Para pembaca TEMPO pasti sudah akrab dengan caping (catatan pinggir) Goenawan Mohamad, tulisan yang pada awalnya dibuat untuk mengisi halaman kosong di majalah TEMPO. Sebuah pelengkap yang menurut saya sangat kuat. Saat ada yang berkata “Saya hanya pelengkap,” saat itu lah dia telah lupa bahwa sebuah sistem membutuhkan kelengkapan. Begitulah kemudian, saya selalu merasa tidak lengkap saat membaca majalah itu, sebelum menemukan (dan langsung menuntaskan) halaman pelengkap itu.
Terlalu jauh untuk membandingkan caping GM dengan capung saya. Capung atau catatan punggung ini bisa dikatakan sebagai jejak pemikiran saya sebagai remaja labil yang kata seorang teman “terkadang seperti cangkir menganga” –selalu menerima sesuatu begitu saja. Apa adanya, tanpa pernah mempertimbangkan negasi dengan berpikir ‘ada apanya’. Capung inilah yang kemudian menjadi tempat penuangan sementara saya untuk sedikit menelaah (dengan kapasitas remaja labil) cairan-cairan yang tertuang dalam cangkir saya sebelum kebekuan otak mengubah liquid itu menjadi solid tanpa endapan.
Kenapa punggung? To be honest, pada awalnya saya hanya bercanda mengenai penamaan catatan punggung. Tetapi punggung saya yang semakin bungkuk di usia muda ini yang kemudian menampar saya dengan sebuah (ehem) konsep. Punggung adalah penegak tubuh, dalam kondisi apapun. Keberadaannyalah yang kemudian memisahkan kepala dan kaki, menjadikan bawah dan atas nyata dalam batas.
Saat manusia merasa menderita dengan tumpukan beban, mereka menyebut bahu sebagai tempat penyangga derita. Meskipun pada kenyataannya, kapasitas beban itu akan tercermin pada kondisi punggung mereka. Berhubung saya bukan golongan pekerja fisik dengan beban luar biasa, saya kemudian meyakini bahwa bungkuk saya ini sebagai akibat beban perasaan (sebagai perempuan) dan pemikiran (sebagai remaja labil) yang tidak pernah saya sampaikan.
Ini adalah tulisan bebas. Maka kebebasan menjadi hak Anda untuk menilai catatan ini sebagai curahan hati remaja labil, pemberontak, liberalis, agamis, atau bahkan mungkin catatan galau, seperti tren saat ini. Bagi saya, kemerdekaan berkata masih ada di tangan manusia, meskipun otoritas penilaian tetap di tangan Tuhan. Thus, saya akan tetap menulis bisikan-bisikan pemikiran yang mengusik, dan biarkan Dia yang menilai dengan kewenangan seutuhnya.
No comments:
Post a Comment