January 20, 2012

Kompetisi Putih

Sungguh, penilaian manusia sangat berbahaya.

Fastabiqul khoirot. Berlomba-lomba dalam kebaikan. Awal bulan ini saya sering membaca kalimat itu, sebelum gemanya terus terulang di otak. Bukan untuk segera menyusun berbagai cara untuk memenangkannya, karena saya selalu takut untuk itu. Dan menjadi semakin takut di bulan kompetisi kebaikan ini.

Saya selalu ingin disibukkan di jalan Tuhan, mengisi kegiatan dengan kepadatan beraroma syar’i. Keinginan yang (masih) belum terlaksana. Melihat orang-orang itu begitu sibuk dengan setumpuk tugas keagamaan di pundak mereka justru membuat saya menjadi takut untuk menjadi seperti mereka.

Jujur, sebenarnya saya sungguh ingin seperti mereka yang sibuk dalam kehidupan religius, yang pasti bernilai baik di mata manusia. Saya sangat ingin disibukkan olehNya, tapi saya selalu berhenti pada keinginan. Setiap kali kaki ini melangkah, selalu ada suara dalam hati saya yang mempertanyakan keinginan itu:

“Kau ingin sibuk atau terlihat sibuk?”

Saya selalu mencerna kalimat itu berulang kali, menghabiskan menit-menit dalam pertimbangan.

“Saya ingin bermanfaat bagi agama saya!” teriak sisi lain hati saya. Tapi, bagaimana dengan penilaian orang lain? Akankah mereka berpikiran sama denganmu?

Pada akhirnya, saya kalah. Saya takut “terlihat baik” di mata orang lain. Ketakutan yang semakin menjadi itu melumpuhkan langkah saya pada setiap agenda berjenis perlombaan dalam kebaikan. Bukan berarti kemudian saya mantap melangkahkan kaki dalam setiap perlombaan keburukan –dalam standar yang diciptakan mayoritas, tentunya.

Saya benar-benar takut menjadi baik dan terlihat baik. Jika “jam terbang tinggi” menjadi parameter kebaikan seseorang, saya memilih untuk tidak terbang agar tidak terlihat. Saya bahkan pernah berpikir tentang hukum kekekalan amanah : “amanah tidak dapat diminta dan tidak dapat dipindah-tangankan (begitu saja).”

Maka, jika pada awalnya tugas tersebut bukanlah untuk saya, saya tidak akan memintanya. Bahkan untuk sekedar berbasa-basi menanyakan perkembangannya. Bagi saya, jika Dia menginginkan hal itu untuk saya, Dia akan memberikannya pada saya pada awal keberadaannya.

Ketakutan untuk terlihat tidak hanya berlaku dalam hal tugas keagamaan. Saya merasakan depresi luar biasa di bulan kompetisi ini. Menyadari tumpukan dosa yang semakin mencuat dari kotak hati saya membuat saya selalu ingin memaksimalkan kesempatan ini untuk mengumpulkan voucher discount dosa di kehidupan yang akan datang.

Opotunis kah? Toh, tidak ada salahnya memanfaatkan kesempatan untuk kebaikan, pikir saya. Tetapi, tentu saja saya tidak seberani itu untuk melakukannya. Memanfaatkan tiap detik dalam peribadatan untukNya. Selalu saja, rasa takut ini membunuh saya. Mulut saya terlalu berat untuk melafalkan ayatNya saat ada manusia lain di sekitar saya –yang kalaupun saya melakukan perbuatan berpahala itu, tidak akan ambil pusing. Kaki saya terlalu berat menambah kegiatan extraordinary lain saat ada nafas dari hidung lain berhembus di sekitar saya –yang bahkan mereka pun melakukan kegiatan-kegiatan extraordinary itu.

Tapi, itu dulu…

Lantas, saya mulai berpikir, mengenang semua alasan itu. Saya lalu teringat perkataan guru saya, “Alasan hanyalah pembenaran dari kemalasan!” Saya pun –dengan berat hati- mengakui bahwa semua paragraf di atas hanyalah pembenaran dari kemalasan saya untuk sibuk di jalan Tuhan.

Jika hati saya benar-benar bertekad untuk menjadi pelayan Tuhan yang baik, sesering apapun lisan berucap “Jangan!” tidak akan menghentikan langkah untuk bertindak.

Niat adalah amalan hati, yang tidak akan mampu seorang manusia pun untuk menilainya. Jika saya begitu yakin bahwa semua perbuatan itu saya tujukan untukNya dan bukan untuk penilaian makhlukNya, sangat konyol jika kemudian saya berhenti berbuat karena takut pada penilaian manusia.

Tugas saya hanyalah melakukan ajaranNya, bukan memikirkan (dengan sangat) bagaimana orang lain akan menilai perbuatan saya. Kalau pun pada akhirnya mereka menilai perbuatan saya sebagai kebaikan tulus atau sekedar aksi cari muka, bukanlah wewenang saya untuk berpusing atas tanggapan itu.

Apa yang Tuhan pikirkan atas saya lah, yang seharusnya menjadi fokus saya. Tujuan saya adalah ketenangan batin saat bisa melaksanakan ajaran yang saya yakini. Dia adalah titik merah panah saya. Dia adalah juri tunggal perlombaan ini. Bukan makhlukNya.
Mengingat nasihat seorang teman, “Jangan terlalu sibuk memikirkan apa yang harus dilakukan, sampai-sampai tidak melakukan apapun.”
Mari berlomba-lomba dalam kebaikan! 

(awal ramadhan, 2011)

No comments:

Post a Comment