April 9, 2013
Merajut Tanpa Benang dan Jarum (Bagian 1)
Saat saya berpikir cahaya saya akan benar-benar menyinari tingkatan ini, kembali saya dipersalahkan oleh ego yang sebenarnya bukan otoritas saya.
Saya pernah buang semua benang dan jarum yang dulu bantu saya hasilkan beberapa helai rajutan (yang masih cacat).
Tapi sekarang, tanpa benang dan jarum itu, masih bisakah saya merajut? Apapun jawabnya, saya harus tetap merajut. Sebagai professional: merajut pola mereka.
Saat bertemu merak di taman (bagian gersang mana di kota itu yang menyimpan keindahan merak?) saya pikir tak apalah jadi feminim yang benar-benar mempesona sepertinya. Anggun yang totalitas, feminis kuno.
Saat melihat ke atas: rasanya terbang bebas seperti elang menyenangkan sekali~~ tapi saya tidak terlahir perkasa seperti elang. Yah… paling tidak saya menyukai sayapnya. Apapun nama mereka, saya kagum pada bulu-bulu yang dirajutNya itu, menerbangkan mereka pada langit yang begitu bijak.
Haaah… tapi saat pada akhirnya saya dapatkan sayap itu, saya “tersesat” dan terkurung dalam sangkar emas yang saya bangun dengan liur saya (sekarang ini saya seekor wallet).
Mereka lihat sarang saya sebagai peti emas atau kebun buah yang siap mereka panen. Tapi bagi saya, sangkar ini tak lebih dari tumpukan liur yang begitu memuakkan.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment