Akhir-akhir ini sebuah bisikan terdengar lebih keras di otak saya: “Apakah Islam (memang) seperti ini?”
Anggota komunitas pasti ingin menjadi refleksi komunitas mereka, dengan selalu menyertakan identitas dalam kata dan perbuatan mereka. Begitulah yang saya lihat dari mayoritas mahasiswa yang bergerak di bidang organisasi, termasuk gerakan keagamaan. Mereka (kebetulan saya mengamati mereka yang beridentitas sama dengan saya) selalu menambahkan istilah bahasa Arab dalam ucapan mereka. Bahkan kemudian terbentuk stigma bahwa semakin tinggi tingkatan seseorang, akan semakin banyak istilah “keagamaan” disertakan dalam kalimat mereka. Apakah ini Islamisasi, atau Arabisasi?
Sebagian besar mereka (mungkin) memandang rendah saya yang menyukai irama dalam harmoni yang tidak mereka sukai. Saya pernah mendengar mereka menyebut rangkaian melodi itu sebagai “musik setan” karena diciptakan oleh mereka yang berada di “jalan yang salah”. Tidak seperti apa yang selalu mereka dengarkan, alunan syahdu penuh kelembutan dalam nada-nada yang tidak saya sukai. Menurut saya, ini tentang selera. Toh apresiasi saya tidak terlepas dari bagaimana saya merasa dan mendengar kalimat dalam nada-nada itu, bukan sekedar tampilan fisik dalam video menyegarkan dari boyband Korea.
Bagaimana seseorang menggunakan dan berpikir dengan musik lah yang menjadi fokus saya. Gambus dan kesenian padang pasir lainnya (masih) belum sesuai dengan telinga dan otak saya. Mungkin mereka akan mempertajam tatapan mereka saat saya berteriak frustasi untuk mendengarkan punk rock daripada nasyid. I swear. Sejauh ini saya lebih banyak terinspirasi dari nada-nada seperti itu, lantas salahkah saya? Untuk menjadi totalitas, haruskah saya mencintai alunan padang pasir? Apakah ini Islamisasi, atau Arabisasi?
Dalam taraf lain mereka bahkan mengatakan kebudayaan sebagai salah satu jalan menuju penggandaan keyakinan. Ini gila, pikir saya. Meskipun saya bukan budayawan ataupun penikmat budaya yang menilai karya dalam bahasa langit, saya cukup menyukai budaya yang saya kenal. Saya hidup di Jawa dengan setumpuk kebudayaan di sekitar saya. Sementara saya –dalam kewajaran seorang hamba- menginkan kedekatan tertentu dengan Tuhan, beberapa sisi dalam ajaran saya menilai budaya sebagai bahaya. “Ada lorong-lorong yang justru menjauhkanmu dari rumah Tuhan jika kau terlalu lama mendekam dalam gelapnya,” kata mereka.
Kebudayaan lahir dari pembiasaan pikiran yang tervisualisasi dalam kata dan perbuatan, begitu yang saya pelajari dalam Sosiologi. Untuk merubah peradaban sebuah masyarakat, pembiasaan dalam pemikiran-pemikiran baru mutlak menjadi suatu keniscayaan. Lantas, saat saya ingin menyeluruh dalam mendekati Tuhan di jalan yang telah Dia pilihkan, saya sadar akan sebuah kewajiban membumikan budaya baru itu. Tapi, apakah sesuatu yang baru itu benar-benar merupakan unsur dari inti totalitas yang saya inginkan? Ataukah hanya karena lokasi keberadaan yang sama menjadikan sesuatu mutlak menjadi bagian sebuah sistem? Bukankah seorang pembantu rumah tangga, setinggi apapun kebaikan majikannya, tidak akan pernah bisa tercatat sebagai bagian keluarga inti majikannya begitu saja, hanya karena mereka hidup di bawah atap yang sama?
Di akhir semua kekesalan dengan sapaan dan perbincangan yang penuh dengan kosakata “keagamaan” diiringi hiburan “keagamaan” bersama mereka yang dianggap mewakili aura dan kharisma “keagamaan”, bisikan di dalam otak saya justru semakin sering terdengar. Sebagai remaja yang labil, saya menjadi lebih berhati-hati dalam menyaring semua cairan itu.
Mereka berkata, “Inilah Islam.” Tapi, sekali lagi, bisikan itu terdengar, “Apakah Islam (memang) seperti ini?” Jika agama ini pertama kali diturunkan di tanah Jawa, akankah mereka kemudian berlomba-lomba mencipta nada lewat gamelan seperti para penyampai terdahulu? Ataukah mereka akan menggunakan keseluruhan krama inggil dalam sapa dan kata mereka? Lantas, akankah ini menjadi Islamisasi, atau Jawaisasi?
No comments:
Post a Comment