January 20, 2012

nomaden



“Kenapa Anda Islam?”

Saat saya berusaha menutup celah pemikiran dengan berkata bahwa keislaman saya semata-mata karena takdir dan keturunan, saya tahu ada lubang besar di hati saya. Islam kemudian hanyalah menjadi sebuah kebenaran yang kebetulan bagi saya, bukan sesuatu yang dengan sadar saya peroleh dan perjuangkan. Bahkan jika kemudian pengetahuan keagamaan saya dibandingkan dengan para mualaf Amerika, bukan tidak mungkin angka yang lebih kecil menjadi milik saya dalam skala perbandingan kami.

Ada perasaan lega mendapati fakta bahwa saya terlahir dari keluarga penganut ajaran ini. Bukan karena mayoritas selalu ‘berkuasa’, tetapi setidaknya saya tidak perlu berpusing ria untuk mencari. Cukup mendalaminya jika berminat, pikir saya. Tetapi kemudian ada banyak alasan untuk tidak melakukan pendalaman itu, karena pada awalnya saya tidak pernah benar-benar meyakini kebenaran ajaran ini sebagai sesuatu yang mutlak.

Meyakini sesuatu yang tidak disampaikan secara langsung oleh perintis keyakinan tentu tidak mudah bagi saya. Seperti halnya meyakini sejarah di mana kita tidak terlibat di dalamnya, sementara kita tahu terkadang kepentingan golongan memegang peran dalam penyusunan cerita. Jika saya hidup di zaman nabi tentu akan berbeda keadaannya. Saya yang melihat aplikasi ajaran mulia pada sosoknya tentu tidak akan ragu akan keberadaan manusia pilihan. Tetapi bukan tidak mungkin saya justru takut untuk mengenal ajarannya, mengingat konsekuensi berat yang akan langsung mengakhiri kehidupan saya jika identitas muslim saya terungkap saat itu.

Tetapi pada kenyataannya, kita mempercayai ajaran, bukan penyampai ajaran. Saat seorang pemabuk mengatakan minuman keras dilarang dalam agama, terlepas dari keberadaannya sebagai pengingkaran, kita percaya bahwa segala sesuatu yang memabukkan dan mengantar kita pada maksiat adalah haram. Jika saya memilih ajaran ini karena terlahir dari orang tua dengan pemahaman religius tinggi, saat kemudian Dia membalikkan hati mereka, akan sangat mudah bagi saya untuk mengikuti jejak mereka. “Mereka yang keren saja seperti itu.” Maka, keberadaan siapapun sebagai penyampai kebenaran tidak menjadi fokus utama saya. Kalaupun di kemudian hari ada pemikiran gila bahwa nabi SAW tidak pernah ada, saya tetap meyakini kekuatan superior sebagai Pencipta saya dan nabi SAW pernah, masih, dan selalu ada. Sayangnya, selama ini saya terlalu nyaman dalam limpahan kebaikan ajaran ini, tanpa pernah mempertanyakan kenapa Dia menempatkan saya di koridor keyakinan ini. Apalagi untuk memikirkan ajaran lain.

Lingkungan yang kemudian memperluas pandangan saya. Bahwa ternyata memilih keyakinan menjadi opsi yang sangat terbuka dariNya, bahkan untuk tidak memillih. Rasanya sangat tidak pantas memandang rendah ajaran lain sementara saya tidak dapat menjelaskan alasan saya berdiri di jalur ini. Mereka yang kemudian memilih untuk tidak terikat mungkin masih menjadi nomaden dalam perjalanan batin mereka. Itu lebih baik, bagi saya, daripada tidak pernah memilih atau memikirkan pilihanNya.

Bagaimana jika saya tidak terlahir dari keluarga Islam? Akankah saya percaya pada jalan ini sebagai suatu kebenaran dan berminat mempelajarinya?

Saya bersyukur atas fitrah kebaikan ini. Tetapi sebagai nomaden keyakinan yang hanya berpindah dalam hati, saya akan merasa bersalah untuk begitu saja meyakini fitrah ini tanpa pernah mengetahui sebabnya. Perihal eksistensi Tuhan, saya menempatkan kenyataan kebutuhan atas kekuatan superior Pencipta sebagai dasar keyakinan. Kalau pun dalam perkembangannya banyak pihak yang menyebut kekuatan superior itu sebagai tuhan atau dewa dalam berbagai penamaan, fakta bahwa eksistensi kekuatan superior itu ada adalah yang terpenting.

Dapatkah kau melihat Tuhan? Tidak. Lantas, bagaimana kau yakin Dia benar-benar ada?

Saya percaya bahwa sesuatu tidak harus terlihat untuk menjadi ada. Sesuatu dianggap ada karena eksistensi ketiadaan. Maka, sesungguhnya ketiadaan itu telah ada bersamaan dengan konsep keberadaan. Saya tidak dapat melihat kesedihan sekalipun saya dapat menyaksikan air mata. Tetapi kita semua tahu bahwa air mata adalah partikel kesedihan, bukan kesedihan itu sendiri. Tetapi saya meyakini keberadaan kesedihan sebagai rasa yang menggerakkan. Jika saya harus menunggu Tuhan turun dari langit demi menampakkan sosokNya pada manusia peragu, rasanya saya sudah menyia-nyiakan otak dan hakikat manusia sebagai pemikir.

Jika keberadaan semesta diyakini sebagai sesuatu yang tercipta begitu saja, lantas anggapan mereka yang meyakini bahwa kesuksesan dicapai berdasar usaha dan bukan rencana Tuhan, menjadi tidak valid pada saat yang sama. Jika kehidupan manusia diyakini sebagai sesuatu yang dapat mereka atur sendiri, tentu kesepakatan sistem pengatur kehidupan telah kita dapatkan. Sesuatu terjadi bukan karena kebetulan atau terjadi begitu saja. Ada perencana dan pencipta di balik semua sistem kehidupan, terlebih semesta yang sangat rumit.

Para nomaden keyakinan itu, pada dasarnya memiliki kesepakatan akan adanya kekuatan superior di atas mereka. Tempat mereka meminta, sekalipun dalam pemikiran tak tersampaikan dan dalam ketidaksadaran yang terabaikan. Entah mengapa saya belum mengerti alasan mereka yang tidak mengakui kekuatan itu. Jika dulu saya sempat meragukan keberadaanNya, ada saat-saat yang kemudian mengharuskan saya secara naluriah untuk memohon. Bukan pada manusia. Tetapi pada sesuatu di luar sistem tubuh saya, yang saya yakini lebih kuat dari saya. Kalaupun sebagai nomaden saya berpindah dari sistem satu ke sistem yang lain, itu adalah proses panjang pencarian saya menuju cahayaNya. Masalahnya, para nomaden masih sering ditolak dalam dunia ‘kebenaran’.

“Kau cukup ceritakan ajaranmu padaku. Ajaranmu saja, tanpa membandingkannya dengan ajaran lain. Apalagi merendahkan. Biarkan Dia yang menuntunku untuk memilih. Dan terima kasih atas ilmunya, apapun yang akan menjadi pilihanku kemudian.”
Indah sekali jika keterbukaan seperti itu hadir dalam atmosfir kehidupan.

Bukankah tak perlu ada rahasia untuk kebaikan? Jika kita meyakini sesuatu sebagai kebenaran Tuhan, tentu tak perlu ragu mewarnai ajarannya dengan ketakutan kita. Selalu ada cara langit untuk melindungi pemikiran langit. Dia melindungi kita, bukan meminta kita untuk melindungiNya. Saat kemuliaan cahaya menjadi otoritas penuhnya, tugas kita hanyalah menceritakan peta. Bukan menentukan arah perpindahan.

No comments:

Post a Comment