May 10, 2012
Memilih Rumah Sakit
Saya selalu percaya kunci semua hubungan terikat pada rasa bernama kepercayaan. Apapun itu. Hubungan orang tua-anak, suami-istri, atasan-bawahan, sahabat-sahabat. Termasuk hubungan hamba dengan Tuhannya. Bahkan kepercayaan (utamanya dalam romantisme) kemudian dipercayai sebagai salah satu simbol kasih sayang. Jika kau mencintaiku, maka percayalah padaku.
Tetapi, atas nama demokrasi, modernisasi, dan liberalisasi, kepercayaan seorang hamba pada Tuhannya ditampakkan tak bernilai: klise, klasik, kolot, dan simbol kemunduran suatu peradaban. Orang-orang beramai-ramai mempertanyakan kebenaran kitab suci. Memilah, menyeleksi, dan menetapkan kebenaran yang hanya menurut mereka itu benar. Selebihnya, salah. Fanatik. Ekstremis. Maka bukan tidak mungkin halaman kitab suci tidak akan setebal itu di rak buku mereka. Lantas usulan amandemen kitab suci oleh para pembuat undang-undang manusia pun digaungkan.
Di sisi lain, mereka (masih) meyakini kepercayaan. Dalam hubungan bisnis, keluarga, persahabatan, percintaan. Kata mereka, “Jangan terus bertanya kenapa aku pulang larut. Kau tahu kan, semua ini untuk keluarga kita? Kau percaya padaku, kan?” Lantas saat jawaban “Ya” diperoleh, penekanan lain diberikan sebagai bentuk superioritas. “Kalau kau mempercayaiku, tidak sepantasnya kau mempertanyakan apa yang kuperbuat.”
Dalam ikatan-ikatan duniawi tersebut, terkadang muncul keadaan seseorang sulit meletakkan kepercayaan pada pasangan/partner masing-masing. Mulai dipertanyakannya aktivitas dan kebijakan partner kemudian dinilai sebagai bentuk kecurigaan yang berarti pengkhianatan kepercayaan. Maka dalam ikatan-ikatan duniawi, kepercayaan berarti harmonisme keluarga, keberlangsungan keluarga, keberhasilan tander, dan kesuksesan percintaan.
“Anak Anda menderita sciatica dan harus segera dioperasi.” Jika saya adalah orang tua yang sedang berhadapan dengan dokter dengan kalimat tersebut untuk anak saya, deret pemikiran yang segera memenuhi otak saya adalah dana, kesehatan anak, dan kesembuhan. Ditambah beberapa permohonan dan pertanyaan –jika tak ingin disebut keluhan– pada Tuhan. Tidak ada waktu untuk mencari perpustakaan atau akses internet terdekat demi memahami sciatica sebelum memutuskan akan melakukan operasi. Saya pun tidak akan sempat berburuk sangka pada dokter tersebut, bagaimana karir kedokterannya selama ini, dan apakah vonis barusan bukan sekedar kepentingannya.
Saya mempercayai rumah sakit tersebut, maka saya memeriksakan anak saya di sana. Lebih jauh, saya akan mencoba mendapat akses pada dokter tertentu yang telah saya yakini kemampuan dan track record karirnya. Maka, saat dokter tersebut menyatakan vonis dan anjurannya, saya hanya perlu berpikir mendapatkan dana operasi tanpa bersibuk diri mempertanyakan kebenaran informasi. Karena bagi saya, keselamatan dan kehidupan anak saya jauh lebih penting dari semua rasa ingin tahu saya.
Lantas, apakah agama tidak sepenting nyawa seseorang?
Dalam sistem agama, kepercayaan memainkan peran Tuhan dengan hamba-Nya. Namun, kehidupan modern dengan sejumlah isme menjadikan konsep kepercayaan ini tidak sepenting kepercayaan pasien pada dokter.
Bukankah saat memilih agama, saya telah mempercayai ajarannya? Atau sebenarnya saya tidak pernah memilih agama ini. Lantas, kapan saya benar-benar bersyahadat untuk memilihnya? Saat saya memilih Allah sebagai Tuhan saya, bukankah saya telah memahami dan meyakini kuasa-Nya? Maka seperti apapun vonis dan anjuran yang Dia berikan akan saya patuhi. Bahkan ketika sesuatu yang difirmankan begitu abstrak dalam pengetahuan saya, bukankah seharusnya saya tidak perlu bersusah payah menenggelamkan diri dalam pertanyaan-pertanyaan?
Saya hanya harus menelan obat sesuai instruksi yang diberikan. Tidak perlu bertanya kenapa tablet ini tiga kali sedangkan kapsul ini satu kali, karena saya percaya pada tanda bahaya jika saya salah meminum obat.
Namun terkadang agama tidak sepenting kesehatan bagi saya. Tidak mematuhi nasihat Dokter Kehidupan yang telah saya pilih toh tidak akan membuat saya meninggal. Bagi saya kematian adalah saat nafas berhenti berhembus. Karena jika ada kematian jiwa, kini saya tentu sudah memiliki satu kuburan. Bagi saya bertanya sebanyak-banyaknya tidak akan membahayakan nyawa. Karena saya tidak diburu waktu operasi. Karena bahkan satu kitab medis dipertanyakanpun, para dokter bersedia menunggu saya. Padahal saya hanya tidak tahu kapan ruang operasi ditutup dan lampu dinyalakan.
Saya bukanlah korban kecelakaan yang tidak bisa memilih di mana dia akan dirawat. Saya hanya merasakan sesuatu tidak bekerja dengan baik di tubuh saya, ada sesuatu yang terus menyakiti raga saya. Maka saya berjalan, memilih rumah sakit dan dokter terbaik untuk memeriksa dan merawat saya. Apapun vonis dokter, saya terima, apapun nasihatnya, saya jalani. Tanpa banyak bertanya. Karena saya percaya dan telah memilihnya.
**gambarnya dari sini :)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
jujur, menurut saya pribadi, tulisan di atas sangat kritis dan cerdas.
ReplyDeletekritis dalam membandingkan kesehatan dengan agama.
mungkin, bisa saya katakan: tulsan di atas memang tidak bernada dogmatis dan memaksa, namun karena ketiadaan dua hal itulah tulisan di atas menjadi tulisan yg mampu untuk memuat pembacanya merenungkan sendiri makna agama dalam kehidupan.
salam kenal.
dan terima kasih atas tulisan di atas yg mampu memberikan pencerahan.
makasih sudah berkunjung dan mau komen, mas pondra.
ReplyDeletehehe, saya kebetulan 'trauma' sama tulisan dogmatis, jd mau coba jujur2an aja via tulisan. mudah2an bermanfaat.
salam kenal juga :)
Semua yang ada di dunia ini terdiri dari dua mata. Iya dan tidak. Benar, tidak benar. Mahal, tidak mahal. Percaya, tidak percaya. Kita tidak pernah dipaksa untuk mempercayai seorang dokter yang akan mengoperasi kita. Faktanya, kita akan mempertimbangkan banyak hal. Reputasi rumah sakitnya, fasilitas yang disediakan, biayanya, dan lain sebagainya. Ketika kita tidak terpuaskan, kita punya hak untuk mempercayai rumah sakit lain. Atau bahkan menikmati sisa hidup, tidak berobat kemanapun. Artinya kita sudah tidak percaya dengan kesembuhan yang dijanjikan rumah sakit. Apakah salah?
ReplyDeleteAda banyak hal yang membuat kita "percaya" akan sesuatu. Rumah sakit A adalah satu-satunya rumah sakit bisa saya jangkau. Jadi, mau tidak mau saya harus percaya. Rumah sakit B adalah rumah sakit terdekat. Kalau tidak mau mati, ya, saya harus percaya, meskipun saya tidak mengenal dokternya.
Dalam memilih agama, apakah kita juga harus merasa terpaksa?
Pertanyaan yang lebih mendalam:
Ketika kita mempercayai suatu agama, pernahkah kita mencoba percaya kepada agama yang lain? Apakah kepercayaan ini benar-benar berasal dari batin kita, atau karena kita menutup diri akan hal-hal baru yang dianggap salah - walau belum pernah dijamah?
benar banget Nanda, inti semua agama itu 'voluntary'. kita memilih karena kita paham. kita melangkah karena kita tahu arah tujuan *berasa nyanyi*
ReplyDeletethat's why, dalam posisi ini, posisiku adalah orang yang berjalan dan memilih rumah sakit. mempertimbangkan kualitas, dan mencari tahu latar belakang dokter.
dalam kondisi aku bukan korban kecelakaan yang tidak bisa apa-apa.
btw, 5 minggu di US kemarin, banyak cari common ground kepercayaan-kepercayaan di dunia. sayangnya ga ada kesempatan ngobrol sama mereka yang memilih ga percaya (: