini saya memang kurang dekat dengan dia. Atau kemungkinan yang lebih pasti, saya tidak benar-benar ingin tahu tentangnya. Sombong? Bisa jadi. Jual mahal? Iya juga. Tapi mungkin lebih pantas dibilang tidak tahu malu. Who do you think you are?

Tadi seorang teman mengingatkan saya tentang kasihnya. Saya jadi metal –melo total– dan semakin yakin kalau ‘batu beradu batu akan pecah’ –atau kata teman saya, ‘bisa jadi api’. Selama ini saya belajar agama mengandalkan akal, rasio, logika. Bisa dikatakan saya ini bukan hamba Allah tapi hamba logika. Padahal setahu saya, tingkatan keimanan adalah percaya (iman), ilmu, amal, dan seterusnya. Saya sok pintar dengan terus-terusan protes soal keilmuan tanpa ada iman. Tidak ada sami’na wa ato’na dalam kamus saya. Semua ilmu harus dijabarkan pada saya dengan logika manusia karena kebodohan saya memahami bahasa langit.

Alasannya klasik dan itu-itu saja. Saya nggak mau jadi taqlid. Bagaimana mau aplikasi kalau nggak tahu blue print nya? Kalau memang benar, kenapa ditutup-tutupi, kenapa nggak boleh tanya?

Padahal saya hanya gengsi untuk mengaku bodoh. Siapa saya untuk bisa mengerti semua ilmu langit? Belajar ilmu dunia (baca: kuliah) saja bikin saya nyesek dengan hasil mepet, apalagi ilmu-Nya? Saya yang orang bahasa belajar beberapa asal pembentukan kata dan hubungannya. Di linguistik, ada istilah arbitrary yang intinya susah jelasinnya karena hubungannya susah. Secara awam, hubungan ini adalah hubungan “pokoke” –kalau kata orang Jawa. Seperti arbitrary-nya penyebutan ‘kursi’ sebagai ‘kursi’. Saat dosen menjelaskan konsep ini, apakah saya protes? Tidak. Bukan berarti saya mahasiswa tidak idealis. Tapi seluruh linguist dunia akan menertawakan saya. Tapi kenapa saya masih sering protes pada aturan-Nya?

Saya kurang –atau mungkin tidak pernah– menggunakan hati dalam proses belajar agama saya. Padahal, untuk belajar ilmu dunia saja, mereka bilang, “Be a passionate learner!” Dan ternyata saya tidak pernah se-passionate itu saat belajar agama. Well, mungkin pernah ada hasrat menggebu saat berdiskusi agama dengan teman. Tetapi belakangan saya sadar, saya tidak pernah benar-benar belajar. Saat berdiskusi –atau tepatnya debat– saya memiliki kecenderungan besar mempertahankan keyakinan saya. Tujuan saya bukan lagi menyampaikan sesuatu yang saya yakini benar, tetapi memaksakan kebenaran itu agar diterima kawan saya. Saya jadi ngotot dan tidak jarang nafsu bermain di dalamnya. Kalau bukan nafsu, keinginan kuat apa yang ingin menjatuhkan argumen lawan bicara, in the name of God? Setahu saya, salah satu caranya memanusiakan manusia adalah dengan menjauhi perdebatan, sekalipun benar.

Muhammad tidak pernah memaksa. Sebagai penyampai risalah, tugasnya adalah menyampaikan. Kalau kata teman saya, dia adalah tukang pos yang menyampaikan surat dari Tuhan untuk hamba-Nya. Tetapi tidak semua surat diterima, kan? Saat surat sampai di kotak surat, adalah hak pemilik rumah untuk membaca, membalas, atau langsung membuangnya. Tukang pos seharusnya tidak ambil pusing tentang itu. Tapi tidak dengannya.

Ummati... Ummati...

Setahu saya, di akhir nafasnya dia justru mengkhawatirkan umatnya. Dia bahkan menangis merindukan golongan yang disebutnya sebagai saudara; mereka yang masih mempercayai ajarannya meskipun tak lagi menjumpainya.

Kalau dia masih ada, saya pasti tidak segalau ini. Semua pertanyaan ‘tidak penting’ saya bisa dijawab olehnya. Semua kekecewaan saya terbalas senyum dan kebijaksanaannya. Tetapi dia sudah tidak mungkin kembali, kan? Dan dia sudah memikirkan kondisi ini, masa di saat manusia menjadi terlalu sok pintar dengan tidak cukup yakin pada kesempurnaan hukum langit. Maka wajar jika orang-orang yang masih mempercayainya ketika dia telah tiada, disebutnya sebagai saudara.

Dari sahabatnya, saya tahu bagaimana dia menangis merindui saudara-saudaranya. Dia begitu rindu berjumpa orang-orang yang masih mempercayainya di masa depan. Dulu saya biasa saja mendengar kisah ini. Tetapi kini saya sadar, tidak ada lagi perang pedang. Pemikiran diaduk, hati mati rasa. Padahal, katanya, barometer iman adalah hati. Tetapi, apakah validitas barometer itu masih oke jika bahkan parameter baik dan buruk kini begitu relatif? Dulu saya begitu sinis melihat Mbak dan Mas Rohis yang hobi lebay membahas ghozwul fikr, perang pemikiran. Tetapi sekarang saya sadar, perang itu belum selesai. Bahkan, bagi saya, mungkin baru akan dimulai.

They say you can never love someone whom you have never seen. I just smiled and said, ‘I haven’t seen my Prophet Muhammad SAW, but I love him dearly’. Kata-kata ini saya dapat waktu kepo tumblr kakak saya. Mungkin saat ini saya belum benar-benar cintai dia, tapi saya sangat merindukannya.

Saya rindu sosok pemimpin hebat sepertinya. Sosok yang mengayomi seperti ayah, yang melindungi seperti kakak, yang menyayangi seperti adik. Pemimpin yang benar-benar menjadi bapak negara. Sosok yang mampu dan mau menjawab kegalauan saya tanpa memandang rendah saya. Sosok yang tidak mengenal perbedaan kelas sosial. Sosok yang tidak diskriminatif, menjadikan semua yang di sisinya merasa spesial dan mampu berjuang untuk agamanya. Sosok yang menjadikan saya paham kenapa Dia memilihnya sebagai perantara pesan.

Saya tahu hampir mustahil menemukan sosok semirip itu. Tapi saya yakin jika dia benar-benar masih disebut-sebut sebagai teladan terbaik, banyak pribadi di luar sana yang memperjuangkan kemuliaan akhlak sepertinya. I’m not talking about a future husband, karena saya cukup sadar diri. Saya berbincang tentang para tukang pos, penerus pesannya. Saya yakin, sosok-sosok itu masih ada dalam barisan manapun, di bawah bendera apapun. Saya tahu tujuan mereka sama, hanya jalan mereka yang berbeda. Tapi malaikat mungkin sudah mendoakan mereka sebagai saudara Muhammad.

Bagaimana bisa saya merindunya, berharap menjadi saudaranya, jika bahkan untuk beriman saja saya tak mampu? Bukankah Dia menjanjikan masa-masa kejadian pada tiap ayat? Bukankah tidak semua pertanyaan harus dijawab? Bukankah ilmu manusia hanya sebesar buih di laut-Nya? Apakah harus adzab-Nya diturunkan dulu agar saya percaya, sementara saya tahu adzab umat ini ditangguhkan? Haruskah saya menunggu ajal mengetuk sebelum saya bersaksi?

Ternyata selama ini saya terlalu banyak bertanya tanpa benar-benar berniat percaya. Apalagi bekerja untuk-Nya. Astaghfirullah.

No comments:

Post a Comment