March 11, 2012
Barter!
Seseorang tampak tenang ketika delapan flashdisk bermuatan 24 gigabytes diserahkan padanya. Namun perasaan ‘biasa saja’ itu berubah ketika didapatinya kedelapan flashdisk itu kosong. Artinya, tidak ada barter seperti perjanjian. Dia hanya akan memberi banyak film tanpa mendapatkan sesuatu selain kemungkinan pahala jika berhasil ikhlas.
Tentu saja konsep keikhlasan itu gagal diraihnya dengan kalimat-kalimat balas budi yang diajukan pada peminta film itu kemudian. Peminta bahkan tidak merasa bersalah saat kolektor film itu berulang kali menyebut ‘barter’ sebagai aturan main transaksi. Sebagai peminta, dia tidak merasa kolektor itu butuh film-film darinya. Toh, selama ini dia yang selalu meminta. Toh, sebagai pemilik –dengan derajat koleksi yang lebih– kolektor itu tentu memiliki semua yang diberikan pada peminta. Secara ekstrim, jika kolektor itu Maha dan peminta itu hamba, maka tidak sepantasnya Sang Maha meminta pada hamba, pikirnya. Peminta itu lupa, dalam bentuk kehidupan paling primitif pun konsep balas budi telah lama diterapkan.
Barter dikenal sebagai bentuk perniagaan pertama yang sederhana; pertukaran barang dengan barang. Untuk dapat melakukannya, pihak yang terlibat harus membutuhkan barang dari pihak lain sekaligus memiliki barang yang dibutuhkan pihak lain. Kondisi semacam ini dapat disebut simbiosis mutualisme, hal yang sering tidak disadari keberadaannya dalam kehidupan berislam.
Sebagai peminta, seorang hamba seringkali merasa tidak perlu berbarter dengan Tuhannya. Dia hanya menerima tanpa memberi. Konsep lain bahkan menyebut Tuhan yang membutuhkan sesuatu dari hambanya tidak pantas dituankan; maka carilah Tuhan yang baru. Kaum ini mungkin lupa bagaimana bersikap sebagai hamba yang baik. Sebagai manusia mereka bahkan terus menagih jawaban atas pertanyaan-pertanyaan menjebak yang mereka berikan. Mereka kemudian menyebut kaum di luar mereka tidak berilmu jika jawaban tidak memuaskan yang didapat. Jika menjadi hamba berarti menjadi peminta sejati, konsep hak-kewajiban sudah pasti mati pada titik ini.
Dia mencintai perniagaan sebagai bentuk ajaran mulia yang dikenal dunia sebagai balas budi. Dia tidak mengharap balasan dari mereka yang tidak berbudi, tetapi Dia memberikan kebaikan pada semua makhluk. Maka hanya mereka yang memiliki rasa malu pada konsep kemanusiaan yang berusaha mengeja kehidupan langit. Jika pada manusia tak pernah terbersit keinginan seseorang untuk membalas kebaikan, maka tak perlu berusaha meyakinkannya membalas kebaikan Tuhannya, karena selamanya perhitungan langit dan bumi tidak akan bertemu.
Kebaikan-kebaikan bumi, dalam titik kecil zarah pun akan mendapatkan balasan (tidak hanya penilaian) langit. Sebaliknya, keberadaan bumi seisinya masih tak menggerakkan penghuninya membalas kasih Pencipta. Saya tentu tidak sedang membicarakan mereka yang berpikir konsep penciptaan mereka tidak berkaitan dengan Pencipta yang mengatur, meskipun kaum ini sangat mengenal sistem barter dalam kehidupan dunia mereka. Saya ingin bercerita tentang mereka –dan mungkin saya– yang meyakini keberadaanNya, mengakuiNya sebagai Pencipta yang mengatur, begitu percaya diri mencintaiNya, tetapi berhenti pada hati. Tak ada bekas pada lisan, terlebih perbuatan.
Pada masa di mana keseriusan beragama dinilai berbahaya, orang-orang sebisa mungkin menyembunyikan identitas keislamannya. Tidak ada jilbab, yang penting pakaian rapi. Tidak ada kajian agama, yang penting berkegiatan sosial. Tidak ada hukum Islam, yang penting hukum islami. Tidak ingin dianggap kolot dengan penerapan kitab dan sunnah. Tidak melakukan sesuatu yang tertulis sebagai barter untuk Tuannya, tetapi terus mengais kasih lalu menutup mata pada jawaban doa dariNya.
Dalam peradaban manusia modern, seorang akan dihargai saat dia bersedia menghargai orang lain. Seseorang akan dinilai bermartabat saat dia mau memberi, tidak sekedar menampung pemberian. Konsep ini dikenal Islam dalam beberapa ayatnya perihal perniagaan yang berbuah tak hanya kehidupan surga melainkan kemuliaan hidup. Dalam 2:245, 4:86, 9:111, 47:7, 62:10-14, dan 99:7-8, misalnya, Dia mengajarkan bagaimana sebuah kebaikan selayaknya berbalas kebaikan. Bagi saya, berbakti kepada Pencipta bukanlah perihal ‘siapa yang Maha maka dia yang memberi’ melainkan usaha memanusiakan manusia.
Tanpa memberi, manusia tak lebih dari pengemis muda di ujung jalan yang berdiam menunggu seorang dermawan mendatanginya dengan kotak makanan atau segepok uang. Banyak orang memandang rendah kaum ini (peminta, muda, tanpa usaha) dengan tidak menyadari bentuk lain kaum ini yang terinternalisasi dalam diri masing-masing. Tanpa kebaikan untuk Pencipta, berdiam dalam keluhan, dan terus meminta. Tanpa barter.
btw gambarnya dari sini
kalau dilihat dari tumpukannya sih ga terlalu banyak gitu =3=
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment