January 20, 2012

Para Pemula



“Saya mau menjilbabi hati saya dulu.”

Jawaban senada dalam komposisi kalimat berbeda sering saya temui saat bertanya soal komitmen menutup aurat pada sesama muslimah. Tidak ada penolakan dalam benak saya saat itu. Saya justru mempertanyakan kepribadian yang melekat pada banyak muslimah yang menutup kepalanya atas nama tren. Daripada kayak gitu, demikian mereka yang enggan menutup aurat kemudian berkilah.

Mereka yang menunda kewajiban aas nama persiapan kemudian menjadi lebih keren di mata saya. Saya pun merasa sangat berdosa telah membandingkan mereka yang secara akhlak jauh lebih baik tetapi terlihat buruk hanya karena mereka menunda penetapan salah satu kewajibannya. Lantas saya menyadari lubang besar dalam prinsip baru penerimaan ini.

Hal yang ditunda tersebut adalah kewajiban, dengan derajat pahala dan dosa yang senada dengan kewajiban-kewajiban lain dalam sistem keagamaan. Dan sekali lagi, berbincang mengenai sistem keagamaan berarti berbicara mengenai konsep utuh layaknya sebuah sistem yang sehat.

Tidak ada pembedaan kewajiban dalam sistem yang saya kenal ini. Konsep wajib, sunnah, mubah, dan haram yang saya dapatkan sejak pertama kali belajar agama pun masih belum berubah hingga detik ini. Sesuau yang dinamakan wajib akan menemui pahala saat dipenuhi dan menimba dosa saat dihindari, bahkan ditunda – karena itu berarti tidak ada pelaksanaan. Termasuk dalam hal yang menurut beberapa orang bisa ditunda ini, meskipun nyata ayatnya tercetak dalam kitab yang masih mereka percayai sebagai pedoman hidup.

“Saya nggak mungkin mikirin perubahan kalau saya belum mencoba berubah,” kata seseorang sangat mengejutkan. Dia baru saja menetapi kewajibannya sebagai muslimah.

Secara logika, pendapat ini sangat masuk akal. Kain penutup itu seharusnya menjaga sikap seseorang yang menggunakannya – jika benar dia memaknai pemakaiannya. Penjagaan itu berupa pikiran-pikiran penolakan saat pengguna hendak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan aturan. Setipis apapun kain itu, sekecil apapun dia menutupi, setidaknya dia telah mencoba menutupi. Terlebih beberapa orang tergerak melakukan perubahan-perubahan besar setelah sebelumnya mengusahakan perubahan kecil. Maka saat hisab itu dimulai, dari mereka telah tercipta usaha bumi untuk penilaian langit.

Saya tentu tidak bermaksud mewarnai lukisan ‘mereka yang menunda’ dengan sepenuhnya warna-warna suram yang tidak menjual. Saya hanya ingin mengapresiasi mereka yang memulai. Para pioneer, sekecil apapun yang telah mereka usahakan, karena sejatinya mereka mencoba meniti jalan yang telah dicontohkan pemimpin mereka.

Ajaran wajib lain yang kini ke-wajib-annya mulai terbiaskan adalah perihal menyampaikan. Banyak yang beranggapan perbaikan diri sendiri menempati prioritas terdepan untuk dilaksanakan, tanpa perlu berpusing diri untuk perbaikan orang lain. Maka, konsep kebenaran dan kebaikan untuk diri sendiri kian populer dewasa ini. Jangan sok menasihati orang lain jika diri sendiri belum benar.

Jika Muhammad masih dipercaya sebagai pengemban risalah sekaligus contoh terbaik hingga saat ini, ada baiknya kitab sejarah putra Abdullah itu terbuka kembali pada halaman awal penerimaan wahyunya. Sebagai seorang yang buta aksara, akan banyak alasan untuk Muhammad tidak menyampaikan pesan Tuhan melalui Jibril tersebut. Dia tentu memilih untuk belajar membaca dan menulis terlebih dahulu hingga mahir untuk kemudian menyampaikan pesan besar yang dibebankan padanya. Tetapi kita semua tahu dia tidak memilih berhenti untuk belajar, melainkan belajar seraya menyampaikan pembelajaran.

Sampaikanlah, meskipun hanya satu ayat. Sepenting itu penyampaian kalimatNya hingga bahkan satu ayat pun memiliki hak untuk tersampaikan. Jika memang agama masih diyakini sebagai pedoman hidup yang ajarannya layak untuk disampaikan, maka sesulit apapun jalan ditempuh dan sehina apapun diri untuk menyampaikan, lakukanlah. Apa yang dibebankan pada lisan kita terlampau penting untuk sebuah penundaan. Bukan tidak mungkin agama ini berhenti pada usaha Jibril di Gua Hira jika Muhammad menunda – bahkan tidak melanjutkan – penyebaranya.
Tulisan ini dibuat bukan dalam rangka menolak ayat yang melarang penyampaian tanpa pelaksanaan. Karena penekanan kewaiban ini berada pada dua kata tersebut. Karena bahkan Muhammad menjadi teladan yang baik karena aplikasinya, bukan semata kata-katanya. Pun saya tidak berusaha munafik dengan menyegerakan siapapun memaksakan diri membumikan ayatNya meskipun separuh lebih isi bumi meragukan keimanannya.
Saya hanya ingin menghargai para pemula. Tentu mereka paham keberadaan Tuhan sebagai penjaga tunggal ajaran langit. Dalam kitab yang diyakini itu pun tertulis, dengan atau pun tanpa para pemula ini, Dia akan memenangkan ajaran langit. Namun, manusia menetapi hakikatnya untuk memperjuangkan apa yang mereka yakini dan cintai. Pada titik ini, perbedaan orang sukses dan gagal nyata terurai. Mereka yang sukses merencanakan dan bergerak meskipun satu langkah kecil. Mereka yang gagal sibuk merencanakan langkah-langkah besar tanpa pernah benar-benar melangkah.
Saat hati dan lisan meyakini ajaran ini tetapi langkah terhenti untuk berbagi, rasanya bukan sebuah dosa untuk bertanya pada hati: apakah saya benar-benar meyakininya?

No comments:

Post a Comment