Hi, Dad
So cold here
How’s there?
-Dear Father, Sum41-
(remember the one burnt in the earth)
Ada saatnya ketika saya benar-benar ingin sendiri. Lebih dari sekedar keinginan untuk menyendiri mencari inspirasi atau melarikan diri dari hiruk pikuk duniawi.
Saya butuh kesendirian itu, untuk sebuah masa bernama penantian.
Kelak, suatu saat nanti saya akan benar-benar sendiri dalam kesendirian. Setelah dipendam, dibakar, atau bahkan tanpa semua upacara itu (semoga tidak).
Saya baru saja menyelesaikan sahur sebelum menyadari suhu pagi ini rendah sekali. Tidak ada angin, tapi hawa kedinginanan menyesapi tiap pori dengan sempurna. Bisa-bisa saya diare jika tetap terjaga.
Dua lembar selimut telah membungkus tubuh saya. Masih dingin. Bibir saya hampir menggerutu sebelum bayangan itu memenuhi otak saya. Gundukan tanah di atas bukit yang beberapa hari lalu saya kunjungi dalam senyap membatin permohonan.
Makam ayah.
Mungkin terlalu menyedihkan untuk (baru) menyadari makna kematian di usia setua ini. Rasanya teori keagamaan yang sering saya dengar di beberapa kajian baru meresapi hati dan otak saat saya merasakan sendiri keadaan itu.
Payah memang, tapi faktanya saya baru benar-benar akan memahami alasan Dia memerintahkan “Sabar” dalam tiap firmanNya saat saya mendapat sebuah kondisi untuk bersabar.
Rencana Tuhan pasti indah. Seperti melihat keruwetan proses menyulam dari sisi bawah dan mengagumi hasilnya dari sisi atas. Saya bersyukur untuk kehilangan yang saya alami saat ini.
Mungkin saya akan tertawa tanpa beban jika Dia mengambil ayah saya saat saya masih balita. Mungkin saya akan tenggelam dalam air mata penyesalan dan kehilangan jika Dia mengambil ayah saya sat saya masih belajar di sekolah menengah. Bahkan mungkin tanpa pengetahuan tentang mortalisme dari sudut pandang keagamaan, saya akan berbalik membenci Tuhan dalam cacian tak putus: Mengapa saya? Mengapa ayah? Mengapa sekarang? Dan seterusnya.
Tapi saya tahu, teori kematian tidak seperti itu. Semua adalah milikNya dan akan kembali padaNya. Perpisahan yang mungkin menjadikan dunia menangis bisa jadi merupakan pertemuan yang dinanti. Untuk bertemu Sang Kekasih, begitu kata mereka.
Pemahaman saya tentu belum mencapai titik kedamaian seperti itu. Setahu saya, pertemuan itu masih lama. Ada beberapa gerbang yang harus dibuka untuk menuju istanaNya, dan itu tidak mudah. Membuat saya sedih sekaligus takut –alasan mengapa air masih mengalir mengiring tiap permohonan.
Agama yang saya yakini mengajarkan adanya proses panjang menuju hari penghitungan. Sebelum masa di mana semua manusia dikumpulkan, ada masa yang mengharuskan saya menunggu. Sendiri, dalam kesendirian.
Dalam liang yang menyatukan saya dengan bumi itu, bagaimanakah kondisi saya nanti? Akankah tempat itu dingin, gelap, dan sempit? Ataukah hangat, luas, dan bercahaya? Bahkan ilmuwan terbaik pun tidak akan kuasa mencipta riset tentang kehidupan setelah kehidupan. Life afterlife.
Saya mempercayai fleksibilitas dalam hidup. Air mengalir, roda berputar, tangga kehidupan. Apapun konsepnya, saya meyakini keabadian perubahan sebagai keniscayaan. Tidak selamanya saya menjadi baik, sebagaimana kejahatan saya tidak akan abadi.
Ada hal-hal yang secara sadar menjadikan seseorang berubah, tetapi tidak sedikit kondisi yang menggiring manusia pada perubahan secara perlahan. Situasi terakhir biasa terjadi tanpa disadari hingga akhirnya mereka menyebut itu takdir.
Jika kondisi kematian manusia sudah tertulis dalam kitab takdir kehidupan dan mereka mengetahuinya, orang-orang picik tentu tidak akan berjuang dalam hidup. Mereka dengan akhir buruk boleh jadi pesimis untuk berbuat baik. Mereka dengan akhir baik boleh jadi akan mengisi dunia dengan kesenangan fana di atas asas kemanfaatan. Penyalahgunaan takdir.
Lantas, di mana esensi perjuangan?
Bukankah Dia menilai proses? Tuhan tidak akan mengubah nasib seseorang kecuali dia mengubahnya sendiri. Manusia berusaha, Tuhan menentukan.
Begitulah kemudian saya menjadi takut tiap kali bayangan itu datang. Di hari saat koneksi dunia saya benar-benar diputus, dalam kondisi apakah saya akan berakhir? Sekedar berhenti memasukkan oksigen dalam organ, atau ada kesan lain dalam catatanNya? Bukankah ending yang tidak menyebalkan menjadi penentu kebaikan cerita oleh pembaca?
Hidup masih diyakini sebagai misteri, dan sepertinya akhir yang baik masih menjadi favorit.
“Hwaiting!”
No comments:
Post a Comment