April 8, 2013
#9 Bukan Imajinasi
9 Ramadhan 1433 H :: 28 Juli 2012 M
Maaf kalau memulai catatan ini dengan excuse, tapi belakangan ini mata susah diajak kompromi sama layar #alasan1; plus beberapa hari terakhir sibuk persiapan pindah kos #alasan2; pulang-pergi Solo-Wonogiri juga bikin badan sedikit tidak fit #alasan(banget)3; dan yang jelas kalau di rumah hasrat jahilin keponakan lebih tinggi dari keinginan online #alasan4.
Selama ini, saya bisa terima logika keyakinan mereka yang beridentitas selain agama Ibrahim, maupun yang memilih tidak terikat meskipun mengakui eksistensi Sang Pencipta. Saya hanya belum bisa mengerti jalan pemikiran mereka yang samasekali tidak percaya dan berbangga sebagai atheis. Saya berharap tulisan ini tidak berkesan ofensif atau judgemental atau rasis. Saya hanya ingin berbagi cerita tentang kebutuhan saya akan sosok Tuhan. Sebenarnya tulisan ini mencampur fiktif dan realita yang diangkat dari teori perkembangan psikologi manusia (tapi saya nggak ‘sesakit’ ini, alhamdulillah).
Sejak kecil (sampai saat ini), saya membutuhkan sosok di luar diri saya yang saya percaya lebih. Bukan manusia, karena saya berkeyakinan mereka tidak sehebat itu. Saya yang kecil merasa ada kekuatan superior di luar tubuh saya yang membimbing saya selama ini. Saya hanya butuh akses untuk berkomunikasi dengannya. Di luar dunia yang saya jalani, ada dunia lain yang hanya saya dan sosok ini penghuninya. Kalau sekarang dunia ini populer disebut spiritualitas.
Saat kecil, saya bukan anak kuper yang tidak bisa bergaul. Teman dan mainan saya banyak. Tetapi di luar pertemanan dan permainan, saya memiliki dunia lain. Saya sering ‘ngobrol’ dengan sosok lain tentang hal-hal yang tidak bisa saya katakan pada manusia di sekitar saya. Semua hal yang menunjukkan sisi super saya: super aneh, super berbahaya, super menjijikkan, super jenius, super baik, super lemah, dan super-super lain. Saat itu, orang-orang menyebut sosok ini teman imajinasi.
Saat SMP, saya sibuk dengan organisasi. Berangkat pagi pulang sore. Saya punya teman-teman baik yang sudah seperti saudara. Meski begitu, saya masih punya dunia ‘spiritual’ itu. Terlepas dari betapa saya mempercayai teman-saudara saya, hal-hal super tadi masih menjadi rahasia saya dan teman imajinasi saya. Saat itu perkembangan psikologi saya membutuhkan lebih dari teman bermain seperti saat kecil, maka yang saya dapatkan adalah apa yang mereka sebut sahabat imajinasi.
Saat SMA, saya mulai medekat pada dunia religi. Sebenarnya saya tidak sengaja ‘tersesat’ karena pergaulan keluarga. Tapi saya bersyukur untuk itu, untuk perkenalan saya pada ukhuwah islamiyah yang sangat ‘hmmm’ dan berjasa sekali pada sekian perenungan saya. Di SMA saya juga mulai suka-sukaan sama manusia beda jenis kelamin, namanya the boy in the window. Meskipun sudah ada the boy in the window yang bukan tokoh fiktif ini, dunia ‘spiritual’ saya belum berakhir. Mungkin karena dari dulu perkembangan emosi saya tidak pernah maksimal, kisah spiritual saya berjalan lambat. Jika dulu saya membagi ‘hal-hal super’ dengan teman imajinasi dan sahabat imajinasi, kini saya membagi dunia ‘spiritual’ saya dengan sosok yang mereka sebut pacar imajinasi.
Saat kuliah, saya tidak lagi butuh teman bermain untuk sekedar lari-larian sampai capek. Saya juga merasa kebutuhan saya akan sahabat tidak seekstrim itu, jika tugas mereka hanya untuk mendengar dan memberi saran. Apalagi soal pacar. Saya terlanjur percaya pada konsep jodoh langit, dan sepertinya bukan jalan saya untuk berkenalan lama-lama dengan calon pendamping lewat common way. Karena seperti kata kakak saya, “Beberapa bahasa dipelajari, tetapi yang lain sudah sesuai language acquisition.”
Perlahan tapi pasti, teman, sahabat, dan pacar imajinasi saya mati. Bukan sosok, melainkan karakternya. Karena saya masih memiliki dunia ‘spiritual’ itu. Saya hanya tak lagi butuh perantara untuk menuju Sosok Superior yang selama ini mengetahui “hal-hal super” saya. Hubungan kami saat ini tak lagi horizontal. Hingga saya sadar selama ini orang-orang juga miliki sosok itu. Mereka menyebutnya Tuhan.
Jangan berhenti baca dan buru-buru cap saya gila atau sesat dengan analogi Tuhan imajinatif. Saya hanya ingin bercerita mengenai kebutuhan akan sosok lain di luar manusia. Yang dalam keadaan tertentu, yang tak tahu pada siapa, terkadang manusia mengeluarkan keluhan, terima kasih, tangisan, dan luapan emosi lain. Tanpa tahu kepada siapa sesungguhnya dia bercerita.
Saya tidak tahu, apakah saya terlalu lemah atau mereka yang terlalu sombong. Untuk mengakui ada sosok lain di luar mereka yang lebih superior. Bagaimanapun manusia menyebutnya: Allah, Tuhan, Yesus, Budha, Sang Hyang Widhi, Semesta, bahkan Mata Satu, sosok superior itu eksis di mata manusia yang percaya. Saya tidak habis pikir dengan mereka yang begitu kuat (atau sombong) tanpa superioritas semesta. Dalam hidup mereka, tidakkah pernah mereka, sekali saja, memohon?
Tuhan bukanlah reinkarnasi dari teman, sahabat, dan pacar imajinasi saya. Tuhan adalah kebutuhan saya, yang dalam bentuk dan nama apapun tetap saya butuhkan. Dia adalah tempat bergantung segala sesuatu, tempat meminta dan memohon pertolongan. Saya butuh Dzat Superior itu. Tuhan. Bukan manusia, yang saya yakini sama lemahnya dengan saya.
"Siapakah yang dapat menyelamatkanmu dari bencana di darat dan di laut, yang kamu berdoa kepada-Nya dengan rendah diri dengan suara yang lembut (dengan mengatakan: "Sesungguhnya jika Dia menyelamatkan kami dari (bencana) ini, tentulah kami menjadi orang-orang yang bersyukur"." [6:63]
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment