April 8, 2013

#11 Bukan malaikat, tapi...


11 Ramadhan 1433 H :: 30 Juli 2012 M

Ada kartu nama baru di kotak cinta saya. Kali ini manusia. Laki-laki pertama yang bisa buat saya betah nonton film beradegan perang yang durasinya tiga jam lebih. Pria lembut dan sopan yang tidak menjadikan saya ilang feeling seperti kelembutan ikhwan lain. Sosok yang sangat jenius dan cerdas, tetapi tidak sombong, bahkan menundukkan kesombongan saya yang sok pintar. Dia yang enterpreneur pun membuat saya mulai berkeinginan membaca buku Ipho ‘Right’ Santosa –meskipun sebelumnya beberapa teman sudah heboh merekomendasikannya.

Dia anak dari keluarga yang secara kelas sosial tidak bisa dibilang ‘wah’ –atau kalaupun keluarga besarnya memiliki jabatan duniawi, dia tidak berbangga dengan itu (soalnya saya nggak tahu kalau ternyata keluarganya pejabat sebelum cari info tentang dia). Dia bukan mahasiswa dari universitas nasional (atau internasional) terkenal dengan beasiswa penuh karena IPK cumlaude dan prestasi lain. Bukan, dia bukan mahasiswa berprestasi. Dia juga bukan PHT organisasi internal atau eksternal mana pun. Saya bahkan mungkin tidak tahu apa yang sebenarnya dia lakukan karena dia jarang terlihat. Tapi bukan berarti dia hanya brainware tanpa kerja.

Dari sahabat-sahabatnya, saya tahu dia sangat cerdas. Dalam program-program yang mereka ciptakan, dia adalah otak sekaligus penggerak –yang nggak hobi nampang. Dia tidak gila kekuasaan, karena dengan capaian dalam curriculum vitae-nya sejauh ini, bukan tidak mungkin dia menjabat di tingkat pusat. Tapi dia menolak. Dia tahu, kekuasaan berpotensi mempersempit geraknya. Lagipula dia paham atmosfir apa yang memenuhi langit kekuasaan hari ini. Salah satu poin keren lain darinya: dia berani dan tidak mau bercampur dengan sesuatu yang dari awal sudah salah. Kalau kata teman-teman, mungkin dia ikut NGO.

Sebagai laki-laki, pribadinya sangat mempesona. Well, dia memang tidak setampan Nabi Yusuf, tapi bagi saya pribadi, face is nothing compared to brain (kalau sekarang, plus attitude). Dia ramah pada semua lapisan kelas sosial, rajin berbagi secara sembunyi-sembunyi, sayang banget sama anak yatim seperti saya, adil sama semua orang meskipun tanpa koar-koar asasi, jago berantem tapi bukan buat keren-kerenan, juga pintar memaksimalkan pintu rezeki. Benar-benar calon suami dan menantu idaman yang subhanallah sekali.

Dia bukan bad boy, tapi bukan juga anak-anak cupu yang sering kena bullying. Para preman respect and honor him, dan anak-anak yang dibilang kamseupay ada di bawah perlindungannya. Sahabatnya banyak dan terlihat seperti perkumpulan orang terkenal yang keren. Tapi bukan dia yang mendekati mereka. Karena kebaikan dan kharismanya lah, mereka mendekat padanya. Melihat hubungan mereka, saya tidak bisa menahan hasrat untuk kepo. Saya heran, pribadi apa yang dia miliki, yang mampu jadikan orang-orang hebat itu bahkan rela mati untuknya. Saya pikir, hanya orang super hebat yang orang-orang hebat lain rela persembahkan nyawa mereka untuk membelanya. Bahkan kalau rumah salah satu anggota dewan dirampok hari ini pun, saya cukup yakin hanya keluarganya yang biasa menikmati kemewahan itu yang akan menangis. Selebihnya, rakyat yang lihat liputan di TV –bisa jadi dengan tertawa– akan bergumam, “Ingat sedekah, Pak.”

Kalau saya curhat sama teman-teman saya, mereka akan protes, “Hari gini, mana ada orang kayak gitu? Itu sih cuma ada di zaman nabi!”

Well, daritadi saya memang curhat soal beliau. Muhammad, putra Abdullah. Seorang yatim piatu, pedagang yang menikah dengan ‘majikannya’. Seorang jujur, ramah, sopan, lembut, adil, pemaaf, sekaligus tegas. Cerdas dan ahli strategi perang, pemimpin tertinggi jamaah Islam sepanjang masa. Orang bijak yang perkataannya penuh hikmah, seorang buta huruf yang dianggap penyair gila. Pemimpin dengan teman dan pasukan perang terkuat dalam lindungan langit yang menolak jabatan manusia. Seorang yang sangat tidak sombong dengan pengikut sebesar itu. Kacang yang tidak lupa kulitnya dengan masih mau pakai aturan langit dan tidak sok-sokan pintar bikin hukum sendiri.

Dulu saya biasa saja membaca tulisan “...diturunkan Nabi dari kaummu sendiri, agar kamu dapat meneladaninya...” dan sudah bosan mendengar jabatannya sebagai uswatun khasanah, teladan yang baik. Tetapi sekarang saya mulai sadar. Sebagai utusan terakhir, dia sangat dekat dengan manusia. Pengutusnya telah memikirkan hadirnya golongan kebanyakan protes dan tanya seperti saya ini, jadi dikirimkan lah sosok yang benar-benar manusiawi, bukan malaikat, sebagai utusan terakhirnya. Dia bukan Sulaiman yang raja. Dia pedagang, dan siapa yang tidak bisa berdagang? Dia bukan Musa yang dibesarkan di kerajaan haybat Fir’aun. Dia anak yatim piatu yang bahkan juga penggembala. Dia menolak jabatan manusia, meskipun matahari dan bulan diletakkan di kedua tangannya. Tetapi kenapa kertas suara di pemilu selalu lebar dan banyak fotonya?

Dia manusia biasa. Yang benar-benar bisa dijadikan teladan secara status sosial, profesi, dan kepribadian. Mungkin ego childish saya yang selama ini menolak meneladaninya. This is me, jangan paksa saya jadi Muhammad, atau Aisyah, atau Khadijah. Sebenarnya tidak ada yang memaksa. Tapi, di dunia ini, manusia mana yang tidak mau menerima seseorang yang mau menyuapi orang yang meludahinya? Saya hanya hobi mengeluh, kasar, dan jahat. Sepintar apapun saya, kalau saya menyebalkan, saya tidak akan diterima. Kecuali penerimaan untuk sekedar pemanfaatan. Astaghfirullah.

No comments:

Post a Comment