January 20, 2012
Buku yang Berbeda
“Kenapa harus lalat?” tanya seorang mahasiswa pada suatu siang dalam sebuah diskusi di kelas sastra. Saat itu kelas sedang mendiskusikan bagaimana plot berkontribusi dalam penentuan kualitas sebuah karya sastra. Pertanyaan-pertanyaan lain kemudian menyusul: kenapa tidak lebah? Bukankah lebah lebih bermanfaat bagi manusia?
Dalam hitungan menit, kualitas diskusi di kelas tersebut meluncur tajam, dan dapat dipastikan tidak adanya titik temu sebagai acuan diskusi. Mahasiswa tersebut lalu ditugaskan menulis paper tentang analisis lalat dan lebah dalam kepantasannya sebagai karakter yang dimunculkan dalam cerpen The Fly karya Katherine Mansfield. Tentu saja penugasan tersebut lebih bermaksud untuk mengakhiri perdebatan beda pendekatan itu.
Konsep obrolan tidak menyenangkan di atas semakin terasa mewarnai kehidupan saat ini. Kehadirannya serupa bunglon yang menyatu dengan warna yang ditempatinya. Begitu lembut hingga eksistensi dan serangannya tidak terdeteksi. Berbagai ragam komunikasi jenis ini perlahan mengikis nilai persatuan (unity) dan toleransi atas nama kebebasan dan demokrasi. Hal ini akan mencapai titik bahaya puncak saat hasil komunikasi justru menjauhkan simbol dari esensi, mengaburkan pemahaman, mengacaukan konsep dasar, bahkan memecah belah umat dalam batas yang kadang tak terjamah. Ironisnya, bentuk komunikasi berupa perdebatan beda pendekatan ini tidak jarang terjadi dalam ranah wacana religiusitas.
Beberapa waktu lalu sempat populer tayangan debat tanpa payung bahasan yang jelas dengan perbedaan pendekatan yang digunakan. Jadilah acara tersebut kacau oleh teriakan dalam nada bermuatan emosoi dari para narasumber yang notabene para public figure, bahkan tokoh keagamaan itu. Tak sedikit penonton yang juga merupakan pendukung masing-masing kelompok kemudian terseret arus kemarahan yang hanya akan teredam setelah pembawa acara membunyikan lonceng saktinya.
Kemampuan berkomunikasi dalam nada tinggi dan gestur penyalur emosi juga terlihat cukup jelas pada rapat-rapat pemakan anggaran akbar yang diadakan di gedung hijau Senayan. Seringkali perdebatan yang berakhir dengan aksi gebrak dan banting tersebut disebabkan perbedaan pendekatan maupun dusut pandang yang digunakan bersamaan dalam menyelesaikan suatu masalah.
Saat para ulama dengan berbagai pendekatan berdebat tentang penetapan Idul Fitri pada waktu bersamaan untuk kemudian menyatukan begitu saja bagaimana Idul Adha ditetapkan, adalah masyarakat awam sebagai korbannya. Perdebatan-perdebatan tak berujung mengenai tokoh-tokoh keagamaan paling berpengaruh dan terpercaya hingga pertanyaan saling menjatuhkan mengenai kebenaran dan kesesatan suatu ajaran justru semakin menambah nominal spasi antargolongan di dalam kelompok besar ini.
“Hindarilah perdebatan sekalipun engkau tahu kebenaran menyertaimu,” sabda Rasulullah. Dengan pemahaman pada konsep awal perdebatan seperti ini, kondisi ideal yang kemudian diharapkan hadir adalah kedamaian tanpa perdebatan. Damai bukan berarti tanpa berpikir, tanpa menganalisa. Karena pengikut tanpa ilmu tidak pernah dikisahkan dalam daftar cerita teladan. Kondisi di mana adanya pemikiran dan pertanyaan yang kemudian membawa kita pada pemahaman beralasan lah yang kemudian menjadikan otak dan hati kita sehat. Pemikiran untuk jiwa.
Namun bentuk kesehatan otak tersebut yang pada kondisi ideal tidak tertuang dalam gestur dan kalimat penuh emosi dengan visi dan misi penghancuran. Berdebat, terlebih dengan pendekatan yang samasekali tidak sama. Saat memecahkan masalah, akan lebih baik jika masing-masing kepala yang berada di ruang tersebut memiliki tiap pemikiran dan sudut pandang berbeda sebagai perwakilan pribadi mereka. Demi menghasilkan rumusan terbaik pemecahan masalah, sistem seperti ini tentu menjadi alternatif paling ideal sekaligus sulit untuk diterapkan: memiliki beberapa gagasan cemerlang sekaligus untuk penyelesaian satu masalah. Tetapi keberadaan gagasan-gagasan tersebut menjadi salah dalam waktu kelahirannya di dalam forum.
Saat kelompok mendiskusikan pengaruh buruk tayangan televisi bagi tumbuh kembang anak, sangat tidak tepat jika anggota forum mengusulkan pelarangan internet bagi anak dengan setumpuk analisis lanjutan. Kedua hal tersebut berada pada payung argumen yang sama, yakni pengaruh negatif teknologi terhadap tumbuh kembang anak. Namun penjelasan keburukan internet di saat pembahasan pengaruh tayangan televisi lah yang menjadikan perdebatan dalam perbedaan pendekatan terjadi.
Perkembangan perdebatan seperti ini yang kemudian menjadi tersangka bayangan atas perpecahan umat yang belakangan ini semakin dimaklumi di atas sunatullah. Namun, jika Allah telah menetapkan kematian seseorang sebagai rahasia yang pasti, akankah manusia tak merugi akan membiarkan hidupnya berakhir di meja judi dengan bersahabat dengan alkohol?
Mengijinkan diri membuat perubahan dengan meminimalisasi keadaan buruk bukan merupakan suatu aib. Saat ketetapan untuk membagi umat besar ini menjadi kelompok-kelompok kecil pengusung masing-masing kebenaran yang dinilaikan dalam ajaran mereka, berusaha mengurangi percikan-percikan yang akan semakin membakar jarak antargolongan masih menjadi tindakan mulia untuk dilakukan.
Jangan berdebat mengenai Saman dengan seseorang yang membaca Ayat-Ayat Cinta. Ini bukan mengenai usaha mendiskreditkan golongan tertentu, melainkan pencarian titik tolak dalam perjalanan diskusi. Saat forum berusaha mendiskusikan value (nilai moral) mana yang terbaik antara novel komunis dan atheis, relativitas menjadi mutlak di atas segalanya. Terlebih saat tiba-tiba seseorang memasukkan analisis penokohan dan setting sebagai bahan kajian pembanding pada waktu bersamaan. Memikirkan banyak hal secara bersamaan memang baik, tetapi menuangkannya dengan bersamaan bukanlah tindakan bijak.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment