November 19, 2012
Kambing Hitam dalam Kelompok
Ada yang mengatakan, saat hati begitu keras hingga air mata tak lagi dapat menetes, diindikasikan keimananmu sedang sakit. Ketika saat itu tiba, kunjungilah saudara seimanmu. Maka kau akan dapatkan energi positif penyembuh sakit itu. Kau akan kembali sanggup menangis.
Nasihat di atas berupaya melunakkan kerasnya hati dengan silaturahmi; karena pada setiap perjalanan ada pelajaran untuk diambil hikmah. Pada tiap sapa dan rangkulan ukhuwah terdapat kasih yang lantas berbenih. Menggetarkan hati hingga aliran lembut menetes menyadari lemahnya iman.
Kunjungan selalu penuh dengan obrolan. Cerita perjalanan dan pengalaman penuh hikmah. Mereka yang pemula belajar pada pilot dengan jam terbang tinggi. Mereka yang umat berguru pada umara. Lantas kisah-kisah teladan diuraikan sebagai pemantik rasa malu pada Pencipta. Untuk hanya berdiam diri. Untuk hanya mempertanyakan konsep. Untuk tidak sehebat mereka. Dan tujuan menangis pun tercapai dalam sujud-sujud doa setelah perpisahan.
Tetapi terkadang tidak selalu tangis keimanan yang tercipta paska-kunjungan. Bukan berarti tak ada tangis yang meluluhkan hati dengan bertemu dengan para ikhwah. Tetapi yang diharapkan tentu bukan tangis karena perbedaan dan jeda panjang yang senantiasa memisahkan hati. Pada setiap pertemuan, tiap insan mencoba melompati jeda itu. Namun selalu saja keduanya terjatuh dalam jurang di tengahnya. Dan untuk kesadaran pada lemahnya ikatan, perbedaan yang tertutup tampilan, dan keyakinan yang melindungi kegalauan; Pada tiap kunjungan, selalu tersedia air mata.
Menjadi kolektivis tidaklah mudah. Jika identitasmu bukanlah ideal mainstream, kau harus melebur. Kecuali kau sudah di tangga teratas. Karena bagi kolektivis, identitas individu adalah refleksi identitas kelompok.
Islam sangat sensitif dalam konsep kelompok. Menjadi Islam berarti menjadi bagian kelompok, sama seperti saat kau memutuskan menjadi bagian agama lain. Orang-orang kemudian merumuskan identitas Islam: memakai peci dan baju koko, berjenggot, memiliki tanda hitam di dahi, berjilbab, lemah lembut. Mereka di luar identitas itu bukanlah muslim ideal. Dalam kelompok, ia adalah kambing hitam di tengah putihnya domba.
Idealnya, kelompok ini tidak akan menjadikan kambing hitam sebagai pemimpin koloni. Penerimaan domba atasnya pun sebatas tanggung jawab moral menyelamatkan kambing yang tersesat dalam perjalanan merumput. Kebetulan tujuan mereka sama, dan tenaga kambing hitam dapat dimanfaatkan bagi kelompok itu. Maka jadilah kambing hitam bagian kelompok domba, karena tujuan dan perasaan sebagai sejenis bernasib yang sama.
Tetapi memilih untuk tetap menjadi kambing hitam di antara domba tentunya tidak mudah, bahkan dengan gencarnya kampanye posmodernisme yang menjunjung identitas minoritas: you are you; you are what mainstream has no talks about. Di atas tingginya semangat kolektivitas, kambing hitam harus membunuh kebutuhan aktualisasi dirinya di tengah kelompok. Terlebih dengan ancaman “terbunuh serigala dengan paling mudah” karena perbedaan mencoloknya dalam kelompok. Maka melebur menjadi domba pun dilaksanakan atas nama pertahanan diri.
Apakah Umar berusaha menjadi Abu Bakar setelah keputusannya memasuki koloni? Iya, dalam hal sedekah harta (yang pada kenyataannya dilarang Rasulullah). Tetapi tidak dalam hal identitas. Semangat kolektivitas pada zaman Nabi tidak serta merta mencetak generasi kloning Rasulullah. Itulah mengapa dalam kisah-kisah kita kemudian mengenal sebutan-sebutan identik para sahabat. Bahkan sejarah yang sering dinilai subyektif pun mengamini, bahwa mereka yang berbeda tetap tercatat. Bukan sebagai nama, tetapi identitas perbuatan. Mereka yang tetap berani menjadi kambing hitam dalam koloni pun masih mampu memberi kemanfaatan tanpa harus menjelma domba.
Namun menjadi kambing hitam di sepanjang perjalanan akan sangat melelahkan sekaligus menyesakkan. Menyadari perbedaan dan (terkadang) penerimaan yang tidak sama membuatnya membutuhkan ekstra oksigen untuk bernafas. Lantas kambing hitam memilih untuk menyendiri. Entah di depan, belakang, atau samping barisan. Setidaknya dengan sendiri ia akan punya waktu lebih untuk menjadi dirinya sendiri. Tentu saja para domba pun sering kesal demi menuruti perbedaannya. Sementara mereka berkoloni, kambing hitam tidak. Tentu rasa kesal yang mereka rasakan bersama berbeda dengannya yang sendirian.
Maka, saat kesendirian mulai menyakitkan hingga hati begitu keras untuk menangis, kambing hitam mendekat pada barisan. Mengadakan kunjungan. Mendengar cerita-cerita. Memuja keteladanan. Menyadari perbedaan. Untuk kembali menemukan, kesendirian tidak mengubahnya menjadi domba. Masih ada sakit saat bertatap. Resah saat mendekap. Prasangka saat tak dekat. Lalu parameter kelembutan hati pun tercipta: kambing hitam menangis saat kembali dalam penyendiriannya.
May 10, 2012
Memilih Rumah Sakit
Saya selalu percaya kunci semua hubungan terikat pada rasa bernama kepercayaan. Apapun itu. Hubungan orang tua-anak, suami-istri, atasan-bawahan, sahabat-sahabat. Termasuk hubungan hamba dengan Tuhannya. Bahkan kepercayaan (utamanya dalam romantisme) kemudian dipercayai sebagai salah satu simbol kasih sayang. Jika kau mencintaiku, maka percayalah padaku.
Tetapi, atas nama demokrasi, modernisasi, dan liberalisasi, kepercayaan seorang hamba pada Tuhannya ditampakkan tak bernilai: klise, klasik, kolot, dan simbol kemunduran suatu peradaban. Orang-orang beramai-ramai mempertanyakan kebenaran kitab suci. Memilah, menyeleksi, dan menetapkan kebenaran yang hanya menurut mereka itu benar. Selebihnya, salah. Fanatik. Ekstremis. Maka bukan tidak mungkin halaman kitab suci tidak akan setebal itu di rak buku mereka. Lantas usulan amandemen kitab suci oleh para pembuat undang-undang manusia pun digaungkan.
Di sisi lain, mereka (masih) meyakini kepercayaan. Dalam hubungan bisnis, keluarga, persahabatan, percintaan. Kata mereka, “Jangan terus bertanya kenapa aku pulang larut. Kau tahu kan, semua ini untuk keluarga kita? Kau percaya padaku, kan?” Lantas saat jawaban “Ya” diperoleh, penekanan lain diberikan sebagai bentuk superioritas. “Kalau kau mempercayaiku, tidak sepantasnya kau mempertanyakan apa yang kuperbuat.”
Dalam ikatan-ikatan duniawi tersebut, terkadang muncul keadaan seseorang sulit meletakkan kepercayaan pada pasangan/partner masing-masing. Mulai dipertanyakannya aktivitas dan kebijakan partner kemudian dinilai sebagai bentuk kecurigaan yang berarti pengkhianatan kepercayaan. Maka dalam ikatan-ikatan duniawi, kepercayaan berarti harmonisme keluarga, keberlangsungan keluarga, keberhasilan tander, dan kesuksesan percintaan.
“Anak Anda menderita sciatica dan harus segera dioperasi.” Jika saya adalah orang tua yang sedang berhadapan dengan dokter dengan kalimat tersebut untuk anak saya, deret pemikiran yang segera memenuhi otak saya adalah dana, kesehatan anak, dan kesembuhan. Ditambah beberapa permohonan dan pertanyaan –jika tak ingin disebut keluhan– pada Tuhan. Tidak ada waktu untuk mencari perpustakaan atau akses internet terdekat demi memahami sciatica sebelum memutuskan akan melakukan operasi. Saya pun tidak akan sempat berburuk sangka pada dokter tersebut, bagaimana karir kedokterannya selama ini, dan apakah vonis barusan bukan sekedar kepentingannya.
Saya mempercayai rumah sakit tersebut, maka saya memeriksakan anak saya di sana. Lebih jauh, saya akan mencoba mendapat akses pada dokter tertentu yang telah saya yakini kemampuan dan track record karirnya. Maka, saat dokter tersebut menyatakan vonis dan anjurannya, saya hanya perlu berpikir mendapatkan dana operasi tanpa bersibuk diri mempertanyakan kebenaran informasi. Karena bagi saya, keselamatan dan kehidupan anak saya jauh lebih penting dari semua rasa ingin tahu saya.
Lantas, apakah agama tidak sepenting nyawa seseorang?
Dalam sistem agama, kepercayaan memainkan peran Tuhan dengan hamba-Nya. Namun, kehidupan modern dengan sejumlah isme menjadikan konsep kepercayaan ini tidak sepenting kepercayaan pasien pada dokter.
Bukankah saat memilih agama, saya telah mempercayai ajarannya? Atau sebenarnya saya tidak pernah memilih agama ini. Lantas, kapan saya benar-benar bersyahadat untuk memilihnya? Saat saya memilih Allah sebagai Tuhan saya, bukankah saya telah memahami dan meyakini kuasa-Nya? Maka seperti apapun vonis dan anjuran yang Dia berikan akan saya patuhi. Bahkan ketika sesuatu yang difirmankan begitu abstrak dalam pengetahuan saya, bukankah seharusnya saya tidak perlu bersusah payah menenggelamkan diri dalam pertanyaan-pertanyaan?
Saya hanya harus menelan obat sesuai instruksi yang diberikan. Tidak perlu bertanya kenapa tablet ini tiga kali sedangkan kapsul ini satu kali, karena saya percaya pada tanda bahaya jika saya salah meminum obat.
Namun terkadang agama tidak sepenting kesehatan bagi saya. Tidak mematuhi nasihat Dokter Kehidupan yang telah saya pilih toh tidak akan membuat saya meninggal. Bagi saya kematian adalah saat nafas berhenti berhembus. Karena jika ada kematian jiwa, kini saya tentu sudah memiliki satu kuburan. Bagi saya bertanya sebanyak-banyaknya tidak akan membahayakan nyawa. Karena saya tidak diburu waktu operasi. Karena bahkan satu kitab medis dipertanyakanpun, para dokter bersedia menunggu saya. Padahal saya hanya tidak tahu kapan ruang operasi ditutup dan lampu dinyalakan.
Saya bukanlah korban kecelakaan yang tidak bisa memilih di mana dia akan dirawat. Saya hanya merasakan sesuatu tidak bekerja dengan baik di tubuh saya, ada sesuatu yang terus menyakiti raga saya. Maka saya berjalan, memilih rumah sakit dan dokter terbaik untuk memeriksa dan merawat saya. Apapun vonis dokter, saya terima, apapun nasihatnya, saya jalani. Tanpa banyak bertanya. Karena saya percaya dan telah memilihnya.
**gambarnya dari sini :)
March 23, 2012
My First Media ^^
ini artikel ke dua yang saya kirim ke media, dan menjadi yang pertama dimuat.
ini naskah asli yang belum diedit editornya Mimbar Mahasiswa Solopos, 20 Maret 2012 ~~
--
Yang Penting Bisa Tertawa
Tayangan komedi telah menjadi angin segar di antara berita politik, hukum, ekonomi, dan isu nasional lain yang bermuatan negatif. Kehadirannya hari ini tidak hanya sebagai alternatif hiburan dalam media massa, melainkan kebutuhan yang diperjuangkan. Hal ini memaklumkan antrian panjang di Stadion Sriwedari Surakarta pada Sabtu (17/3) lalu.
Berbagai lapisan masyarakat kota Solo ramai membicarakan rencana kehadiran mereka dalam Pargelaran Opera Van Java (OVJ), tayangan komedi wayang orang modern yang sedang menjadi pembicaraan publik. Dikatakan seseorang tidak up to date jika tidak mengenal gombalan “Bapak kamu” ala Andre atau hubungan ‘asmara’ Nunung-Azis. Pesonanya sebagai produk media sukses membentuk budaya baru dalam masyarakat kita, tidak terkecuali kaum akademisi berlabel mahasiswa. Tidak sedikit dari mereka yang terlibat euforia roadshow tersebut. Bahkan dalam tayangan sehari-hari, dapat disaksikan kampus-kampus dengan almamater berbeda secara bergantian mengisi kursi penonton di studio Trans7 itu. Namun, tanpa disadari candu program humor favorit versi Panasonic Gobel Award 2011 ini secara perlahan melunturkan budaya akademik masyarakat kampus.
OVJ dikenal sebagai tayangan komedi slapstick yang mengandalkan penderitaan orang lain untuk melahirkan tawa penonton. Tidak asing lagi bagi kita adegan Azis yang menjadi objek penderita favorit dipukuli dengan styrofoam atau dijejali tepung saat menguap. Pun dengan humor rasis Sule yang mengangkat bentuk fisik, warna kulit, dan dialek kedaerahan sebagai bahan eksplorasi. Ironisnya, penderitaan fisik dan psikis para objek penderita lah yang menjadi bahan bakar tawa penonton.
Budaya ‘Senang Orang Susah dan Susah Orang Senang (SOS)’ dalam tayangan pilihan mahasiswa itu berpengaruh dalam pergaulan kampus. Orientasi Kampus yang mengharamkan kekerasan fisik tentu tidak dapat menyediakan kesempatan penyiksaan styrofoam seperti pada OVJ. Tetapi pemberian hukuman ‘lucu-lucuan’ yang berangkat dari prinsip SOS masih dapat dijumpai hingga hari ini. Label mahasiswa ‘cupu’ atau ‘kaku’ pada mereka yang tidak membantah saat dihina menjadi bagian dari budaya kampus hari ini.
Fenomena tersebut sejalan dengan komedi yang dinilai sebagai salah satu alat propaganda. Di Inggris dan Amerika, (Medhurst, 2007, A National Joke: Popular Comedy and English Cultural Identities) komedi digunakan untuk mengampanyekan gaya hidup gay, lesbian, dan biseksual agar menjadi umum dan diterima masyarakat. Melihat keadaan masyarakat saat ini, budaya kekerasan yang ‘dikampanyekan’ melalui humor slapstick telah sukses menjadi bagian masyarakat, termasuk mahasiswa. Bahkan mereka yang tidak bersikap seperti kesepakatan mainstream (untuk ber-SOS) akan dinilai ‘salah’ dan tidak wajar.
Sebagai tayangan slapstick, OVJ menjadi favorit penduduk Indonesia karena humornya yang begitu memasyarakat. Tidak diperlukan otak cemerlang untuk bisa mencerna adegan terpelesetnya para pemain karena properti hancur yang berserakan. Penonton hanya tahu (dan beranggapan) “yang ini jatuh beneran dan pasti sakit sekali” sebelum memutuskan untuk tertawa lepas. Benar-benar menghayatinya seolah dengan menertawakan penderitaan ‘yang dibuat-buat’ itu segala beban hidup akan berkurang.
Budaya pragmatis mahasiswa, termasuk dalam memilih humor yang tidak memerlukan pemikiran ini, berimplikasi pada sunyinya kelas-kelas perkuliahan. Bagi mahasiswa pecinta komedi pragmatis seperti OVJ, tidak diperlukan pemikiran mendalam untuk mendapatkan nilai baik. Cukup hapalkan materi presentasi dan buku teks, dan jangan berharap terlalu tinggi untuk predikat A. Mendapat nilai pas-pasan dan memiliki banyak waktu untuk nongkrong menjadi lebih memasyarakat bagi mereka. Mahasiswa yang berusaha menghidupkan iklim akademik akan dianggap ‘pembantu baru’ karena banyak bertanya, sesuai predikat yang sering digunakan dalam humor OVJ. Pada akhirnya kuliah-kuliah dengan beban analisis lebih dan dosen-dosen kritis perfeksionis menjadi mimpi buruk di tengah hedonisme kemudaan mereka.
Kebiasaan untuk malas berpikir ini menjadi alasan lain sepinya forum-forum diskusi mahasiswa, nihilnya pemikiran kritis dan solutif kaum akademisi, dan pada akhirnya justru ramainya aksi anarkhi kaum ini. Aksi kekerasan, yang secara memasyarakat dikampanyekan para pemain OVJ dalam slapstick mereka, diperankan kembali dengan lebih baik oleh para mahasiswa dalam beberapa demonstrasi ‘panas’ yang pemberitaannya dapat dengan mudah kita akses di media lokal dan nasional.
Menjamurnya humor slapstick sedikit tercerahkan dengan format baru komedi yang dinilai lebih mengutakaman wawasan intelektual, Stand Up Comedy. Tayangan berbentuk narasi ‘lucu’ tunggal para comic (penyampai humor) tersebut secara frontal mengkritisi isu-isu politik, sosial, hukum, ras, bahkan agama, dalam balutan komedi satire. Akan tetapi, beberapa pihak menilai bentuk ‘humor kritis’ ini sebagai konsumsi ekslusif pihak tertentu. Persis dengan penilaian mereka tentang budaya akademik kampus. Menjadi aktif dalam forum diskusi, membaca jurnal, mengkritisi perkuliahan, melakukan riset, dan kegiatan ‘akademik’ lain sebagai sesuatu yang ekslusif bagi mahasiswa tertentu.
Pada akhirnya, dalam bentuk apapun, tayangan komedi tidak lepas dari industri hiburan. Adalah kebijakan mahasiswa sebagai agen perubahan (agent of change) untuk menentukan bentuk paling pas dalam mengubah kejenuhan rutinitas dengan hiburan yang mencerahkan. Jika para agen perubahan itu memilih bersetia dengan komedi slapstick, bukan akankah kampus berubah menjadi pentas besar OVJ, di mana ‘Dosennya bingung, mahasiswanya bingung. Yang penting bisa tertawa’?
--
btw kualitas foto yang saya kirim (bukan objeknya yaa) jelek, jadi ga pake foto deh di korannya. it's okay, kan ukhtiy :p
March 11, 2012
Bermain-main dengan Iman
“Kenapa Tuhan merasa perlu menciptakan manusia?”
Pesan singkat yang dikirim teman pagi itu sukses menggalaukan hari saya. Kalau dijawab ‘untuk menjadi khalifah di bumi’ dan seterusnya saya rasa tidak begitu sesuai karena akan melahirkan pertanyaan senada, “Kenapa Tuhan merasa perlu menjadikan manusia khalifah di bumi?”
Pertanyaan ini menjadi sulit karena selama ini manusia belajar mengenai hal abstrak seperti ini melalui pendekatan mereka; pola pikir manusia sebagai ciptaan. Bukan dari sudut pandang Tuhan sebagai pencipta. Saya lalu mencari jawaban dari beberapa teman sebagai bahan pengayaan pemahaman.
Karena Tuhan kesepian. Jawaban absurd pertama yang saya terima dan menjadikan saya melongo. Bukan karena saya tidak pernah berpikir serupa, melainkan karena jawaban-jawaban sebelumnya selalu bermuara pada kolam kerahasiaan ilmu langit.
Jawaban lain menyatakan Tuhan sebagai Mahaguru. Untuk menjadi guru, seseorang harus mempunyai murid. Jawaban ini sedikit ‘lebih’ religius karena dalam kitab-Nya saya menemukan ayat yang menceritakan bagaimana Dia mengajari manusia banyak hal.
Tuhan hidup karena disembah. Jawaban ini adalah bentuk tafsir bebas yang merujuk pada tujuan penciptaan jin dan manusia: untuk menyembah Tuhan. Saya tentu tidak berharap lebih banyak orang berpikir mmengenai konsep ini karena pada akhirnya mereka akan berhenti pada pertanyaan baru: kenapa Tuhan bermain-main dengan kehidupan? Kenapa pula Dia ciptakan skenario besar dengan dua opsi sebagai titik akhir permainan? Konsep surga dan neraka menjadi sangat menyebalkan pada titik ini.
Dalam tulisan seorang teman terlihat jelas bagaimana dia sangat memuja Tuhan dengan agama yang tidak memerlukan manusia untuk melindunginya dan seterusnya. Maka, dengan pemikiran seperi itu Tuhan nampaknya benar-benar tidak membutuhkan manusia. Manusia lah yang membutuhkannya. Lantas kenapa Tuhan menciptakan makhluk yang tidak Dia butuhkan?
Setelah menghabiskan pagi dengan beberapa diskusi, pada akhirnya saya kembali pada aturan main yang telah Dia tetapkan dalam kitab. Ada pertanyaan-pertanyaan yang tidak perlu dijawab (bahkan diajukan) karena akan merusak keimanan. Tentu jika pertanyaan-pertanyaan itu muncul sebelum Qur’an sepenuhnya diturunkan, Dia akan menjawab melalui firman-Nya.
Dahsyatnya kepercayaan umat terdahulu tampak pada keyakinan atas konsep penciptaan dalam Qur’an Surat Al Alaqah. Pada saat itu, ilmu kandungan belum diperkenalkan sementara Eropa masih berada dalam masa kegelapan mereka dan para ilmuwan Islam pun belum lahir. Namun keimanan para sahabat pada Rasul mengantar kita pada penemuan ilmu tersebut saat ini.
Derajat keimanan kita pada ayat tersebut (setelah adanya bukti ilmiah) tentu berbeda dengan para sahabat. Karena kepercayaan pertama yang sesungguhnya adalah saat seseorang mempercayai tanpa bisa menjelaskan alasan dan buktinya.
Kalau sahabatmu dituduh mencuri sementara kau tidak mengetahui buktinya dan kau mempercayainya begitu saja, itulah kepercayaan. Tetapi kalau kau baru mempercayainya saat semua bukti tidak mengarah padanya, kau ‘boleh’ sebut itu percaya.
Seorang teman berkata senada. “Kamu tahu orang tua kamu adalah orang tua kandungmu?” Iya, jawabku yakin. “Tidak, kamu hanya percaya sebelum benar-benar tes DNA”.
Rasul telah membaca hadirnya masa ini; zaman di mana iman (keyakinan) benar-benar mahal. Bahkan beliau menyatakan ‘kehebatan’ kaum yang masih mempercayai dan bersungguh-sungguh berjuang menegakkan kalimat-Nya di saat dirinya tak lagi hadir secara fisik di bumi. Saat tak ada lagi contoh hidup yang benar-benar dapat diteladani karena para ulama sibuk berlomba antar-firqoh.
Agama ini telah memberikan sarana kebebasan berpikir dan mengeja Tuhan. Sejarah mencatat bagaimana Ibrahim membutuhkan waktu untuk mencari dan belajar mencintai tuhannya. Terlebih manusia. Dia mengizinkan kita mengenal-Nya melalui ciptaan agar kita merenunginya. Karena sebagai ciptaan, akal manusia seyogyanya mampu memahami ciptaan. Bukan Pencipta.
Terkadang saya begitu tergoda untuk bermain-main dengan keimanan. Aturannya gampang: cukup percayai sebuah konsep, lalu mulailah pencarian kebenaran konsep itu secara logis, dan kembali percaya pada konsep awal dengan pendekatan yang bertambah. Kalau jawaban logis tak didapat, kembali pasrah pada kepercayaan awal. Dosakah? Allahu ‘alam. Tetapi saya sadar penuh bahaya yang menyapa di balik permainan ini.
Saya paham bagaimana Dia berkehendak membolak-balikkan hati seorang hamba. Tidak ada yang dapat menjamin seorang ahli agama pagi ini akan tetap menjadi ahli agama di malam hari, dan sebaliknya. Kadang manusia merasa terlalu maha untuk menjadi takabur. Pada saat itu, konsep kebenaran yang seharusnya diyakini begitu saja akan tampak kabur dan selalu mengendapkan tumpukan pertanyaan.
*btw saya juga bingung mau ngasih gambar apa soal beginian. next time hunting foto dulu lah #sok2an
Barter!
Seseorang tampak tenang ketika delapan flashdisk bermuatan 24 gigabytes diserahkan padanya. Namun perasaan ‘biasa saja’ itu berubah ketika didapatinya kedelapan flashdisk itu kosong. Artinya, tidak ada barter seperti perjanjian. Dia hanya akan memberi banyak film tanpa mendapatkan sesuatu selain kemungkinan pahala jika berhasil ikhlas.
Tentu saja konsep keikhlasan itu gagal diraihnya dengan kalimat-kalimat balas budi yang diajukan pada peminta film itu kemudian. Peminta bahkan tidak merasa bersalah saat kolektor film itu berulang kali menyebut ‘barter’ sebagai aturan main transaksi. Sebagai peminta, dia tidak merasa kolektor itu butuh film-film darinya. Toh, selama ini dia yang selalu meminta. Toh, sebagai pemilik –dengan derajat koleksi yang lebih– kolektor itu tentu memiliki semua yang diberikan pada peminta. Secara ekstrim, jika kolektor itu Maha dan peminta itu hamba, maka tidak sepantasnya Sang Maha meminta pada hamba, pikirnya. Peminta itu lupa, dalam bentuk kehidupan paling primitif pun konsep balas budi telah lama diterapkan.
Barter dikenal sebagai bentuk perniagaan pertama yang sederhana; pertukaran barang dengan barang. Untuk dapat melakukannya, pihak yang terlibat harus membutuhkan barang dari pihak lain sekaligus memiliki barang yang dibutuhkan pihak lain. Kondisi semacam ini dapat disebut simbiosis mutualisme, hal yang sering tidak disadari keberadaannya dalam kehidupan berislam.
Sebagai peminta, seorang hamba seringkali merasa tidak perlu berbarter dengan Tuhannya. Dia hanya menerima tanpa memberi. Konsep lain bahkan menyebut Tuhan yang membutuhkan sesuatu dari hambanya tidak pantas dituankan; maka carilah Tuhan yang baru. Kaum ini mungkin lupa bagaimana bersikap sebagai hamba yang baik. Sebagai manusia mereka bahkan terus menagih jawaban atas pertanyaan-pertanyaan menjebak yang mereka berikan. Mereka kemudian menyebut kaum di luar mereka tidak berilmu jika jawaban tidak memuaskan yang didapat. Jika menjadi hamba berarti menjadi peminta sejati, konsep hak-kewajiban sudah pasti mati pada titik ini.
Dia mencintai perniagaan sebagai bentuk ajaran mulia yang dikenal dunia sebagai balas budi. Dia tidak mengharap balasan dari mereka yang tidak berbudi, tetapi Dia memberikan kebaikan pada semua makhluk. Maka hanya mereka yang memiliki rasa malu pada konsep kemanusiaan yang berusaha mengeja kehidupan langit. Jika pada manusia tak pernah terbersit keinginan seseorang untuk membalas kebaikan, maka tak perlu berusaha meyakinkannya membalas kebaikan Tuhannya, karena selamanya perhitungan langit dan bumi tidak akan bertemu.
Kebaikan-kebaikan bumi, dalam titik kecil zarah pun akan mendapatkan balasan (tidak hanya penilaian) langit. Sebaliknya, keberadaan bumi seisinya masih tak menggerakkan penghuninya membalas kasih Pencipta. Saya tentu tidak sedang membicarakan mereka yang berpikir konsep penciptaan mereka tidak berkaitan dengan Pencipta yang mengatur, meskipun kaum ini sangat mengenal sistem barter dalam kehidupan dunia mereka. Saya ingin bercerita tentang mereka –dan mungkin saya– yang meyakini keberadaanNya, mengakuiNya sebagai Pencipta yang mengatur, begitu percaya diri mencintaiNya, tetapi berhenti pada hati. Tak ada bekas pada lisan, terlebih perbuatan.
Pada masa di mana keseriusan beragama dinilai berbahaya, orang-orang sebisa mungkin menyembunyikan identitas keislamannya. Tidak ada jilbab, yang penting pakaian rapi. Tidak ada kajian agama, yang penting berkegiatan sosial. Tidak ada hukum Islam, yang penting hukum islami. Tidak ingin dianggap kolot dengan penerapan kitab dan sunnah. Tidak melakukan sesuatu yang tertulis sebagai barter untuk Tuannya, tetapi terus mengais kasih lalu menutup mata pada jawaban doa dariNya.
Dalam peradaban manusia modern, seorang akan dihargai saat dia bersedia menghargai orang lain. Seseorang akan dinilai bermartabat saat dia mau memberi, tidak sekedar menampung pemberian. Konsep ini dikenal Islam dalam beberapa ayatnya perihal perniagaan yang berbuah tak hanya kehidupan surga melainkan kemuliaan hidup. Dalam 2:245, 4:86, 9:111, 47:7, 62:10-14, dan 99:7-8, misalnya, Dia mengajarkan bagaimana sebuah kebaikan selayaknya berbalas kebaikan. Bagi saya, berbakti kepada Pencipta bukanlah perihal ‘siapa yang Maha maka dia yang memberi’ melainkan usaha memanusiakan manusia.
Tanpa memberi, manusia tak lebih dari pengemis muda di ujung jalan yang berdiam menunggu seorang dermawan mendatanginya dengan kotak makanan atau segepok uang. Banyak orang memandang rendah kaum ini (peminta, muda, tanpa usaha) dengan tidak menyadari bentuk lain kaum ini yang terinternalisasi dalam diri masing-masing. Tanpa kebaikan untuk Pencipta, berdiam dalam keluhan, dan terus meminta. Tanpa barter.
btw gambarnya dari sini
kalau dilihat dari tumpukannya sih ga terlalu banyak gitu =3=
Berhenti Ikhlas!
“Nggak ikhlas,” kata seorang wanita pada pria yang mengaku berubah lebih baik agar dapat lebih dekat dengan wanita tersebut. Lelaki itu kemudian tidak melakukan satupun kebaikan karena takut semua yang diperbuatnya tidak berdasarkan keikhlasan.
Ikhlas menjelma dalam berbagai nasihat berbalut kata sabar dan rela dalam kalimat kehilangan dan penerimaan. Namun sejatinya makna ikhlas dan keberadaannya begitu abstrak hingga bahkan hati pun tidak dapat merasakannya. Konon jika seseorang merasakan – terlebih menyatakan – dirinya telah ikhlas maka sesungguhnya keikhlasan itu tidak menyertainya. Begitu tinggi dan sulit rasa ini terbentuk sehingga bahkan untuk menilainya pun kita tak akan mampu.
Ada yang menyarankan berlaku ikhlas dengan bercermin pada perasaan tidak terbebani saat kita (maaf) buang angin atau hajat. Tetapi bagi saya kedua hal tersebut tentu bukan perilaku ikhlas, karena perasaan tidak terbebani itu lahir sebagai wujud kelegaan karena dapat membuang sesuatu yang tidak ingin disimpan terlalu lama. Sedangkan saat seseorang diharuskan ikhlas dan dia rasakan kesulitan, biasanya dia tidak ingin melepaskan (mengikhlaskan) hal tersebut.
Lantas seperti apakah standar keikhlasan seseorang?
Ada yang meyakini segala sesuatu yang dilakukan tanpa maksud tertentu melainkan mencari keridhoan-Nya dapat disebut ikhlas. Namun apakah pencarian ridho tersebut benar-benar tidak termasuk sebuah tujuan? Manusia melakukan sesuatu, apapun itu, tentu didasari motif atau alasan khusus. Terlebih kadang kita memerlukan sikap realistis dengan menjadikan alasan tersebut sesuatu yang konkrit. Pada titik ini, sebuah perbuatan yang dinyatakan bermuatan ikhlas karena hanya mengharap penerimaan Tuhan menjadi ambigu. Bagaimana kemudian kita dapat mengetahui perbuatan kita berterima dengan kehendak Tuhan? Bahkan saat kita mulai mempertanyakan hal tersebut, muatan ikhlas dalam ‘pencarian ridho-Nya’ seketika terhapus.
Demi sesuatu bernama logika, manusia kemudian menyertakan pahala sebagai motif perbuatan seseorang dalam ‘pencarian ridho-Nya’. Meskipun poin kedua ini masih abstrak dalam wujud dan penghitungannya, opsi melakukan perbuatan yang berpahala sebagai bonus ‘keikhlasan’ cukup populer. Namun pertanyaan lain lahir, apakah sesuatu yang dilakukan untuk mendapatkan pahala dapat dinyatakan mengenal keikhlasan?
Ikhlas menjadi semakin ghaib seiring setiap motif yang menyertai suatu perbuatan dapat melukai esensinya. Maka apabila seluruh alasan manusia bertindak menjadikan perbuatan tersebut tidak bernilai (karena tidak ikhlas), tidak akan ada perbuatan karena mereka yang takut tidak ikhlas enggan melakukan sesuatu tanpa motif. Sementara setiap gerak memerlukan alasan.
Seseorang yang tuli melakukan kebaikan tanpa mendengar penilaian orang lain atas motif perbuatannya. Akibatnya dia tidak akan berhenti menjadi baik karena tidak teracuni pemikiran manusia yang mencoba menilai keikhlasan dalam perbuatannya. Dalam kasus ini, beberapa pihak bahkan menilai seorang tuli ini sebagai orang yang ikhlas, karena dia tetap melakukan sesuatu tanpa mengkhawatirkan penilaian manusia. Dia yang bahkan tidak peduli akan seperti apa penilaian Tuhan padanya menjadi leluasa berbuat baik.
Seperti anak kecil yang dengan senang hati membagi es krim pada kawannya, tanpa peduli penilaian para orang tua yang akan menyebutnya ‘anak baik’ atau Tuhan yang akan memberinya pahala kebaikan – karena bahkan dia belum paham kata sakral bernama agama.
Jika pada kasus teratas pemuda tersebut tetap melakukan proses menjadi baik karena mengetahui wanita yang disukainya berminat hanya pada pria baik, keadaan akan jauh lebih indah. Mereka yang memuja keikhlasan mungkin akan mencaci niat perubahan pemuda tersebut: mendekati kebaikan hanya karena cinta manusia. Tetapi bukankah kita sangat paham penilaian niat merupakan hak mutlak Tuhan? Dia bahkan sangat baik dengan memberikan kesempatan kedua.
Dinyatakan jika seseorang memasuki Islam karena harta maka ia dapatkan itu. Jika seseorang memasuki Islam karena jabatan akan ia dapatkan pula. Namun pada rentang terakhir tiap firman-Nya, Dia selalu baik dengan segala kalimat terbuka dalam kitabnya. Setiap perubahan motif dalam perbuatan akan mendapatkan perubahan penilaian langit kecuali sebelum detik terakhir nafas. Maka apabila seseorang yang menjadi baik karena lawan jenis dinilai tidak memiliki keikhlasan beriman sementara dia terus berusaha menjadi baik hingga pada akhirnya motif asmara itu berubah bahkan hilang, di sinilah kuasa langit berperan. Orang tersebut tidak kemudian menjadi selamanya berdosa karena ketidak-ikhlasan pada langkah awalnya.
Ikhlas bukanlah sebuah anugerah Tuhan pada orang-orang tertentu yang kepemilikannya bertahan hingga kematian. Dalam kehidupan, menjadi ikhlas adalah lingkaran proses pembelajaran tanpa titik pencapaian yang nyata. Menyadari abstrak ini begitu besar, maka rentang hidup seseorang akan menjadi terlalu sia untuk memikirkan keikhlasan di setiap lakunya. Akan lebih mudah bagi manusia dengan kapasitas rasa dan pikir minimal untuk terus bergerak. Dengan ataupun tanpa keikhlasan, perbuatan baik harus tetap mewarnai birunya bumi ini. Karena ikhlas tidak abadi dan penilaian mutlak berada pada Pemberi rasa tersebut, mari berhenti (mengeja) keikhlasan!
*btw saya bingung menggambarkan keikhlasan, jadi maaf kalau gambarnya sedikit gak nyambung. tapi kan pantai terkenal dengan 'pelepasan suntuk'nya, jadi ibaratnya kalau udah ikhlas tuh gak lagi suntuk. hehehe *maksaa
January 23, 2012
The Promise by Will Small
i actually am an english department student. my english isn't good, though. i however want to share something i've got from my lecture so my mom won't be upset for letting me study there - by thinking i got nothing.
this is my first assignment on introduction to prose analysis lecture, anyway. an analysis - with no special approach - on short story written by Will Small.
i know that this short story isn't that popular in this virtual world so that my lecturer feel easy to let his students surf in internet. we found nothing, of course. i even don't know who Will Small is, and there's no way to get Google help me. thus, i did i myself. and the result goes as my wish. here it is :)
A Brief Analysis on The Promise by Will Small
special characteristic/uniqueness of the short story
The Promise by Will Small is the short story I finally choose for this essay for its special characteristic compared to two other stories (Belinda Miller’s A Love Song and Jennifer Eadie’s Coward) in its value; in other word is the story itself. The strong value lay in the story becomes the main point of collecting the uniqueness of The Promise.
As to the interpretive story concept of Laurence Perrine in Story and Structure, The Promise leads the reader to a deeper thinking about life in the process of knowing ourselves. It is not merely a writing in purpose of amusing someone by its literary form but also an enlightenment for such problem provided as the main idea of the story. How the author explains his point of view of life through this story is successfully delivered by the fact that the reader (I myself) can sum up the idea of not taking literary works as merely way to lead us take superficial attitudes toward life. Instead, this story by its values makes the reader realize what life is actually like –as the matter of interpretive story which let the reader be the actor to reveal what something is actually be and should be.
Though the value feels strongly dominated this story, there is no way to neglect the existing of amusing form in The Promise. How the author lays the value through a good form so that the reader can accept it is actually one of the ways to decide whether the value is good or not. However, I still prefer take value as the uniqueness of this story compared to other. While two other stories both also use first person in their point of view and contain certain message for each idea, with the longest word of all, The Promise has more opportunity to put the ideology more clearly in readers mind –in case to raise their awareness to think it more.
Personally, the two other stories are not bad at all, but I found it is really something for the author to write such a (long) short story with no reason for readers to stop before finishing it. It may particularly because my interest for such theme upheld as its value, but there is no sentence thrown as a waste but explaining the whole idea of taking analogy of life as one black hole after another.
However, somehow taking value as the uniqueness of a story might raise a problem of judging every story as a special only because of the existing of value. When we are simply agreeing value as a theme since it usually appears as the main idea or the morality core (which later mostly decided to be the theme), it is obvious that not every story can be special or unique merely by having such a value. As to the concept written in Story and Structure that not all stories have theme, we can sum up that not every value can be the special characteristic of a story.
fictional unity and the coherence
From the first point above, it is obvious that I assume The Promise has a quite good fictional unity and coherence towards each internal element of the story. How the author constructs the good structure more or less can be illustrated as the diagram below:
All the fictional elements are well built enough since it is not an easy stuff to take one point as its major element in term of contribution. How the author use flashback plot to create such particular suspense for the reader is well mixed with the use of first person point of view to get the closer approach of the reader to be the actor for instance. Hence, a correct atmosphere can be felt in this correct characterization and plot usage.
Concerning more for its plot, I think The Promise can be claimed as the best among two other stories since its flashback takes good contribution of constructing a good-amusing form. I called the use of ‘time stating’ in this story as an excellent technique of the writer to drive the reader from the past to the recent time and vice versa. It may be a common technique but I don’t lose its literary sense and it even helps the plot to be quite clear when the author opens the story with 2:36 am stated as the time setting. The story then goes back to the previous months (stated clearly too) and ends to the recent time at 3:40 am.
A good plot, in my case, is the one which can help the author construct a good structure and lead the reader to the understanding. Thus, it doesn’t mean by merely creating such complicated and complex plot then a story can be judged as the greatest one with no understanding of the reader at all.
The use of first person point of view in this story not only gives an easier way to understand the story but also supports the flow of the story. As an interpretive literature which contains more emotional and mental conflict, it is better for the author to use this point of view to get the understanding of the reader. Since the purpose of creating interpretive literature is not only to entertain the reader, the understanding of the readers which later leads them to a deeper thinking and analysis is needed.
Since there is only few numbers of people as the character in The Promise, it is easier to analyze each of them more deeply. The way the author introduce the characters is quite obvious by their actions (both in mind or real act). A quite good setting also shown in every time, place and atmosphere described by the author; then it is even easier for the reader to get the feeling as the doer of the story.
Thus, how the author builds a good structure through the fictional unity and coherence is actually the only way to make the purpose of the story is well accepted.
visibility of form and value
I find The Promise as the story which has a good value more visible than its form since I feel the soul of the story lies within its value. However, once I say ‘the value is more visible than the form’, it will be totally different with ‘the form is more visible than the value’ because there is no vice versa for a good value bears a good form. Logically, we can accept the idea of a speech if the speaker delivers it in a good structure and communication. It is what makes the difference between escape and interpretive story. While escape story has its only object pleasure, the interpretive story has its object pleasure plus understanding.
The Promise tells about the internal problem of ordinary IT consultant named Tom who is boring with his very ordinary life. He finds himself stick in the black hole of life where once he gets in; there will be no chance to get out. Tom actually regrets himself as the owner of “I hate my job” mentality. He then plans to take a rest for having a trip with his mate Callum, whose rejection causes Tom not to get his trip. Tom becomes comfort to the condition in the black hole; that finding himself fails to get out, he stops trying.
As the philosophy learner, Callum gets the concept on how Tom fails in reaching his self-happiness. That true happiness is not merely from the money, as to Callum’s advice, it is better for Tom to quit his job since he hates it. Ignoring Callum’s advice, Tom is finally attracted by the coming of a girl in the story: Natasha. He even feels his life is now livelier that he has got out from one black hole. However, he falls into another hole when Callum die in an accident. The hole gets into a deeper and darker condition while Natasha meets him to say goodbye. Tom stick in his deep black hole: with no friend, job, and girl.
Natasha later calls him to offer a solution to wake Tom up from his dark age. Naked dipping in the sea at the midnight for a better feeling is the solution proposed by Natasha. She even makes Tom promise to do that. Once Tom finally takes his first step to move on fulfilling the promise, he gets his freedom for the first time.
There are at least five values in The Promise: relationship, sense of loss, real happiness, nature of job, and freedom as an individual. Those concepts are softly spread by the author in the narrations and dialogues. Telling philosophy concept of something usually comes up in the form of abstract explanation. But those concepts in The Promise are brought with some clear analogies which help the reader to get the point.
As I mentioned that not every complex and complicated story has a good value, I find that almost all of stories with good value will have good form. It first entertains us by the choice of words, theme, plot, character, and other form elements, and at the same time it gets the reader understanding of life –or at least, the willingness to think it more deeply. That is what I get from The Promise.
---
Sources:
1. Story and Structure by Laurence Perrine
2. A Handbook of Critical Approaches to Literature by Wilfred L. Guerin, et al
the picture is taken from this
January 20, 2012
Para Pemula
“Saya mau menjilbabi hati saya dulu.”
Jawaban senada dalam komposisi kalimat berbeda sering saya temui saat bertanya soal komitmen menutup aurat pada sesama muslimah. Tidak ada penolakan dalam benak saya saat itu. Saya justru mempertanyakan kepribadian yang melekat pada banyak muslimah yang menutup kepalanya atas nama tren. Daripada kayak gitu, demikian mereka yang enggan menutup aurat kemudian berkilah.
Mereka yang menunda kewajiban aas nama persiapan kemudian menjadi lebih keren di mata saya. Saya pun merasa sangat berdosa telah membandingkan mereka yang secara akhlak jauh lebih baik tetapi terlihat buruk hanya karena mereka menunda penetapan salah satu kewajibannya. Lantas saya menyadari lubang besar dalam prinsip baru penerimaan ini.
Hal yang ditunda tersebut adalah kewajiban, dengan derajat pahala dan dosa yang senada dengan kewajiban-kewajiban lain dalam sistem keagamaan. Dan sekali lagi, berbincang mengenai sistem keagamaan berarti berbicara mengenai konsep utuh layaknya sebuah sistem yang sehat.
Tidak ada pembedaan kewajiban dalam sistem yang saya kenal ini. Konsep wajib, sunnah, mubah, dan haram yang saya dapatkan sejak pertama kali belajar agama pun masih belum berubah hingga detik ini. Sesuau yang dinamakan wajib akan menemui pahala saat dipenuhi dan menimba dosa saat dihindari, bahkan ditunda – karena itu berarti tidak ada pelaksanaan. Termasuk dalam hal yang menurut beberapa orang bisa ditunda ini, meskipun nyata ayatnya tercetak dalam kitab yang masih mereka percayai sebagai pedoman hidup.
“Saya nggak mungkin mikirin perubahan kalau saya belum mencoba berubah,” kata seseorang sangat mengejutkan. Dia baru saja menetapi kewajibannya sebagai muslimah.
Secara logika, pendapat ini sangat masuk akal. Kain penutup itu seharusnya menjaga sikap seseorang yang menggunakannya – jika benar dia memaknai pemakaiannya. Penjagaan itu berupa pikiran-pikiran penolakan saat pengguna hendak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan aturan. Setipis apapun kain itu, sekecil apapun dia menutupi, setidaknya dia telah mencoba menutupi. Terlebih beberapa orang tergerak melakukan perubahan-perubahan besar setelah sebelumnya mengusahakan perubahan kecil. Maka saat hisab itu dimulai, dari mereka telah tercipta usaha bumi untuk penilaian langit.
Saya tentu tidak bermaksud mewarnai lukisan ‘mereka yang menunda’ dengan sepenuhnya warna-warna suram yang tidak menjual. Saya hanya ingin mengapresiasi mereka yang memulai. Para pioneer, sekecil apapun yang telah mereka usahakan, karena sejatinya mereka mencoba meniti jalan yang telah dicontohkan pemimpin mereka.
Ajaran wajib lain yang kini ke-wajib-annya mulai terbiaskan adalah perihal menyampaikan. Banyak yang beranggapan perbaikan diri sendiri menempati prioritas terdepan untuk dilaksanakan, tanpa perlu berpusing diri untuk perbaikan orang lain. Maka, konsep kebenaran dan kebaikan untuk diri sendiri kian populer dewasa ini. Jangan sok menasihati orang lain jika diri sendiri belum benar.
Jika Muhammad masih dipercaya sebagai pengemban risalah sekaligus contoh terbaik hingga saat ini, ada baiknya kitab sejarah putra Abdullah itu terbuka kembali pada halaman awal penerimaan wahyunya. Sebagai seorang yang buta aksara, akan banyak alasan untuk Muhammad tidak menyampaikan pesan Tuhan melalui Jibril tersebut. Dia tentu memilih untuk belajar membaca dan menulis terlebih dahulu hingga mahir untuk kemudian menyampaikan pesan besar yang dibebankan padanya. Tetapi kita semua tahu dia tidak memilih berhenti untuk belajar, melainkan belajar seraya menyampaikan pembelajaran.
Sampaikanlah, meskipun hanya satu ayat. Sepenting itu penyampaian kalimatNya hingga bahkan satu ayat pun memiliki hak untuk tersampaikan. Jika memang agama masih diyakini sebagai pedoman hidup yang ajarannya layak untuk disampaikan, maka sesulit apapun jalan ditempuh dan sehina apapun diri untuk menyampaikan, lakukanlah. Apa yang dibebankan pada lisan kita terlampau penting untuk sebuah penundaan. Bukan tidak mungkin agama ini berhenti pada usaha Jibril di Gua Hira jika Muhammad menunda – bahkan tidak melanjutkan – penyebaranya.
Tulisan ini dibuat bukan dalam rangka menolak ayat yang melarang penyampaian tanpa pelaksanaan. Karena penekanan kewaiban ini berada pada dua kata tersebut. Karena bahkan Muhammad menjadi teladan yang baik karena aplikasinya, bukan semata kata-katanya. Pun saya tidak berusaha munafik dengan menyegerakan siapapun memaksakan diri membumikan ayatNya meskipun separuh lebih isi bumi meragukan keimanannya.
Saya hanya ingin menghargai para pemula. Tentu mereka paham keberadaan Tuhan sebagai penjaga tunggal ajaran langit. Dalam kitab yang diyakini itu pun tertulis, dengan atau pun tanpa para pemula ini, Dia akan memenangkan ajaran langit. Namun, manusia menetapi hakikatnya untuk memperjuangkan apa yang mereka yakini dan cintai. Pada titik ini, perbedaan orang sukses dan gagal nyata terurai. Mereka yang sukses merencanakan dan bergerak meskipun satu langkah kecil. Mereka yang gagal sibuk merencanakan langkah-langkah besar tanpa pernah benar-benar melangkah.
Saat hati dan lisan meyakini ajaran ini tetapi langkah terhenti untuk berbagi, rasanya bukan sebuah dosa untuk bertanya pada hati: apakah saya benar-benar meyakininya?
koran dan kain
Suatu hari seorang teman memasang status di akun jejaring sosialnya: menulis adalah dakwahku. Beberapa komentar datang menyemangati niatan teman tersebut dalam rangka berdakwah melalui pena, sebelum satu kalimat muncul: dakwah tidak sekedar kata!
Woles. Jujur saya berulangkali menahan nafas demi menyelesaikan tulisan ini. Saya adalah golongan pengguna tinta sebagai senjata. Saat kawan saya dilempari komentar seperti itu sudah sewajarnya saya bereaksi sebagai sesama penggerak pena. Menurut komentator itu, berdakwah bukan sekedar kata atau tulisan, tapi tindak nyata atau perbuatan. Baik, anggaplah tulisan ini adalah counter proposal kami sebagai pejuang tinta.
Sampaikanlah, walau satu ayat. Rasanya tidak ada spesifikasi media khusus untuk digunakan dalam penyampaian ayat tersebut. Penyampai risalah saya begitu bijak dengan tidak mempermasalahkan jalan apa dan melalui apa kau sampai pada tujuan yang diajarkannya. Dia tidak banyak berkotbah melainkan bekerja sebagai teladan. Keterbukaan beliau pula yang memungkinkan lahirnya para ilmuwan dan sastrawan Islam masa itu. Jika kita digariskan meniti jalan sejarah yang sama dengannya, alangkah indahnya jika pengetahuan kita akan perintah ‘membaca dan menulis’ sebagai dasar pendidikan dalam Islam kembali kita ingat.
Bukankah sebuah pisau yang berlumuran darah tidak dapat serta merta dinyatakan berdosa? Alasan sampai darah itu membasahi pisau lah yang seharusnya kita pelajari. Bukan ketajaman pisau itu.
Bukankah dikatakan banyak jalan menuju Roma? Kita bahkan mengenal beberapa tempat pemberangkatan menuju Baitullah dalam ibadah haji. Bukankah perbedaan adalah sunatullah? Kita diberi banyak pilihan jalan bukan untuk saling berperang dan tercerai berai melainkan untuk mempelajari makna persaudaran. Sepertinya pengertian ukhuwah islamiyah kita benar-benar telah menyempit pada batas pintu organisasi. Semua di luar rumahmu adalah salah adanya. Kau lah yang terbenar. Lantas di mana letak kebenaran langit saat semua penduduk bumi saling meneriakkan kebenaran masing-masing?
Perbedaan cara memperkaya solusi, bukan mengoleksi masalah. Jika Umar ra adalah sosok petarung sejati sementara Abu Bakar ra adalah penasihat sejati dan Ali ra adalah ilmuwan sejati, haruskah perbedaan minat itu terpukul rata atas nama persatuan Islam? Dengan perspektif berbeda dalam payung tujuan yang sama, Rasul tentu bahagia memiliki banyak warna dalam kepemimpinannya. Bukan persamaan yang menguatkan persatuan. Perbedaan yang memahami dan meyakini lah yang menjaga persatuan. Bukankah telah nyata Dia ciptakan pelangi sebagai ayatNya?
Kita seringkali terjebak dalam fanatisme berbahaya yang melahirkan anggapan kebenaran mutlak berada di tangan mereka para ikhwah. Saat Muhammad dikenal sebagai pebisnis handal dan para ikhwah meniti jalan keberhasilan yang sama, parameter kesuksesan syar’I pun beralih menjadi mereka yang pandai berbisnis ala Rasul. Jika saat itu Muhammad bukanlah seorang ummi melainkan penulis nasihat bijak terbaik sepanjang masa, akankah parameter kesuksesan syar’I beralih?
Perang ego antarrumah seperti ini tidak akan memenangkan rumah-rumah dengan pemahaman tertinggi maupun penghuni terbanyak. Para penonton yang tidak menghuni rumah manapun yang akan berkuasa sebagai pemenang. Mendirikan apartemen-apartemen mewah di atas reruntuhan rumah, iman, ideologi, dan ukhuwah. Para outsider lah yang akan menang di atas perang keluarga ini.
Jika tujuan perjalanan keluarga ini adalah rumah orang tua kita, lantas kenapa sesama saudara tak henti kita bertikai? Fokus kita telah berubah, orientasi kita telah dibiaskan. Segenap prasangka dan senjata mengarah pada saudara-saudara kita. Hanya karena mereka tidak lahir dan hidup di bawah atap yang sama dengan kita. Sesubur apapun halaman mereka, tanah gersang kita lah yang terbaik. Sekuat apapun bangunan mereka, tembok keropos kita tetap yang terhebat. Pada akhirnya, sekali lagi, para kontraktor apartemen itu lah yang akan tertawa senang paska-hujan deras merobohkan perumahan keluarga kita.
Ada yang menggunakan koran basah untuk membersihkan jendela. Ada yang menggunakan kain basah untuk membersihkannya. Koran dan kain, manakah yang terbaik saat kita dapati kedua jendela sama-sama bersih?
Ada yang menggunakan lisan untuk menyampaikan. Ada yang menggunakan tulisan untuk menyampaikan. Saat kedua pesan sama-sama tersampaikan, manakah yang lebih baik?
Rumah orang tua kita semakin dekat sementara perang saudara masih terasa dingin. Kita tidak akan sampai kecuali pembunuhan saudara terjadi. Satu keluarga sebagai pemenang dan para kontraktor tersenyum bangga. Atau kita mencoba terbuka pada persaudaraan besar ini dan menjadi orang tua yang lebih demokratis untuk membiarkan koran dan kain bekerja beriringan.
Buku yang Berbeda
“Kenapa harus lalat?” tanya seorang mahasiswa pada suatu siang dalam sebuah diskusi di kelas sastra. Saat itu kelas sedang mendiskusikan bagaimana plot berkontribusi dalam penentuan kualitas sebuah karya sastra. Pertanyaan-pertanyaan lain kemudian menyusul: kenapa tidak lebah? Bukankah lebah lebih bermanfaat bagi manusia?
Dalam hitungan menit, kualitas diskusi di kelas tersebut meluncur tajam, dan dapat dipastikan tidak adanya titik temu sebagai acuan diskusi. Mahasiswa tersebut lalu ditugaskan menulis paper tentang analisis lalat dan lebah dalam kepantasannya sebagai karakter yang dimunculkan dalam cerpen The Fly karya Katherine Mansfield. Tentu saja penugasan tersebut lebih bermaksud untuk mengakhiri perdebatan beda pendekatan itu.
Konsep obrolan tidak menyenangkan di atas semakin terasa mewarnai kehidupan saat ini. Kehadirannya serupa bunglon yang menyatu dengan warna yang ditempatinya. Begitu lembut hingga eksistensi dan serangannya tidak terdeteksi. Berbagai ragam komunikasi jenis ini perlahan mengikis nilai persatuan (unity) dan toleransi atas nama kebebasan dan demokrasi. Hal ini akan mencapai titik bahaya puncak saat hasil komunikasi justru menjauhkan simbol dari esensi, mengaburkan pemahaman, mengacaukan konsep dasar, bahkan memecah belah umat dalam batas yang kadang tak terjamah. Ironisnya, bentuk komunikasi berupa perdebatan beda pendekatan ini tidak jarang terjadi dalam ranah wacana religiusitas.
Beberapa waktu lalu sempat populer tayangan debat tanpa payung bahasan yang jelas dengan perbedaan pendekatan yang digunakan. Jadilah acara tersebut kacau oleh teriakan dalam nada bermuatan emosoi dari para narasumber yang notabene para public figure, bahkan tokoh keagamaan itu. Tak sedikit penonton yang juga merupakan pendukung masing-masing kelompok kemudian terseret arus kemarahan yang hanya akan teredam setelah pembawa acara membunyikan lonceng saktinya.
Kemampuan berkomunikasi dalam nada tinggi dan gestur penyalur emosi juga terlihat cukup jelas pada rapat-rapat pemakan anggaran akbar yang diadakan di gedung hijau Senayan. Seringkali perdebatan yang berakhir dengan aksi gebrak dan banting tersebut disebabkan perbedaan pendekatan maupun dusut pandang yang digunakan bersamaan dalam menyelesaikan suatu masalah.
Saat para ulama dengan berbagai pendekatan berdebat tentang penetapan Idul Fitri pada waktu bersamaan untuk kemudian menyatukan begitu saja bagaimana Idul Adha ditetapkan, adalah masyarakat awam sebagai korbannya. Perdebatan-perdebatan tak berujung mengenai tokoh-tokoh keagamaan paling berpengaruh dan terpercaya hingga pertanyaan saling menjatuhkan mengenai kebenaran dan kesesatan suatu ajaran justru semakin menambah nominal spasi antargolongan di dalam kelompok besar ini.
“Hindarilah perdebatan sekalipun engkau tahu kebenaran menyertaimu,” sabda Rasulullah. Dengan pemahaman pada konsep awal perdebatan seperti ini, kondisi ideal yang kemudian diharapkan hadir adalah kedamaian tanpa perdebatan. Damai bukan berarti tanpa berpikir, tanpa menganalisa. Karena pengikut tanpa ilmu tidak pernah dikisahkan dalam daftar cerita teladan. Kondisi di mana adanya pemikiran dan pertanyaan yang kemudian membawa kita pada pemahaman beralasan lah yang kemudian menjadikan otak dan hati kita sehat. Pemikiran untuk jiwa.
Namun bentuk kesehatan otak tersebut yang pada kondisi ideal tidak tertuang dalam gestur dan kalimat penuh emosi dengan visi dan misi penghancuran. Berdebat, terlebih dengan pendekatan yang samasekali tidak sama. Saat memecahkan masalah, akan lebih baik jika masing-masing kepala yang berada di ruang tersebut memiliki tiap pemikiran dan sudut pandang berbeda sebagai perwakilan pribadi mereka. Demi menghasilkan rumusan terbaik pemecahan masalah, sistem seperti ini tentu menjadi alternatif paling ideal sekaligus sulit untuk diterapkan: memiliki beberapa gagasan cemerlang sekaligus untuk penyelesaian satu masalah. Tetapi keberadaan gagasan-gagasan tersebut menjadi salah dalam waktu kelahirannya di dalam forum.
Saat kelompok mendiskusikan pengaruh buruk tayangan televisi bagi tumbuh kembang anak, sangat tidak tepat jika anggota forum mengusulkan pelarangan internet bagi anak dengan setumpuk analisis lanjutan. Kedua hal tersebut berada pada payung argumen yang sama, yakni pengaruh negatif teknologi terhadap tumbuh kembang anak. Namun penjelasan keburukan internet di saat pembahasan pengaruh tayangan televisi lah yang menjadikan perdebatan dalam perbedaan pendekatan terjadi.
Perkembangan perdebatan seperti ini yang kemudian menjadi tersangka bayangan atas perpecahan umat yang belakangan ini semakin dimaklumi di atas sunatullah. Namun, jika Allah telah menetapkan kematian seseorang sebagai rahasia yang pasti, akankah manusia tak merugi akan membiarkan hidupnya berakhir di meja judi dengan bersahabat dengan alkohol?
Mengijinkan diri membuat perubahan dengan meminimalisasi keadaan buruk bukan merupakan suatu aib. Saat ketetapan untuk membagi umat besar ini menjadi kelompok-kelompok kecil pengusung masing-masing kebenaran yang dinilaikan dalam ajaran mereka, berusaha mengurangi percikan-percikan yang akan semakin membakar jarak antargolongan masih menjadi tindakan mulia untuk dilakukan.
Jangan berdebat mengenai Saman dengan seseorang yang membaca Ayat-Ayat Cinta. Ini bukan mengenai usaha mendiskreditkan golongan tertentu, melainkan pencarian titik tolak dalam perjalanan diskusi. Saat forum berusaha mendiskusikan value (nilai moral) mana yang terbaik antara novel komunis dan atheis, relativitas menjadi mutlak di atas segalanya. Terlebih saat tiba-tiba seseorang memasukkan analisis penokohan dan setting sebagai bahan kajian pembanding pada waktu bersamaan. Memikirkan banyak hal secara bersamaan memang baik, tetapi menuangkannya dengan bersamaan bukanlah tindakan bijak.
nomaden
“Kenapa Anda Islam?”
Saat saya berusaha menutup celah pemikiran dengan berkata bahwa keislaman saya semata-mata karena takdir dan keturunan, saya tahu ada lubang besar di hati saya. Islam kemudian hanyalah menjadi sebuah kebenaran yang kebetulan bagi saya, bukan sesuatu yang dengan sadar saya peroleh dan perjuangkan. Bahkan jika kemudian pengetahuan keagamaan saya dibandingkan dengan para mualaf Amerika, bukan tidak mungkin angka yang lebih kecil menjadi milik saya dalam skala perbandingan kami.
Ada perasaan lega mendapati fakta bahwa saya terlahir dari keluarga penganut ajaran ini. Bukan karena mayoritas selalu ‘berkuasa’, tetapi setidaknya saya tidak perlu berpusing ria untuk mencari. Cukup mendalaminya jika berminat, pikir saya. Tetapi kemudian ada banyak alasan untuk tidak melakukan pendalaman itu, karena pada awalnya saya tidak pernah benar-benar meyakini kebenaran ajaran ini sebagai sesuatu yang mutlak.
Meyakini sesuatu yang tidak disampaikan secara langsung oleh perintis keyakinan tentu tidak mudah bagi saya. Seperti halnya meyakini sejarah di mana kita tidak terlibat di dalamnya, sementara kita tahu terkadang kepentingan golongan memegang peran dalam penyusunan cerita. Jika saya hidup di zaman nabi tentu akan berbeda keadaannya. Saya yang melihat aplikasi ajaran mulia pada sosoknya tentu tidak akan ragu akan keberadaan manusia pilihan. Tetapi bukan tidak mungkin saya justru takut untuk mengenal ajarannya, mengingat konsekuensi berat yang akan langsung mengakhiri kehidupan saya jika identitas muslim saya terungkap saat itu.
Tetapi pada kenyataannya, kita mempercayai ajaran, bukan penyampai ajaran. Saat seorang pemabuk mengatakan minuman keras dilarang dalam agama, terlepas dari keberadaannya sebagai pengingkaran, kita percaya bahwa segala sesuatu yang memabukkan dan mengantar kita pada maksiat adalah haram. Jika saya memilih ajaran ini karena terlahir dari orang tua dengan pemahaman religius tinggi, saat kemudian Dia membalikkan hati mereka, akan sangat mudah bagi saya untuk mengikuti jejak mereka. “Mereka yang keren saja seperti itu.” Maka, keberadaan siapapun sebagai penyampai kebenaran tidak menjadi fokus utama saya. Kalaupun di kemudian hari ada pemikiran gila bahwa nabi SAW tidak pernah ada, saya tetap meyakini kekuatan superior sebagai Pencipta saya dan nabi SAW pernah, masih, dan selalu ada. Sayangnya, selama ini saya terlalu nyaman dalam limpahan kebaikan ajaran ini, tanpa pernah mempertanyakan kenapa Dia menempatkan saya di koridor keyakinan ini. Apalagi untuk memikirkan ajaran lain.
Lingkungan yang kemudian memperluas pandangan saya. Bahwa ternyata memilih keyakinan menjadi opsi yang sangat terbuka dariNya, bahkan untuk tidak memillih. Rasanya sangat tidak pantas memandang rendah ajaran lain sementara saya tidak dapat menjelaskan alasan saya berdiri di jalur ini. Mereka yang kemudian memilih untuk tidak terikat mungkin masih menjadi nomaden dalam perjalanan batin mereka. Itu lebih baik, bagi saya, daripada tidak pernah memilih atau memikirkan pilihanNya.
Bagaimana jika saya tidak terlahir dari keluarga Islam? Akankah saya percaya pada jalan ini sebagai suatu kebenaran dan berminat mempelajarinya?
Saya bersyukur atas fitrah kebaikan ini. Tetapi sebagai nomaden keyakinan yang hanya berpindah dalam hati, saya akan merasa bersalah untuk begitu saja meyakini fitrah ini tanpa pernah mengetahui sebabnya. Perihal eksistensi Tuhan, saya menempatkan kenyataan kebutuhan atas kekuatan superior Pencipta sebagai dasar keyakinan. Kalau pun dalam perkembangannya banyak pihak yang menyebut kekuatan superior itu sebagai tuhan atau dewa dalam berbagai penamaan, fakta bahwa eksistensi kekuatan superior itu ada adalah yang terpenting.
Dapatkah kau melihat Tuhan? Tidak. Lantas, bagaimana kau yakin Dia benar-benar ada?
Saya percaya bahwa sesuatu tidak harus terlihat untuk menjadi ada. Sesuatu dianggap ada karena eksistensi ketiadaan. Maka, sesungguhnya ketiadaan itu telah ada bersamaan dengan konsep keberadaan. Saya tidak dapat melihat kesedihan sekalipun saya dapat menyaksikan air mata. Tetapi kita semua tahu bahwa air mata adalah partikel kesedihan, bukan kesedihan itu sendiri. Tetapi saya meyakini keberadaan kesedihan sebagai rasa yang menggerakkan. Jika saya harus menunggu Tuhan turun dari langit demi menampakkan sosokNya pada manusia peragu, rasanya saya sudah menyia-nyiakan otak dan hakikat manusia sebagai pemikir.
Jika keberadaan semesta diyakini sebagai sesuatu yang tercipta begitu saja, lantas anggapan mereka yang meyakini bahwa kesuksesan dicapai berdasar usaha dan bukan rencana Tuhan, menjadi tidak valid pada saat yang sama. Jika kehidupan manusia diyakini sebagai sesuatu yang dapat mereka atur sendiri, tentu kesepakatan sistem pengatur kehidupan telah kita dapatkan. Sesuatu terjadi bukan karena kebetulan atau terjadi begitu saja. Ada perencana dan pencipta di balik semua sistem kehidupan, terlebih semesta yang sangat rumit.
Para nomaden keyakinan itu, pada dasarnya memiliki kesepakatan akan adanya kekuatan superior di atas mereka. Tempat mereka meminta, sekalipun dalam pemikiran tak tersampaikan dan dalam ketidaksadaran yang terabaikan. Entah mengapa saya belum mengerti alasan mereka yang tidak mengakui kekuatan itu. Jika dulu saya sempat meragukan keberadaanNya, ada saat-saat yang kemudian mengharuskan saya secara naluriah untuk memohon. Bukan pada manusia. Tetapi pada sesuatu di luar sistem tubuh saya, yang saya yakini lebih kuat dari saya. Kalaupun sebagai nomaden saya berpindah dari sistem satu ke sistem yang lain, itu adalah proses panjang pencarian saya menuju cahayaNya. Masalahnya, para nomaden masih sering ditolak dalam dunia ‘kebenaran’.
“Kau cukup ceritakan ajaranmu padaku. Ajaranmu saja, tanpa membandingkannya dengan ajaran lain. Apalagi merendahkan. Biarkan Dia yang menuntunku untuk memilih. Dan terima kasih atas ilmunya, apapun yang akan menjadi pilihanku kemudian.”
Indah sekali jika keterbukaan seperti itu hadir dalam atmosfir kehidupan.
Bukankah tak perlu ada rahasia untuk kebaikan? Jika kita meyakini sesuatu sebagai kebenaran Tuhan, tentu tak perlu ragu mewarnai ajarannya dengan ketakutan kita. Selalu ada cara langit untuk melindungi pemikiran langit. Dia melindungi kita, bukan meminta kita untuk melindungiNya. Saat kemuliaan cahaya menjadi otoritas penuhnya, tugas kita hanyalah menceritakan peta. Bukan menentukan arah perpindahan.
Kotak Amal
“Tetanggaku murtad sekeluarga.”
Saya cukup shock mendengar penuturan itu di awal bulan unggulan umat Islam ini, meskipun alasan perpindahan itu sudah mulai terpetakan dalam benak saya : masalah ekonomi.
Memang miris, tapi begitulah kenyataannya. Banyak saudara kita yang ‘terpaksa’ menggadaikan keyakinan mereka demi kehidupan yang lebih layak di mata masyarakat. Mengunggulkan penilaian bumi di atas mulianya stigma manusia langit.
“Jadi orang jangan idealis. Realistis lah, Bung!” banyak kawan saya berkomentar santai menghadapi fenomena degradasi idealisme seperti ini. Pembenaran atas perpindahan keyakinan dengan latar belakang keterpaksaan menjadi pilihan yang cukup populer belakangan ini. Tentu saja, saya tidak akan terlalu banyak ‘berkomentar’ jika perpindahan tersebut dikarenakan perenungan panjang mereka tentang Tuhan –apapun hasilnya, saya percaya Dia memegang kendali penuh atas cahaya hidayahNya. Tetapi saat kondisi ekonomi menjadi penentu ideologi, terlebih kaitannya merujuk pada jaringan sistem agama tertentu, rasanya uang benar-benar memiliki hak suara lebih.
Jika dunia terlanjur menempatkan mayoritas umat Islam pada tangga bawah perekonomiannya, saya tidak akan repot berteriak menolak pernyataan tersebut, meskipun saya percaya paradoks besar menjadi latar belakang statistik ini. Banyak kaum muslim yang hidup jauh dari standar cukup mayoritas, sementara tidak sedikit pula kelompok dari umat ini menjadi saudagar di atas jalur bisnis yang diteladankan Rasul mereka. Faktanya, kondisi kesuksesan umat beda generasi ini membawa dampak berbeda pula pada tiap masanya. Pada zaman nabi dan khalifah penerusnya, sulit bagi para pemimpin untuk meneruskan infaq dari umatnya karena sistem dan kesadaran masyarakat yang tinggi telah mencukupi kebutuhan mereka. Kondisi ideal yang sangat sulit ditemukan saat ini.
Rasanya sangat tidak bijak dalam kemungkinan untuk membandingkan sistem dan pemerintahan dulu dan sekarang. Tetapi jika masyarakat Islam yang islami masih menjadi harapan ideal ideologi ini, penghancuran ‘kotak amal’ menjadi sangat urgen.
Saya tidak menyangsikan kebaikan hati mereka yang baik untuk menginfakkan harta mereka di jalanNya. Jumlah mereka tentu tidak sedikit dalam kawasan sebar yang juga bukan tidak luas. Mereka banyak dan ada di mana-mana. Lantas, ke mana kah aliran pemakmur umat itu mengalir selama ini? Bukan saya ingin berburuk sangka, tetapi sepertinya fenomena (peng)kotak(an) amal saat ini masih sangat terasa. Labelisasi pada tiap kotak kaca antargolongan itu menjadi semakin tebal dan membentangkan jarak yang nyata. Kau tentu cenderung membantu seseorang yang berada di jalan yang sama denganmu, kan? Lebih cenderung lagi saat orang itu memiliki tujuan yang sama denganmu, dan berjalan dalam barisan yang sama denganmu. Brotherhood kita telah menyempit, ukhuwah islamiyah menjadi khusus bagi mereka yang berdiri di atas aqidah yang sama.
Islam itu rahmatan lil alamin, bukan rahmatan lil umat.
Saya selalu ingin meneriakkan hal itu pada mereka yang memiliki kecenderungan peng-kotak-an amal. Bukankah Muhammad sebagai contoh utama telah nyata memberikan teladan kebaikan? Dia berbuat baik pada semua makhluk, sekalipun ludah dan kotoran hewan didaratkan di kepalanya. Tentu saja daftar kebaikan tersebut wajib terlaksana dalam koridor hubungan antarmakhluk. Bukankah membantu kesulitan ekonomi saudara seiman sangat dicontohkan uswatun hasanah itu? Bukankah kebaikan ini masih dalam koridor muamalah? Ini bukan pencampuran aqidah seperti yang selalu ditakutkan dalam bahasa penolakan mereka.
