January 20, 2012

Kotak Amal



“Tetanggaku murtad sekeluarga.”

Saya cukup shock mendengar penuturan itu di awal bulan unggulan umat Islam ini, meskipun alasan perpindahan itu sudah mulai terpetakan dalam benak saya : masalah ekonomi.

Memang miris, tapi begitulah kenyataannya. Banyak saudara kita yang ‘terpaksa’ menggadaikan keyakinan mereka demi kehidupan yang lebih layak di mata masyarakat. Mengunggulkan penilaian bumi di atas mulianya stigma manusia langit.

“Jadi orang jangan idealis. Realistis lah, Bung!” banyak kawan saya berkomentar santai menghadapi fenomena degradasi idealisme seperti ini. Pembenaran atas perpindahan keyakinan dengan latar belakang keterpaksaan menjadi pilihan yang cukup populer belakangan ini. Tentu saja, saya tidak akan terlalu banyak ‘berkomentar’ jika perpindahan tersebut dikarenakan perenungan panjang mereka tentang Tuhan –apapun hasilnya, saya percaya Dia memegang kendali penuh atas cahaya hidayahNya. Tetapi saat kondisi ekonomi menjadi penentu ideologi, terlebih kaitannya merujuk pada jaringan sistem agama tertentu, rasanya uang benar-benar memiliki hak suara lebih.

Jika dunia terlanjur menempatkan mayoritas umat Islam pada tangga bawah perekonomiannya, saya tidak akan repot berteriak menolak pernyataan tersebut, meskipun saya percaya paradoks besar menjadi latar belakang statistik ini. Banyak kaum muslim yang hidup jauh dari standar cukup mayoritas, sementara tidak sedikit pula kelompok dari umat ini menjadi saudagar di atas jalur bisnis yang diteladankan Rasul mereka. Faktanya, kondisi kesuksesan umat beda generasi ini membawa dampak berbeda pula pada tiap masanya. Pada zaman nabi dan khalifah penerusnya, sulit bagi para pemimpin untuk meneruskan infaq dari umatnya karena sistem dan kesadaran masyarakat yang tinggi telah mencukupi kebutuhan mereka. Kondisi ideal yang sangat sulit ditemukan saat ini.

Rasanya sangat tidak bijak dalam kemungkinan untuk membandingkan sistem dan pemerintahan dulu dan sekarang. Tetapi jika masyarakat Islam yang islami masih menjadi harapan ideal ideologi ini, penghancuran ‘kotak amal’ menjadi sangat urgen.

Saya tidak menyangsikan kebaikan hati mereka yang baik untuk menginfakkan harta mereka di jalanNya. Jumlah mereka tentu tidak sedikit dalam kawasan sebar yang juga bukan tidak luas. Mereka banyak dan ada di mana-mana. Lantas, ke mana kah aliran pemakmur umat itu mengalir selama ini? Bukan saya ingin berburuk sangka, tetapi sepertinya fenomena (peng)kotak(an) amal saat ini masih sangat terasa. Labelisasi pada tiap kotak kaca antargolongan itu menjadi semakin tebal dan membentangkan jarak yang nyata. Kau tentu cenderung membantu seseorang yang berada di jalan yang sama denganmu, kan? Lebih cenderung lagi saat orang itu memiliki tujuan yang sama denganmu, dan berjalan dalam barisan yang sama denganmu. Brotherhood kita telah menyempit, ukhuwah islamiyah menjadi khusus bagi mereka yang berdiri di atas aqidah yang sama.




Islam itu rahmatan lil alamin, bukan rahmatan lil umat.
Saya selalu ingin meneriakkan hal itu pada mereka yang memiliki kecenderungan peng-kotak-an amal. Bukankah Muhammad sebagai contoh utama telah nyata memberikan teladan kebaikan? Dia berbuat baik pada semua makhluk, sekalipun ludah dan kotoran hewan didaratkan di kepalanya. Tentu saja daftar kebaikan tersebut wajib terlaksana dalam koridor hubungan antarmakhluk. Bukankah membantu kesulitan ekonomi saudara seiman sangat dicontohkan uswatun hasanah itu? Bukankah kebaikan ini masih dalam koridor muamalah? Ini bukan pencampuran aqidah seperti yang selalu ditakutkan dalam bahasa penolakan mereka.

Saat degradasi ideologi semakin menggerogoti pilar kemegahan ‘keyakinan mayoritas’ umat Islam, akankah kita tetap bangga dengan perlombaan antargolongan? Menjadi berbeda dalam kotak keyakinan yang berbeda telah menjadi sunatullah ajaran ini. Tetapi bukankah tujuan semua kotak ini sama?

Saya lalu berandai-andai –hal yang menyedihkan dan harus tetap ada dalam perencanaan masa depan. Seandainya umat ini tidak terlalu memilih dan berpikir terlalu lama untuk mengulurkan tangan mereka, mungkin keyakinan keluarga itu tidak akan berpindah. Jika semua umat tidak terkurung dalam ekslusivitas kotak amal dan merelakan tiap kehadiran saudara yang membutuhkan untuk pergi membawa sebagian hak mereka, tanpa peduli golongan mereka, mungkin akan lebih banyak keluarga lain terselamatkan. Bukankah kemanusiaan sudah menjadi isu yang sangat universal? Keberadaannya bahkan menjadi komoditas terlaris dalam transaksi kebaikan global. Jika umat ini masih (cukup) bangga dengan banyaknya jiwa penganut pada statistik kartu identitas, rasanya tidak berlebihan untuk menghitung mundur kehancuran bangunan besar ini.

Membanding-bandingkan diri dengan orang lain bukanlah pilihan bijak untuk menjadi lebih baik, tetapi saat cara itu dinilai cukup baik di atas urgensi, sudah saatnya umat ini menjadi besar. Tidak hanya dalam skala kuantitas. Peningkatan kualitas kebaikan lintas umat menjadi mutlak untuk menyembuhkan mereka yang dinilai semakin terpuruk dalam degradasi keyakinan.

Jika Islam masih diyakini sebagai rahmatan lil alamin, akankah kita terus merawat amal dalam kotak kita demi kebanggan intern rahmatan lil umat?

No comments:

Post a Comment