April 9, 2013
GJ
Para sesepuh sering menasihatinya untuk alon-alon waton kelakon pada tiap pertemuan keluarga, karena ketergesaan mendekatkan seseorang pada lalai yang disebabkan gangguan setan. Menurutnya perkataan para simbah itu berlebihan; orang-orang yang senantiasa pelan lah yang sedang dalam pengaruh setan. “Kan nggak cak-cek,” pikirnya. Lagipula manusia sudah terlalu sering menyalahkan setan dalam kelalaian mereka. Dia ingin sedikit bijak untuk menyalahkan keteledoran hari ini pada dirinya. Benar-benar utuh karenanya.
Aturan itu menyuruhnya untuk tidak memikirkan dunia saat jiwa dikembalikan pada tubuh di pagi hari mata terbuka dan kesadaran nafas pertama kali berhembus. Namun data ratusan megabyte yang menghilang semalam memaksanya menghubungi nomer itu. Bukan untuk menelepon, karena dia tidak suka perbincangan tidak langsung, terlebih dengan lawan jenis. Dua pesan tak berbalas. Padahal dia sangat yakin orang itu adalah pelakunya: penjahat akademik yang tega menghapus data kuliah di laptop temannya hanya karena gagal mendapatkan gosip terbaru tentang gebetan. Terlalu kekanakan.
Pukul sembilan lewat sepuluh menit saat akhirnya pesan-pesan itu berbalas. Bahkan perlu beberapa pesan untuk membawa kembali data-data yang menginap di flashdisk tersangka. Setelah menit-menit menyebalkan dengan sosok dingin itu, delapan ratus lima puluh tiga megabyte data kuliah terselamatkan. Pikirnya, larangan merisaukan dunia di saat bangun tidur tidaklah benar.
“Kaan, Dia nggak benar-benar niat berantakin urusan duniaku?” batinnya terkekeh. Dia melupakan nasihat lain para sesepuh. Untuk tidak sombong, terlebih dalam bahasa menantang Pencipta.
Satu tulisan selesai dalam dua jam, tepat saat ajakan makan ramen terdengar olehnya. Ada diskon dua puluh persen untuk promo minggu awal pembukaan resto Jepang di daerah Manahan. Bagi mahasiswa dengan keuangan akhir minggu, momen seperti ini sangat penting. Dengan senyum kepuasan memandang tulisan di laptop, dia menuju kamar mandi. Pukul sebelas lewat tujuh menit menjadi awal petualangan ramen. Sebenarnya jika bisa dia enggan meninggalkan kos saat matahari berada pada jadwal menyombongkan diri yang teramat. Tiduran di atas lantai porselin jauh lebih nyaman daripada motoran sepajang Kentingan-Manahan di siang panas demi semangkuk ramen diskon dua puluh persen yang panas.
“Dua puluh persen!” tiba-tiba semangat juang mahasiswa angkatan 98 terpatri di dadanya. Toh mereka sama-sama berjuang untuk menanggulangi kelaparan rakyat.
Lampu merah pertama. Sayangnya angka tujuh puluh dua berkedip dengan genit menyertainya. Ditengoklah ponsel dari saku roknya, kebetulan – yang dikarenakan kondisi bahan bakar – kali ini dia hanya membonceng. Meskipun selalu sebal pada mereka yang bermain ponsel saat berkendara – dengan hak khusus bagi para pembonceng –dia jauh lebih sebal membaca empat pesan masuk di ponselnya. Semua bernada tipikal: menagih tulisan untuk majalah, karya tulis, diskusi, dan tugas kuliah. Perbedaan penguasaan linguistik pengirim yang menjadikan sensasi membaca yang berbeda pada tiap pesan. Tetapi efek kebahasaan itu tidak merangsangnya menemukan ide tulisan. Otaknya sedang tidak encer, bahkan dengan dipanggang terik surya seperti itu.
“Sepertinya kita tersesat” adalah pikiran buruk yang menjelma kenyataan. Dia dan dua teman kosnya bukanlah penjelajah Solo yang baik. Anak rumahan seperti mereka akan sangat mudah tersesat dengan percabangan jalan kota kecil ini. Tiba-tiba dia membenci mereka yang gemar menggelar acara hajatan di tengah jalan kompleks seolah antero jalan adalah warisan leluhurnya. Tanpa penghalang seperti itu, seharusnya mereka tidak perlu berputar-putar dalam temperatur tinggi sebelum mendapati rumah mungil berhiaskan lampion-lampion merah bertuliskan kanji Jepang. Dia tidak bisa membaca kanji Jepang, tetapi pasti tulisan itu tidak terlalu jauh dengan kata ‘ramen’, menetapi fungsinya sebagai penghias resto ramen.
Suara-suara panggilan dari kedua temannya baru disadarinya ketika matanya tertuju pada kertas HVS terlaminating bertuliskan satu kata yang paling dihindarinya siang ini: TUTUP. Rasanya seluruh cairan di tubuhnya meminta pengganti ekstra secepatnya. Anggukan lemas dipersembahkannya dengan manis pada setiap tawaran tempat makan yang diajukan kedua temannya. “Hari ini geje sekali,” batinnya kesal.
Dua warung makan pertama memutuskan menolak rejeki akhir pekan dengan menutup diri sebelum akhirnya dua motor itu melaju ke tempat yang seharusnya bisa ditempuh lima menit dari kos mereka. Dengan hawa panas, tubuh berkeringat, dan kepala pusing, dia menambah penderitaan dengan kesalahan pilihan menu. Nihilnya nametag di tiap menu membuatnya memilih oseng-oseng kikil yang sangat pedas dan mengharuskannya merasakan lidah serta perutnya terbakar. Kondisi tidak menyenangkan muncul saat rombongan wanita keluar dari bangunan di depan tempat makan mereka.
Merasa tidak enak karena sempat menolak memberi bantuan pada salah satu wanita itu, dia berusaha bersembunyi di balik kawannya. Untungnya rombongan itu tidak menetapkan tempat makan itu sebagai pemberhentian mereka. Untungnya lagi, dia mendapatkan hiburan merakyat di sana: musik melayu, yang katanya menghianati musikalitas anak bangsa karena nggak banget, tetapi justru mampu menciptakan tawa kelegaan setelah pusingnya berpanas-panasan dalam ketidakjelasan hari ini.
Menurutnya kelalaian hari itu resmi berakhir dengan tiga kemenangan berturut-turut pada game komputer yang dimainkannya sesampainya di kos. Dia hanya belum menyadari waktu luang yang seharusnya digunakan menyelesaikan setumpuk tugas. Tepat saat masjid di samping kamarnya berkumandang, dia terlelap. Padahal, kata para simbah, tidur sehabis ashar itu tidak baik, bikin cepat pikun. Menurutnya pikun adalah kata yang kurang etis ditujukan bagi remaja sepertinya, karena meskipun terbangun oleh ingatan deadline tugas yang tinggal menghitung jam, toh dia masih bisa mengingat.
Sisa sore itu menjadikannya sadar bahwa membuat tulisan akademik tidak pernah mudah, terlebih saat membuatnya dengan mengganti tulisan tidak akademik untuk terlihat akademik. Dia lantas paham kenapa pekerjaan editor bisa menjadi sangat sulit sekaligus menyebalkan. Terlebih dengan intensitas cap sok tahu oleh penulis asli. Terlebih menjadi ‘editor’ tulisan dosen. Dengan selang waktu makan-minum-makan-game, revisi tulisan akademik diselesaikannya dalam tiga jam, menyisakan satu jam sebelum pintu e-mail dosen tercinta tertutup untuknya.
Dia berharap pertolongan langit menghampirinya dengan membersihkan tubuh untuk kedua kalinya sebelum kembali menyapa udara luar. Tetapi rupanya hujan ingin bermain-main dengannya sedikit lama. Sudah hampir setengah jam saat hujan yang dilema – dengan frekuensi rintik yang tidak jelas – akhirnya berhenti. Dia telah menenggelamkan diri dalam kesibukan modem-email-pulsa sebelum pada akhirnya memutuskan mengizinkan motornya menyapa dunia malam. Hujan tak lagi bertahan dengan rintik kecilnya saat dia melaju dalam semangat anti-che. Dia sempat meyakini dugaan bahwa dosen itu merupakan pengagum Che Guavera dengan kegemarannya melabuhkan bulan sabit (meskipun bukan bintang) di kartu hasil studi para mahasiswa.
DONE adalah kata terindah yang membuatnya mencintai Yahoo saat ini, meskipun hatinya masih terus berdoa agar Tuan Failure Daemon tidak mengunjungi kotak masuknya. Beberapa arsip harus diunduh dari e-mail seorang teman ketika kedua tangannya mendadak lemas. Tawa kecil spontan keluar dari bibirnya memikirkan deretan kelalaian yang membawanya pada ketidakjelasan hari ini. Seingatnya dia masih mendapati rakaat-rakaat sunnah fajar dan sepenggalah matahari, tetapi entah mengapa pertolongan langit tidak menyapanya hari ini. Dia lantas semakin terkekeh saat menyadari empat dan dua rakaat wajib yang justru terlewatkan olehnya di awal hari ini.
Tubuhnya yang lemas memaksa jari-jarinya menekan layar sentuh ponselnya yang low bat. Nada sambung yang cukup lama sebelum suara familiar siang ini didengarnya. “Mbak, tolong ke CoreNet. Uangku ketinggalan...”
Solo, 25 Februari 2012
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment