April 9, 2013

Topeng (cerpen)


Kepada Tuhan di atas sana.
Entah di istana mana Engkau berada,
Entah dalam bahasa apa Engkau berbicara.

Tuhan, belakangan ini kurasa jenuh dan maluku merangkak memuncak. Tentu ianya malu tertuju pada-Mu, karena bagiku, tiada alasan bermalu pada sesama ciptaan-Mu. Hari-hari terakhir mereka bahkan tenggelam memujiku. Untuk semua capaian prestasi, torehan pengabdian, berikut nama baik yang kuberikan. Bagi mereka aku ini orang baik seperti ulama, sebagaimana penggerak bijak laiknya umara. Kau tahu, aku justru malu dibuatnya.

Sebagai dalang, para wayang dan penonton takjub pada lihainya tanganku berkelibat membelah bayangan. Kata mereka, lakon yang kumainkan selalu lebih bagus dari versi aslinya. Mereka lantas melabeliku dengan sebutan-sebutan langit. Aku bukan tak girang, tapi merasa belum pantas. Dibanding dengan-Mu, aku tak ada nilai. Sebagai dalang yang memainkan wayang terbanyak di bumi, peran-Mu begitu menakjubkan. Pun Kau diakui dalam berbagai bentuk dan sebutan. Sementara aku, tiada satu pun gelar itu benar-benar menjelaskan siapa aku.

Kau tentu paham, aku seperti itu bukan tiak ada apa-apa. Selama ini kupakai agama, keluarga, ras, bangsa, bahkan negara sebagai legitimasi lakon-lakon itu. Mereka kemudian menyebutku dalang religius, sholeh, nasionalis, dan seterusnya. Padahal Kau tentu paham, ada semburat-semburat lain mewarnai kanvas perjuanganku. Mereka sebut itu aktualisasi diri.

Abraham Maslow bahkan menempatkan aktualisasi diri pada lapisan atas teori piramida kebutuhannya. Sesuatu yang cukup sulit dan berharga untuk diraih, bukan? Tak heran jika kemudian banyak tangga digunakan demi mencapai titik ini.

Aku tahu, bukanlah aku pejuang bertopeng pertama yang melayangkan tulisan bernada sama pada-Mu. Kawanku banyak berjuang di luar sana atas nama ini-itu demi pada akhirnya terbentur capaian aktualisasi diri masing-masing. Dosa kah? Kurasa tidak. Menjadi aku tidaklah semudah mengimitasi dia atau mengkloning dirinya. Sama sulitnya dengan mencerna manusia being I dan becoming I. Ketika aktualisasi diri yang disarikan cukup kental demi menghimpun unsur aku pada diriku, segala cara akan kulakukan untuk mendapatkan bentukan terbaik. Termasuk dengan membeli banyak topeng untuk mendukung ke’aku’anku.

Membeli? Mungkin Kau tiada berharap –pun jika Tuhan Yang Maha diperbolehkan merajut harap– kugunakan cara kapitalis pada hal-hal yang sering dikaitkan pada-Mu: kepercayaan, agama, pemerintahan, kepemimpinan. Namun ajaran hidup mengharuskanku keluarkan modal besar demi mendapatkan topeng terbaik. Semakin tinggi harga kubayar, semakin tebal dan berkilau topeng kudapat. Maka, semakin sempurna warna ‘aku’ yang kulukis. Pada titik ini kuyakini kalimat “Jer basuki mawa beya” diciptakan bukan sekadar sebagai baris pelengkap buku Kawruh Basa Jawa anakku.

Akhir-akhir ini aku merasa tergelincir. Hanya karena beberapa baris dalam daftar centangku terlewat. Beberapa jadwal penting terabai. Beberapa target pupus tercapai. Hingga akhirnya aku berhenti tanpa kata, karya, dan kuasa. Tetapi topeng-topeng itu sekali lagi selamatkanku. Kala ini kupilih topeng hitam berhias abjad kuning emas. Pendidikan. Bagi mereka, wajar bila orang macam aku lewatkan acara-acara yang tiada mendukung pendidikan di saat karir akademik sedang kuperjuangkan. Aku tersenyum dan mengelak halus. Mereka bilang low profile. Padahal tentu Kau sangat paham. Aku hanya tidak becus mengatur dua puluh empat jam keseharianku.

Sebelumnya mereka bahkan menghalangi karir akademikku. Bagi mereka, tak perlu bersusah payah menanti gelar Guru Besar. Mainkan saja lakon “Jadi Pemimpin” seperti mereka usulkan. Ketika kau menjabat, segala gelar akan mendekat. Tetapi Kau paham nilai yang kuberlakukan, bukan? Topeng politik belum begitu menyilaukan layang pandangku saat ini. Tiada pikir kata-kata mereka, bilang semua berpolitik dan semuanya adalah politik.

Mungkin aku harus ciptakan gradasi-gradasi baru biar warnanya kembali cantik. Para pengrajin topeng politik tak lagi kreatif di mataku. Sentuhan kasar nama-Mu bahkan akrab bermain palu dan sabit. Ngawur sekali. Kalaupun ingin berbagi warna, setidaknya jangan terlalu kontras. Tapi aku toh tidak akan tahu, kan, jika ternyata para pembuat topeng politik adalah penggemar fashion Harajuku? Yang semakin nggak nyambung, semakin keren dan fashionable.

Oh ya, terkait topeng politik tadi, belakang ini rumahku jadi ramai dikunjungi warna-warna. Pikirku mereka kesulitan ekonomi, meninjau topeng-topeng yang tak cukup tebal pun berkilau guna sembunyikan warna asli mereka. Dalam pergaulan sosialita tentu mereka tak tampak kesulitan ekonomi, dengan banyaknya tumpukan topeng di wajah. Tapi saat lebih dekat mengamati, kusadari banyak lubang dan goresan di sana-sini. Nyata setelah kuperhatikan, banyak mengendap helai tanpa kualitas melapisi warna asli.

Ya. Mereka memakai sekaligus banyak topeng tipis tanpa karakter kuat. Masing-masing pelanggan topeng berlapis itu menawariku menjadi bagian mereka. Tentu saja dengan pujian atas prestasiku selama ini. Seorang yang sukses memimpin keluarga, agama, yayasan, lingkungan, organisasi, dan tentu saja... mereka. Tetapi aku masih meragu akan benar-benar sukses hanya dengan dukungan topeng-topeng lapisan seperti itu.

Menurutmu, apakah aku berubah pikiran?

Sedikit banyak, kuakui, iya. Tampaknya menciptakan warna baru di sistem rapuh itu cukup menyenangkan sekaligus menyulitkan. Kau tahu, bukan, aku tidak pernah sungguh-sungguh dengan niat menghancurkan mereka di atas semua topeng ini. Aku hanya ingin mainkan lakon baru dengan keindahan topeng-topeng buatanku. Mungkin, suatu saat aku tak lagi butuh topeng-topeng ini. Tetapi terkadang kita harus berbohong demi kebaikan, kan? Semacam white lies yang saat ini penggunaannya semakin bias.

Maka kuputuskan memasuki bangunan mereka. Membangun pentas besar di atasnya dengan aku sebagai dalang tunggal. Aku sudah meninjau lapangan sebelumnya; hanya ada beberapa retak kecil dan kemiringan gedung beberapa derajat. Bukan masalah besar dibandingkan penghuni-penghuninya. Aku berencana mengerahkan teman-teman sesama pelanggan topeng berkualitas untuk merombak penuh tempat itu. Tampaknya mereka akan sangat tertarik membuka stand topeng masing-masing setelahnya.

Tapi Tuhan, untuk tujuan besar itu, kali ini aku sedikit memohon bantuan-Mu. Bukan aku selama ini menafikkan keberadaanmu sehingga jarang meminta, tapi jadwal dalang akhir-akhir ini membuatku overload. Walau begitu aku yakin, sebesar keyakinanku pada keberadaan-Mu, Kau pasti akan membantuku. Kau sangat baik dalam multi peran selama ini. Direktur, Manajer, sekaligus Supervisor padepokan pewayanganmu. Menurutku sangat keren. Dan sebagaimana Kau paham tingginya anak tangga terakhir yang akan kupijak, bagaimana kalau kita sedikit berbisnis?

Belakangan ini kembaraku mencapai titik jenuh. Sudah kutemui pengrajin topeng terbaik di dunia ini. Beberapa yang oleh anak-anak remajaku disebut pakar konspirasi dunia kemudian menawarkan alamat ini padaku. Alamat-Mu. Menurut mereka, jika ingin bermain, jangan hanya mengamati dari tangga terbawah yang bahkan begitu sering dilewatkan dalam langkah terburu. Sesekali keluar dari balik layar menurut mereka akan sehat untuk mata. Meskipun pada akhirnya aku harus kembali bekerja sebagai dalang.

Sebagai dalang, aku ingin pentas ini menjadi pagelaran pamungkasku. Kata sulungku, “Ayah sudah cukup tua dan berpengaruh untuk mencoba mempengaruhi kebijakan negara. Terlebih memimpinnya.” Baginya, itu adalah pelarangan untukku meraih plat mobil “RI 1” atas kendaraan dinas negeri ini. Bagiku, itu adalah bukti nyata peluang kesuksesanku. Aku jenuh pada garis batas dalang tua yang hanya dikenal para wayang dan tim karawitan berikut bagian kecil kelompok orang tua pengagum kebudayaan. Sesekali, sebelum dunia wayang mati, aku hendak tampilkan sesuatu yang berbeda. Di atas panggung, dengan menghadap penonton, tanpa kain penutup.

Kata siapa pertunjungan wayang harus tentang bayangan? Meskipun secara harfiah wayang berarti bayangan, aku percaya esensi pertunjukan masih mengendap pada filsafah yang disampaikannya. Sebagai pioneer pentas wayang tanpa bayangan, peranku akan lebih membumi. Tidak hanya bagi para wayang dan tim karawitan, melainkan penonton dunia.

Tetapi, untuk pentas terbesar sekaligus pamungkas ini, aku benar-benar membutuhkan bantuan-Mu. Kau tentu belum lupa, mula aku mendapatkan alamat hingga surat permohonan ini kutulis pada-Mu bukan karena apa-apa. Para pemimpin besar selalu berdiri di balik nama dan kekuatan-Mu. Entah dalam label penyembah Dewa, Budha, Allah, Yesus, Sang Hyang Widhi, bahkan Mata Satu. Tetapi saat ini boleh Kau akui jika aku sedikit lebih pintar dari para pemimpin itu.

Aku bermaksud membeli topeng-Mu.

Dengan begini, bahkan mereka pun akan menjadi wayangku, kan? Maka pentas besar yang kurencanakan dapat berlangsung spektakuler. Tentu saja aku tak akan gunakan topeng-Mu dalam waktu lama. Cukup hingga para penonton mengakui keberadaanku sebagai dalang legendaris. Setelah itu Kau boleh ambil seluruh topengku, termasuk ragaku jika perlu. Jika kau mengamini, bisa kupastikan ini menjadi permohonan terakhirku.

Untuk label tertinggi, aku sadar harga topeng ini akan sangat melangit. Namun berhubung mereka meyakini aku sangat dekat dengan-Mu, bagaimana jika Kau beri aku diskon hingga tujuh puluh persen? Atau, menetapi sebutan Maha Kaya, Pengasih, dan Penyayang yang diidentikkan dengan-Mu, bagaimana jika Kau berikan saja topeng-Mu padaku? Gratis. Maka aku tentu akan semakin meyakini kuasa-Mu.

Kata mereka, Kau akan memberi petunjuk balasan surat ini. Meskipun belakangan langit semakin sibuk dengan pertarungan doa politik menjelang pemilu, besar harapku surat ini mendapat prioritas balasan dari-Mu. Tetapi tolong pastikan pada kurir pengantar, jangan sampai balasan-Mu nyasar di bangunan sebelah. Mereka bilang, itu kantor lawan politikku. Padepokanku berwarna hijau-putih-biru, menetapi apa yang disimbolkan dengan ketenangan agama-agama-Mu.

Sebagai salam terakhir, terima kasih atas kerja sama ini. Semoga aku menjadi klien paling berkesan untuk-Mu hingga kiranya diperkenankan oleh-Mu perpanjangan kontrak ini.


Salam,
Aku yang meyakini kebaikan-Mu,

Calon Tuhan

--

Surakarta, 23 April 2012

*ini contoh cerpen yang terlalu banyak disentuh. jadi nggak jelas apa yang dibicarakan. tapi malah sejalan dengan temanya: birokrasi. biasa lah, ribet dan berbelit-belit. haha

No comments:

Post a Comment