January 20, 2012

Menyapa Kebebasan

Setahu saya, bebas ya bebas. Tanpa batas, tanpa aturan. Saat kemudian ada tanda bintang yang mengisyaratkan “syarat dan ketentuan berlaku”, esensi bebas tak lagi ada. Lahirlah sesuatu yang mereka sebut kebebasan bersyarat.

Tulisan ini tentu tidak akan mengupas liberalisme pada titik pokok kebebasannya. Hanya dengan menyapa tentu tidak akan cukup untuk mengenal pribadi seseorang. Saya hanya ingin mengutarakan konsep kebebasan menurut pemahaman dan harapan saya. Subyektif, mungkin. Tapi inilah yang saya sebut “berbincang dengan bisikan”. Saya ingin menuliskan bisikan-bisikan yang menjadikan saya tetap manusia. Untuk tetap berpikir dan tidak serta merta menerima dogma.

Kata liberalisme dan definisinya sebagai suatu paham pertama kali saya baca saat SMP. Saat itu, beberapa tokoh dalam buku Pendidikan Kewarganegaraan menjelaskan liberalisme sebagai ideologi yang menjunjung kebebasan individu di atas segalanya, dengan memberi contoh Amerika Serikat sebagai negara penganuti ideologi itu.

Saat itu, sebagai remaja yang jauh lebih labil dari saat ini, saya mengiyakan penjelasan dari buku itu –dan buku-buku lain anjuran pemerintah. Kemudian saya teringat kondisi penganut ajaran minoritas di negeri itu. Mereka, seperti yang digambarkan media internasional, menemukan banyak hambatan dalam akses peribadatan mereka. Bahkan untuk merealisasikan eksistensi ajaran mereka dalam hal penampilan. Kaum mayor menolak mereka dengan jaket paranoid terhadap terorisme jihad –yang saya ragu mereka benar-benar paham tentang itu. Lantas, apakah permainan hak mayoritas dan minoritas masih berlaku dalam kebebasan liberalisme?

Setahu saya, kebebasan menjunjung hak tiap individu, siapa pun itu. Tidak ada prinsip “suara terbanyak lah yang menang” karena ini bukan demokrasi –yang bahkan mempersilahkan kaum minor bersuara. Sekecil apapun kelompok itu dan selemah apapun pengaruh mereka dalam konstruksi masyarakat, kebebasan memberi tempat mereka untuk hidup dengan menjabarkan keyakinan mereka dalam langkah di atas tanah. Bukan dengan hidup bersembunyi atas nama ideologi yang dianggap mati.

Saya lalu ragu dengan penetapan Amerika sebagai negara yang menjunjung tinggi hak tiap individu. Tidak ada kebebasan untuk berkeyakinan yang bisa saya yakini dari fakta yang ada. Dalam skala dunia, ketiadaan kebebasan itu juga saya rasakan. Bahkan, di tanah tempat saya berdiri saat ini.

Mereka berkata pada saya, “kebebasan beragama telah diatur dalam pasal dan ayat.” Faktanya, berapa jumlah keyakinan yang kemudian diyakini dan diterima mayoritas kita? Bagi saya, keyakinan –apapun bentuknya- adalah perniagaan ekslusif antara saya dan apa yang saya yakini. Tidak ada yang bisa –dalam jangkauan hak dan kemampuan- menentukan kebenaran absolut atas keyakinan seseorang.

Manusia berdebat bahkan berperang tentang sesuatu bernama keyakinan. Mencoba meletakkan kebenaran dengan skala ciptaan manusia. Berprasangka dan bebas bermain kata tentang kesesatan suatu ajaran. Lantas, saya berpikir : siapakah kita? Seberapa hebat dan muliakah manusia untuk menilai kebenaran suatu ajaran? Bukankah kebenaran dan keyakinan merupakan abstrak yang relatif?

Seorang teman pernah berkomentar, “Dia memiliki segalanya. Ketampanan, kecerdasan, kekayaan, kebahagiaan. Sayang, dia seorang muslim.” Tentu saja saya hanya diam dalam ekspresi yang dia pahami sebagai penolakan statement. Ketika manusia terbagi dalam keyakinan masing-masing, bukan porsi mereka sebagai makhluk untuk saling menilai. Jika seorang teman memilih untuk meyakini Budha sementara teman yang lain lebih nyaman dengan ajaran Kristus, bukan kewajiban saya untuk menilai kebenaran jalan mereka. Bahkan jika mereka kemudian memilih untuk tidak memilih ajaran apapun.

Saat ada perbincangan yang berakhir pada perpindahan keyakinan, saya percaya pada kuasa penuhNya untuk melakukan itu. Bukan karena siapa mempercayai apa lantas saya “terpengaruh” mengikutinya. Sekuat apapun seseorang mempengaruhi orang lain untuk percaya pada sesuatu yang ia yakini sebagai kebenaran, saat “sesuatu” itu tidak berkeinginan pada keinginan orang itu, saya percaya pada kenihilan sebagai hasilnya. Inilah konsep kebebasan yang ingin saya yakini : untuk tidak sok tahu dengan pilihan orang lain. Bukankah Tuhan memperkenalkan kebebasan dengan pintu fleksibel dalam berbagai jalan menuju rumahNya?

No comments:

Post a Comment