Korupsi, Mahasiswa, dan Masa Depan Moral Bangsa
Oleh Esty Dyah Imaniar
6 Oktober 2012 memberi baris baru dalam catatan panjang upaya pembersihan moral bangsa. Ribuan orang, tersebar di berbagai ruang publik urban dan suburban, ramai menyuarakan perjuangan penyelamatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Penangkapan penyidik KPK asal Polri, Novel Baswedan, diperkirakan erat terkait dengan isu pelemahan KPK yang muncul dari rencana revisi UU KPK dan penarikan penyidik KPK dari unsur kepolisian .
Meyakini peran besarnya sebagai agen perubahan, tidak sedikit pemuda bergelar mahasiswa terjun dalam banjir manusia pengusung misi ‘Bersih Indonesia’ tersebut. Semangat penghapusan korupsi sebagai bagian konservasi moral bangsa dihayati mereka dalam kobaran orasi anti-korupsi. Tuntutan pada para pemimpin negeri serta hujatan kepada para pencuri berdasi dilayangkan secara cerdas dalam emosi yang bisa dibilang cukup dewasa. Namun seberapa jauh semangat ‘bersih-bersih’ itu merasuk dalam jiwa mereka?
Dalam perjalanan pulang menuju rumah, kos, atau kampus selepas aksi anti-korupsi, sebagian mahasiswa tentu masih menyimpan semangat perubahan tersebut. Sayangnya, tidak semua intelektual muda itu ingat dan sadar penuh makna perjuangan mereka saat orasi. Pada sudut-sudut sekretariat atau tepi koridor serta lorong-lorong panjang di depan kelas, kelompok itu terkadang melupakan project description dalam tiap aksi #SaveKPK mereka.
Selepas kabar ujian menyebar, menyadari kesibukan organisasi menyediakan tidak cukup waktu untuk persiapan akademik, semangat untuk ‘bersinergi’ saat ujian menjadi jalan pintas. Para aktivis yang sama, almamater ‘Bersih Indonesia’ yang sama, minggu yang sama, tetapi aksi yang berbeda. Sebagian mereka yang berkapasitas intelektual dan moral cukup baik akan memilih untuk percaya pada kemampuan pribadi saat ujian, meskipun terkadang kembali melupakan esensi kejujuran saat jadwal padat rapat internal dan eksternal mengharuskan mereka ‘titip absen’ atau melakukan kejahatan akademik lain, yakni ‘peminjaman’ ide orang lain yang kembali dituliskan dalam bahasa –atau jenis huruf yang berbeda: plagiarisme.
Menyontek saat ujian, titip absen, dan plagiarisme merupakan tiga dari kebiasaan mahasiswa yang semakin berkembang sebagai budaya akademik populer. Sayangnya penggiat kecurangan ini tidak hanya mereka yang kurang memiliki idealisme akademik sejak awal, melainkan para pejuang perubahan dalam berbagai ranah kepemudaan: politik hingga agama.
Sebuah ironi yang membenarkan popularitas hastag #KPK di media sosial sebagai ‘Kemana Pendirian Kita’ yang mengaku aktivis. Seringkali konsep global tentang kejujuran dan kebersihan negara mengaburkan pandangan mahasiswa mengenai kehidupan kampus yang anti-korupsi. Bukankah esensi korupsi adalah kecurangan? Sesuatu yang dapat dipahami seorang idealis manapun sebagai pokok pikiran menyontek, titip absen, dan plagiarisme.
Mochtar Lubis menerangkan bahwa upaya pemberantasan korupsi tercatat secara resmi sejak pembentukan Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran) pada masa Kabinet Juanda. Namun sebenarnya sejarah panjang korupsi telah dimulai sejak zaman pendudukan Belanda, ketika budaya upeti masih menjadi gaya hidup para priyayi. Dalam perkembangannya, upaya pemerintah RI menghapuskan segala bentuk korupsi dimanifestasikan melalui berbagai peraturan perundangan seperti UU No 31 tahun 1999 jo UU No 20 tahun 2001 hingga pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Desember 2003. Namun sebagaimana nilai kebaikan yang universal, jalan terjal pemberantasan korupsi pun terasa sangat universal dalam berbagai wilayah otonomi dan pusat pemerintahan RI.
Dalam Lexicon Webster Dictionary , korupsi (corruption) diartikan sebagai ketidakjujuran; tidak bermoral; penyimpangan dari kesucian. Mengacu pada definisi tersebut, sangat jelas bahwa potensi korupsi tidak hanya berada di rumah mewah para anggota dewan maupun ruang nyaman para pejabat pemerintah. Seorang rakyat jelata tanpa pondasi moral yang baik pun dapat melakukannya dengan profesional, termasuk para pemuda yang akan melanjutkan roda kepemimpinan bangsa di masa depan.
Sebagaimana das solen dan das sein jarang menemui kesepakatan mereka, kondisi ideal mahasiswa sebagai pemuda agen perubahan dan tulang punggung bangsa seringkali kontra dengan degradasi idealisme mereka. Misi mulia penghapusan korupsi justru terhambat aksi korupsi yang secara tidak sadar telah membudaya dalam kampus para penggiat kejujuran tersebut. Maka bukan tidak mungkin kesuksesan perjuangan idealis para pendahulu mereka perlahan terkikis semangat pragmatis generasi terkini.
Data Worldbank menunjukkan sebab seseorang korupsi terbesar adalah buruknya etika, diikuti adanya kesempatan, kecilnya sanksi atau penangkapan, minimnya pendapatan, serta lingkungan atau kebiasaan yang mendukung. Acuan yang sangat relevan untuk mengomparasi fakta kecurangan para koruptor pejabat dan mahasiswa. Seorang koruptor beretika buruk tidak bersedia bekerja keras sementara menginginkan hasil yang besar. Ketidakmampuan bersusah ini sayangnya tidak disertai penerimaan legawa saat hasil yang didapat tidak sesuai.
Sebagai orang yang kurang memahami arti konsekuensi, koruptor pejabat tidak peduli pada kausalitas kinerja buruk, pangkat rendah, dan penghasilan tidak memadai. Sama halnya dengan koruptor mahasiswa yang kurang memahami hubungan sebab-akibat sering absen, tidak sempat belajar sebelum ujian, dan nilai buruk. Nihilnya pemahaman akan konsekuensi tersebut mengantarkan para koruptor menuju ‘pintu kemana saja’: melakukan apapun demi kemanfaatan pribadi. Istilah populernya, pragmatis.
Dewasa ini terma idealis sering dikontrakan dengan pragmatis, sesuatu yang wajar meninjau sejarah kelahiran dan perkembangan keduanya di Eropa dan Amerika. Albertine Minderop mendefinisikan pragmatisme sebagai paham yang menilai nilai kebenaran sebagai asas kemanfaatan. Hal ini menjadikan sesuatu hanya bernilai benar jika hal tersebut bermanfaat bagi seseorang. Maka eksekusi nilai ideologi penganut pragmatisme akan sangat dinamis dan cenderung oportunis –sesuatu yang dinilai berseberangan dengan nilai idealisme.
Lantas ketika pelabelan identitas, termasuk mahasiswa, turut menyertakan parameter ini sebagai poin penting identifikasi, menjadi idealis atau pragmatis mutlak sebagai opsi. Hanya kesadaran identitas dan idealisme yang dapat membantu mereka mengonstruksi label masing-masing.
Menjadi generasi anti-korupsi penting dikampanyekan mahasiswa dalam upaya penanganan degradasi moral bangsa. Namun alangkah bijak saat semua usaha ‘pembersihan’ tersebut dimulai dari diri sendiri dan lingkungan terdekat. Ketika budaya menyontek, titip absen, dan plagiarisme masih kuat melekat di kampus para aktivis –bahkan mungkin melibatkan partisipasi mereka– pergerakan anti-korupsi sebaiknya tidak sekedar menjadi slogan demonstrasi. Sehingga para pejuang generasi ini benar-benar bergerak atas dasar keyakinan, pemahaman, dan kenyataan. Bukan sekedar beramai memenuhi ruang publik sebagai ‘aktivis ranah konsep’.
Dalam rangka konservasi moral bangsa dan menghayati semangat Sumpah Pemuda tahun ini, akan sangat esensial sekaligus monumental jika para pemuda, khususnya mahasiswa sebagai generasi penerus pejuang intelektual, bersumpah pada diri sendiri, Tuhan, serta negara, untuk menjadi bangsa yang satu, bangsa yang anti-korupsi.
Showing posts with label opini. Show all posts
Showing posts with label opini. Show all posts
April 9, 2013
Ruang Publik Agama (Pemaknaan Agama di Ruang Publik)
ini artikel ketiga yang saya kirimkan ke surat kabar. alhamdulillah dimuat di Mimbar Mahasiswa Solo Pos edisi 25 Maret 2013. anyway, statistik media saya benar-benar payah. ternyata terakhir ngirim tulisan ke media massa satu tahun lalu T.T
nah, di bawah ini naskah asli yang belum diedit penyuntingnya Solo Pos.
--
Ruang Publik Agama
Wacana Indonesia sebagai negara demokratis penyedia kebebasan beragama kembali dipertanyakan dengan pembongkaran paksa Gereja HKBP Filadelfia Setu, Bekasi, Kamis (21/3) lalu. Dinilai meresahkan masyarakat, kelompok agama ini telah berulangkali mengalami aksi kekerasan berbasis keagamaan.
Kelompok-kelompok minoritas, baik dalam identitas liberalis maupun fundamentalis, seringkali menjadi obyek anti-keberagaman di negara yang masih menggunakan semboyan Bhineka Tunggal Ika ini. Deretan aksi intoleransi tersebut bukan hanya lahir sebagai bentuk kekerasan fisik keagamaan, melainkan sedimen kekerasan intelektual terhadap agama.
Keberadaan masyarakat yang memilih jalan kekerasan untuk ‘menyelamatkan’ keyakinan dapat dilihat sebagai ‘aksi peduli’ terhadap agama. Namun, kepedulian intrareligius tanpa dibarengi komunikasi silang justru berpotensi melahirkan intoleransi interreligius. Nihilnya upaya orientasi terhadap golongan lain semakin meningkatkan paranoid terhadap eksistensi ‘the other’ yang berbeda pandangan ideologi. Tanpa komunikasi, semua perbedaan lantas diselesaikan dengan kekerasan.
Dihapuskannya iklim dialog keagamaan sebagai upaya ‘penyelamatan agama’ jalur damai tidak lepas dari ketiadaan ruang publik untuk agama di negeri ini. Penafikan luar biasa pada besarnya fenomena keagamaan (baik kekerasan terhadap ‘terduga’ teroris hingga maraknya ‘aliran sesat’) tampak pada apatisme keagamaan masyarakat beragama ini.
Konsekuensinya, berdiskusi dalam wacana keagamaan dinilai berbahaya. Membicarakan keyakinan dianggap pelatihan terorisme. Dalam level ketakutan selanjutnya, mempelajari agama (golongan) lain adalah sesat, lengkap dengan asumsi ‘usaha pengubahan keyakinan’ oleh pihak-pihak penyelenggara dialog.
Ketakutan yang berkembang menjadi apatisme hidup dalam atmosfir beragama dan keberagaman bukan tidak berbahaya. Secara sosial, intoleransi muncul dari apatisme keberagaman di bumi nusantara. Secara keagamaan, ketakutan ini berdampak tidak sehat pada keimanan. Tanpa ruang publik keagamaan, dialog (pembelajaran) agama berhenti pada level pendidikan formal.
Diskusi keagamaan di luar ruang kelas menjadi sangat ekslusif; terpusat pada titik-titik pertemuan ‘religius’ (rumah ibadah) dan oleh orang-orang ‘religius’ (pemuka agama, santri). Paskapembelajaran sembilan tahun dalam pendidikan formal, seorang penganut agama negeri ini akan mudah merasa cukup dengan ilmu agama dan agamanya.
Ketakutan diskusi beragama yang terlalu lama dipelihara bangsa ini lahir dari kebiasaan nrima masyarakat yang kebablasan. Agama pun dikenal sebagai warisan identitas turun-temurun yang harus diterima begitu saja, seringkali tanpa kesadaran. Sebagai bawaan lahir yang sudah fix, pengayaan maupun pembelajaran lebih mendalam tentang warisan tersebut dianggap tidak perlu, bahkan berbahaya karena ‘segala kebaruan’ di luar agama nenek moyang adalah sesat.
Agama: Ilmu dan Iman
Kesadaran agama menempatkan agama sebagai ilmu (knowledge) dalam budaya kesukarelaan beragama (voluntary religion) di Amerika. Dengan porsi demikian, terdapat ruang lebih luas dan bebas untuk mempelajari agama tanpa batas pelaku dan tempat. Ketika dialog dan pembelajaran keagamaan terselenggara dengan tingkat penerimaan antargolongan yang baik, peluang terciptanya harmoni pemahaman atas perbedaan akan lebih besar.
Meski begitu, dialog keagamaan, utamanya yang melibatkan golongan lain, selalu ditakutkan akan mengubah keyakinan seseorang. Melalui Dialogue Principal, Guru Besar Kajian Katolik dan Interreligius Dialog, Leonard Swidler, menyanggah pernyataan tersebut. Dalam dialog, seseorang tidak perlu menjadi salah agar orang lain menjadi benar, sebagaimana kompromi (compromise) tidak diperlukan dalam kajian ideologis. Ketakutan kompromi ini pula yang seringkali menjadi alasan penolakan dialog keagamaan.
Kenyataannya, kode etik dialog tidak membenarkan penarikan garis merah dengan keras untuk menyamaratakan semua agama dalam dialog antarideologi. Tanpa disadari, pergeseran makna ‘harmonisasi’ menjadi ‘sinkretisasi’ ini telah menutup kesempatan belajar agama (golongan) sendiri dan orang lain.
Argumen lain para penolak dialog keagamaan mengerucut pada tuduhan pendangkalan keimanan. Padahal dengan menjamurnya dialog agama –dalam variasi ruang dan peserta, kemungkinan tegaknya kesadaran agama dalam semangat kesukarelaan akan lebih besar. Sebagaimana penjelasan Michael Warner dalam Keyword for American Cultural Studies (2007) tentang voluntary religion, agama yang dipilih di atas kesadaran dan pembelajaran menggiring seseorang pada tingkatan religiusitas personal tertentu. Hal ini baik dalam rangka penciptaan hubungan vertikal dengan Tuhan. Dalam pemahaman lanjutan, ekspansi hubungan vertikal dimanifestasikan melalui pemahaman terhadap the others dalam variasi hubungan horizontal.
Masyarakat selalu ditakut-takuti dengan pemberitaan agama yang menyeramkan. Pembatasan dialog keagamaan di ruang publik diselenggarakan dalam pemahaman ‘damai itu diam’. Pelabelan golongan tertentu sebagai aliran sesat menjadi cerita horor baru yang menghapus semangat berkelompok dalam budaya keagamaan kita. Maka menjadi penganut agama yang biasa-biasa saja populer sebagai justifikasi pelabelan sesat dan kekerasan terhadap the others.
Saat ini kekerasan keagamaan seolah masih ‘dimaklumi’ negara atas dalil penistaan agama. Maka, bukankah sebuah penistaan bagi agama pula, jika negara mengharuskan masyarakat menuliskan agama tertentu dalam KTP tanpa kebebasan belajar dan membicarakan agama di ruang publik?
--
banyak komentar soal tulisan saya ini. yang mendukung dan tidak. yang positif dan tidak. bahkan ada yang menilai saya sebagai sepiliser. whatsoever. Tuhan yang tahu kucinta Dia... :)
nah, di bawah ini naskah asli yang belum diedit penyuntingnya Solo Pos.
--
Ruang Publik Agama
Wacana Indonesia sebagai negara demokratis penyedia kebebasan beragama kembali dipertanyakan dengan pembongkaran paksa Gereja HKBP Filadelfia Setu, Bekasi, Kamis (21/3) lalu. Dinilai meresahkan masyarakat, kelompok agama ini telah berulangkali mengalami aksi kekerasan berbasis keagamaan.
Kelompok-kelompok minoritas, baik dalam identitas liberalis maupun fundamentalis, seringkali menjadi obyek anti-keberagaman di negara yang masih menggunakan semboyan Bhineka Tunggal Ika ini. Deretan aksi intoleransi tersebut bukan hanya lahir sebagai bentuk kekerasan fisik keagamaan, melainkan sedimen kekerasan intelektual terhadap agama.
Keberadaan masyarakat yang memilih jalan kekerasan untuk ‘menyelamatkan’ keyakinan dapat dilihat sebagai ‘aksi peduli’ terhadap agama. Namun, kepedulian intrareligius tanpa dibarengi komunikasi silang justru berpotensi melahirkan intoleransi interreligius. Nihilnya upaya orientasi terhadap golongan lain semakin meningkatkan paranoid terhadap eksistensi ‘the other’ yang berbeda pandangan ideologi. Tanpa komunikasi, semua perbedaan lantas diselesaikan dengan kekerasan.
Dihapuskannya iklim dialog keagamaan sebagai upaya ‘penyelamatan agama’ jalur damai tidak lepas dari ketiadaan ruang publik untuk agama di negeri ini. Penafikan luar biasa pada besarnya fenomena keagamaan (baik kekerasan terhadap ‘terduga’ teroris hingga maraknya ‘aliran sesat’) tampak pada apatisme keagamaan masyarakat beragama ini.
Konsekuensinya, berdiskusi dalam wacana keagamaan dinilai berbahaya. Membicarakan keyakinan dianggap pelatihan terorisme. Dalam level ketakutan selanjutnya, mempelajari agama (golongan) lain adalah sesat, lengkap dengan asumsi ‘usaha pengubahan keyakinan’ oleh pihak-pihak penyelenggara dialog.
Ketakutan yang berkembang menjadi apatisme hidup dalam atmosfir beragama dan keberagaman bukan tidak berbahaya. Secara sosial, intoleransi muncul dari apatisme keberagaman di bumi nusantara. Secara keagamaan, ketakutan ini berdampak tidak sehat pada keimanan. Tanpa ruang publik keagamaan, dialog (pembelajaran) agama berhenti pada level pendidikan formal.
Diskusi keagamaan di luar ruang kelas menjadi sangat ekslusif; terpusat pada titik-titik pertemuan ‘religius’ (rumah ibadah) dan oleh orang-orang ‘religius’ (pemuka agama, santri). Paskapembelajaran sembilan tahun dalam pendidikan formal, seorang penganut agama negeri ini akan mudah merasa cukup dengan ilmu agama dan agamanya.
Ketakutan diskusi beragama yang terlalu lama dipelihara bangsa ini lahir dari kebiasaan nrima masyarakat yang kebablasan. Agama pun dikenal sebagai warisan identitas turun-temurun yang harus diterima begitu saja, seringkali tanpa kesadaran. Sebagai bawaan lahir yang sudah fix, pengayaan maupun pembelajaran lebih mendalam tentang warisan tersebut dianggap tidak perlu, bahkan berbahaya karena ‘segala kebaruan’ di luar agama nenek moyang adalah sesat.
Agama: Ilmu dan Iman
Kesadaran agama menempatkan agama sebagai ilmu (knowledge) dalam budaya kesukarelaan beragama (voluntary religion) di Amerika. Dengan porsi demikian, terdapat ruang lebih luas dan bebas untuk mempelajari agama tanpa batas pelaku dan tempat. Ketika dialog dan pembelajaran keagamaan terselenggara dengan tingkat penerimaan antargolongan yang baik, peluang terciptanya harmoni pemahaman atas perbedaan akan lebih besar.
Meski begitu, dialog keagamaan, utamanya yang melibatkan golongan lain, selalu ditakutkan akan mengubah keyakinan seseorang. Melalui Dialogue Principal, Guru Besar Kajian Katolik dan Interreligius Dialog, Leonard Swidler, menyanggah pernyataan tersebut. Dalam dialog, seseorang tidak perlu menjadi salah agar orang lain menjadi benar, sebagaimana kompromi (compromise) tidak diperlukan dalam kajian ideologis. Ketakutan kompromi ini pula yang seringkali menjadi alasan penolakan dialog keagamaan.
Kenyataannya, kode etik dialog tidak membenarkan penarikan garis merah dengan keras untuk menyamaratakan semua agama dalam dialog antarideologi. Tanpa disadari, pergeseran makna ‘harmonisasi’ menjadi ‘sinkretisasi’ ini telah menutup kesempatan belajar agama (golongan) sendiri dan orang lain.
Argumen lain para penolak dialog keagamaan mengerucut pada tuduhan pendangkalan keimanan. Padahal dengan menjamurnya dialog agama –dalam variasi ruang dan peserta, kemungkinan tegaknya kesadaran agama dalam semangat kesukarelaan akan lebih besar. Sebagaimana penjelasan Michael Warner dalam Keyword for American Cultural Studies (2007) tentang voluntary religion, agama yang dipilih di atas kesadaran dan pembelajaran menggiring seseorang pada tingkatan religiusitas personal tertentu. Hal ini baik dalam rangka penciptaan hubungan vertikal dengan Tuhan. Dalam pemahaman lanjutan, ekspansi hubungan vertikal dimanifestasikan melalui pemahaman terhadap the others dalam variasi hubungan horizontal.
Masyarakat selalu ditakut-takuti dengan pemberitaan agama yang menyeramkan. Pembatasan dialog keagamaan di ruang publik diselenggarakan dalam pemahaman ‘damai itu diam’. Pelabelan golongan tertentu sebagai aliran sesat menjadi cerita horor baru yang menghapus semangat berkelompok dalam budaya keagamaan kita. Maka menjadi penganut agama yang biasa-biasa saja populer sebagai justifikasi pelabelan sesat dan kekerasan terhadap the others.
Saat ini kekerasan keagamaan seolah masih ‘dimaklumi’ negara atas dalil penistaan agama. Maka, bukankah sebuah penistaan bagi agama pula, jika negara mengharuskan masyarakat menuliskan agama tertentu dalam KTP tanpa kebebasan belajar dan membicarakan agama di ruang publik?
--
banyak komentar soal tulisan saya ini. yang mendukung dan tidak. yang positif dan tidak. bahkan ada yang menilai saya sebagai sepiliser. whatsoever. Tuhan yang tahu kucinta Dia... :)
Subscribe to:
Posts (Atom)