Title :Surat dari Negara
Tags : sosial, politik, pemilu, remaja, dilema
Character : siswa/i kelas 2 SMA, 17 tahun
Synopsis :
Tokoh aku cukup syok ketika mendapati dirinya terdaftar sebagai pemilih pada Pilpres 2014. Meskipun secara fakta usianya telah memenuhi kualifikasi pemilih, baginya umur tidak menentukan kedewasaan seseorang. Kebetulan saja takdir menjadikannya lebih tua dari teman-teman sebayanya. Dia merasa belum cukup bijak menggunakan hak pilih. Latar belakang politiknya nol, pengetahuan profil calegnya sangat jauh dari kurang, dan utamanya dia belum ingin mengemban tanggung jawab sebesar itu.
Baginya memilih presiden bukanlah sebatas soal partai mana yang paling populer atau visi-misi capres mana yang terbaik dan paling feasible dilaksanakan. Memilih presiden berarti ikut menentukan nasib bangsa lima tahun ke depan.
Dia tidak ingin asal pilih hanya karena kakak sulungnya sering berceramah ‘abstain itu dosa’ atau menjalankan amanat guru kewarganegaraannya ‘ikut berpastisipasi dalam pemilu berarti menyukseskan demokrasi’. Terlebih kawan-kawan seusianya tidak pernah serius memikirkan ini. Mungkin karena mereka belum pernah mendapat kartu pemilu, atau karena ‘urusan negara’ selamanya hanya menjadi kepentingan pihak-pihak tertentu.
Maka dia mulai memikirkan capres mana yang mewakili kepentingan-kepentingannya.
Sebagai pelajar pada umumnya, dia tidak suka pengadaan ujian nasional yang selalu menjadikan para guru dan kakak kelas overreacting. Dia juga tidak suka libur pendek saat bulan puasa yang membuatnya harus terserap hawa lemas teman-temannya. Dia tidak pernah bagus pada sains tetapi menonjol di kesenian, maka dia mengharapkan sistem pendidikan yang ‘mendalam’ sejak awal, agar mereka yang tidak dapat melanjutkan sekolah selepas SMP/SMA (seperti salah satu temannya) tidak bingung menggunakan banyaknya cabang ilmu yang terlalu dangkal.
Soal putus sekolah juga harus diatasi. Dia mengenal orang-orang berpola pikir pragmatis di desanya yang mencela sekolah akibat tujuan pembelajaran yang menurut mereka terlalu teoritis dan abstrak, maka sistem pendidikan yang mengutamakan life skill harus dioptimalkan.
Dia juga –meskipun benci perpolitikan– menginginkan capres yang benar-benar berani menjadi pemimpin, yang kata guru agamanya ‘bertanggung jawab dunia-akhirat atas umatnya’. Soal DPR apalagi. Dia ingin capres yang bisa menciptakan parlemen yang keren, yang apabila rapat tidak norak dan porno. Dia pernah mengidolakan kakak-kakak kelasnya yang menjuarai debat parlemen internasional. Menurutnya ‘yang seperti itu baru bisa dibilang mikir’.
Setelah mendaftar kriteria capres idaman, dia mencoba mengenal keempat profil capres melalui perantara Mbah Google yang melebihi oang pintar. Bahkan dengan mengulang pencarian itu selama satu minggu, dia harus menerima kenyataan figur capres idamannya tidak pernah muncul dalam surat suara.
Dia tidak mengikuti pemilu legislatif sebelumnya karena (kebetulan) sakit, sehingga tidak perlu bingung dengan ratusan nama yang menimbulkan peluang dosa tinggi (karena salah pilih anggota dewan). Tetapi hanya dengan empat nama sebagai ‘produk’ yang ditawarkan, kegalauannya tidak menipis. Pertimbangan-pertimbangan pengalaman politik, intelektualitas, spiritualitas, gender, bahkan perupaan semakin membingungkannya.
Sudah lima menit dia berdiri dalam bilik suara, tetapi tangannya belum menyentuh alat contreng tersedia. Dia bisa merasakan pandangan sebal dan pemikiran negatif orang-orang yang mengantri nyontreng di luar bilik. Tidak ada suara selama lima belas menit, hingga sosok itu jatuh dan dikerumuni panwaslu.
Surat suara yang hampir terlipat itu tidak meninggalkan contrengan apapun kecuali kotak tambahan di bawah keempat capres. Sebuah silhuet tanpa nama, gelar, partai. Tambahnya di bawah silhuet itu ‘DICARI: pemimpin beriman, cerdas, dan merakyat’.
No comments:
Post a Comment