Saat degradasi ideologi semakin menggerogoti pilar kemegahan ‘keyakinan mayoritas’ umat Islam, akankah kita tetap bangga dengan perlombaan antargolongan? Menjadi berbeda dalam kotak keyakinan yang berbeda telah menjadi sunatullah ajaran ini. Tetapi bukankah tujuan semua kotak ini sama?
Saya lalu berandai-andai –hal yang menyedihkan dan harus tetap ada dalam perencanaan masa depan. Seandainya umat ini tidak terlalu memilih dan berpikir terlalu lama untuk mengulurkan tangan mereka, mungkin keyakinan keluarga itu tidak akan berpindah. Jika semua umat tidak terkurung dalam ekslusivitas kotak amal dan merelakan tiap kehadiran saudara yang membutuhkan untuk pergi membawa sebagian hak mereka, tanpa peduli golongan mereka, mungkin akan lebih banyak keluarga lain terselamatkan. Bukankah kemanusiaan sudah menjadi isu yang sangat universal? Keberadaannya bahkan menjadi komoditas terlaris dalam transaksi kebaikan global. Jika umat ini masih (cukup) bangga dengan banyaknya jiwa penganut pada statistik kartu identitas, rasanya tidak berlebihan untuk menghitung mundur kehancuran bangunan besar ini.
Membanding-bandingkan diri dengan orang lain bukanlah pilihan bijak untuk menjadi lebih baik, tetapi saat cara itu dinilai cukup baik di atas urgensi, sudah saatnya umat ini menjadi besar. Tidak hanya dalam skala kuantitas. Peningkatan kualitas kebaikan lintas umat menjadi mutlak untuk menyembuhkan mereka yang dinilai semakin terpuruk dalam degradasi keyakinan.
Jika Islam masih diyakini sebagai rahmatan lil alamin, akankah kita terus merawat amal dalam kotak kita demi kebanggan intern rahmatan lil umat?
Hi, Dad
So cold here
How’s there?
-Dear Father, Sum41-
(remember the one burnt in the earth)
Ada saatnya ketika saya benar-benar ingin sendiri. Lebih dari sekedar keinginan untuk menyendiri mencari inspirasi atau melarikan diri dari hiruk pikuk duniawi.
Saya butuh kesendirian itu, untuk sebuah masa bernama penantian.
Kelak, suatu saat nanti saya akan benar-benar sendiri dalam kesendirian. Setelah dipendam, dibakar, atau bahkan tanpa semua upacara itu (semoga tidak).
Saya baru saja menyelesaikan sahur sebelum menyadari suhu pagi ini rendah sekali. Tidak ada angin, tapi hawa kedinginanan menyesapi tiap pori dengan sempurna. Bisa-bisa saya diare jika tetap terjaga.
Dua lembar selimut telah membungkus tubuh saya. Masih dingin. Bibir saya hampir menggerutu sebelum bayangan itu memenuhi otak saya. Gundukan tanah di atas bukit yang beberapa hari lalu saya kunjungi dalam senyap membatin permohonan.
Makam ayah.
Mungkin terlalu menyedihkan untuk (baru) menyadari makna kematian di usia setua ini. Rasanya teori keagamaan yang sering saya dengar di beberapa kajian baru meresapi hati dan otak saat saya merasakan sendiri keadaan itu.
Payah memang, tapi faktanya saya baru benar-benar akan memahami alasan Dia memerintahkan “Sabar” dalam tiap firmanNya saat saya mendapat sebuah kondisi untuk bersabar.
Rencana Tuhan pasti indah. Seperti melihat keruwetan proses menyulam dari sisi bawah dan mengagumi hasilnya dari sisi atas. Saya bersyukur untuk kehilangan yang saya alami saat ini.
Mungkin saya akan tertawa tanpa beban jika Dia mengambil ayah saya saat saya masih balita. Mungkin saya akan tenggelam dalam air mata penyesalan dan kehilangan jika Dia mengambil ayah saya sat saya masih belajar di sekolah menengah. Bahkan mungkin tanpa pengetahuan tentang mortalisme dari sudut pandang keagamaan, saya akan berbalik membenci Tuhan dalam cacian tak putus: Mengapa saya? Mengapa ayah? Mengapa sekarang? Dan seterusnya.
Tapi saya tahu, teori kematian tidak seperti itu. Semua adalah milikNya dan akan kembali padaNya. Perpisahan yang mungkin menjadikan dunia menangis bisa jadi merupakan pertemuan yang dinanti. Untuk bertemu Sang Kekasih, begitu kata mereka.
Pemahaman saya tentu belum mencapai titik kedamaian seperti itu. Setahu saya, pertemuan itu masih lama. Ada beberapa gerbang yang harus dibuka untuk menuju istanaNya, dan itu tidak mudah. Membuat saya sedih sekaligus takut –alasan mengapa air masih mengalir mengiring tiap permohonan.
Agama yang saya yakini mengajarkan adanya proses panjang menuju hari penghitungan. Sebelum masa di mana semua manusia dikumpulkan, ada masa yang mengharuskan saya menunggu. Sendiri, dalam kesendirian.
Dalam liang yang menyatukan saya dengan bumi itu, bagaimanakah kondisi saya nanti? Akankah tempat itu dingin, gelap, dan sempit? Ataukah hangat, luas, dan bercahaya? Bahkan ilmuwan terbaik pun tidak akan kuasa mencipta riset tentang kehidupan setelah kehidupan. Life afterlife.
Saya mempercayai fleksibilitas dalam hidup. Air mengalir, roda berputar, tangga kehidupan. Apapun konsepnya, saya meyakini keabadian perubahan sebagai keniscayaan. Tidak selamanya saya menjadi baik, sebagaimana kejahatan saya tidak akan abadi.
Ada hal-hal yang secara sadar menjadikan seseorang berubah, tetapi tidak sedikit kondisi yang menggiring manusia pada perubahan secara perlahan. Situasi terakhir biasa terjadi tanpa disadari hingga akhirnya mereka menyebut itu takdir.
Jika kondisi kematian manusia sudah tertulis dalam kitab takdir kehidupan dan mereka mengetahuinya, orang-orang picik tentu tidak akan berjuang dalam hidup. Mereka dengan akhir buruk boleh jadi pesimis untuk berbuat baik. Mereka dengan akhir baik boleh jadi akan mengisi dunia dengan kesenangan fana di atas asas kemanfaatan. Penyalahgunaan takdir.
Lantas, di mana esensi perjuangan?
Bukankah Dia menilai proses? Tuhan tidak akan mengubah nasib seseorang kecuali dia mengubahnya sendiri. Manusia berusaha, Tuhan menentukan.
Begitulah kemudian saya menjadi takut tiap kali bayangan itu datang. Di hari saat koneksi dunia saya benar-benar diputus, dalam kondisi apakah saya akan berakhir? Sekedar berhenti memasukkan oksigen dalam organ, atau ada kesan lain dalam catatanNya? Bukankah ending yang tidak menyebalkan menjadi penentu kebaikan cerita oleh pembaca?
Hidup masih diyakini sebagai misteri, dan sepertinya akhir yang baik masih menjadi favorit.
“Hwaiting!”
So cold here
How’s there?
-Dear Father, Sum41-
(remember the one burnt in the earth)
Ada saatnya ketika saya benar-benar ingin sendiri. Lebih dari sekedar keinginan untuk menyendiri mencari inspirasi atau melarikan diri dari hiruk pikuk duniawi.
Saya butuh kesendirian itu, untuk sebuah masa bernama penantian.
Kelak, suatu saat nanti saya akan benar-benar sendiri dalam kesendirian. Setelah dipendam, dibakar, atau bahkan tanpa semua upacara itu (semoga tidak).
Saya baru saja menyelesaikan sahur sebelum menyadari suhu pagi ini rendah sekali. Tidak ada angin, tapi hawa kedinginanan menyesapi tiap pori dengan sempurna. Bisa-bisa saya diare jika tetap terjaga.
Dua lembar selimut telah membungkus tubuh saya. Masih dingin. Bibir saya hampir menggerutu sebelum bayangan itu memenuhi otak saya. Gundukan tanah di atas bukit yang beberapa hari lalu saya kunjungi dalam senyap membatin permohonan.
Makam ayah.
Mungkin terlalu menyedihkan untuk (baru) menyadari makna kematian di usia setua ini. Rasanya teori keagamaan yang sering saya dengar di beberapa kajian baru meresapi hati dan otak saat saya merasakan sendiri keadaan itu.
Payah memang, tapi faktanya saya baru benar-benar akan memahami alasan Dia memerintahkan “Sabar” dalam tiap firmanNya saat saya mendapat sebuah kondisi untuk bersabar.
Rencana Tuhan pasti indah. Seperti melihat keruwetan proses menyulam dari sisi bawah dan mengagumi hasilnya dari sisi atas. Saya bersyukur untuk kehilangan yang saya alami saat ini.
Mungkin saya akan tertawa tanpa beban jika Dia mengambil ayah saya saat saya masih balita. Mungkin saya akan tenggelam dalam air mata penyesalan dan kehilangan jika Dia mengambil ayah saya sat saya masih belajar di sekolah menengah. Bahkan mungkin tanpa pengetahuan tentang mortalisme dari sudut pandang keagamaan, saya akan berbalik membenci Tuhan dalam cacian tak putus: Mengapa saya? Mengapa ayah? Mengapa sekarang? Dan seterusnya.
Tapi saya tahu, teori kematian tidak seperti itu. Semua adalah milikNya dan akan kembali padaNya. Perpisahan yang mungkin menjadikan dunia menangis bisa jadi merupakan pertemuan yang dinanti. Untuk bertemu Sang Kekasih, begitu kata mereka.
Pemahaman saya tentu belum mencapai titik kedamaian seperti itu. Setahu saya, pertemuan itu masih lama. Ada beberapa gerbang yang harus dibuka untuk menuju istanaNya, dan itu tidak mudah. Membuat saya sedih sekaligus takut –alasan mengapa air masih mengalir mengiring tiap permohonan.
Agama yang saya yakini mengajarkan adanya proses panjang menuju hari penghitungan. Sebelum masa di mana semua manusia dikumpulkan, ada masa yang mengharuskan saya menunggu. Sendiri, dalam kesendirian.
Dalam liang yang menyatukan saya dengan bumi itu, bagaimanakah kondisi saya nanti? Akankah tempat itu dingin, gelap, dan sempit? Ataukah hangat, luas, dan bercahaya? Bahkan ilmuwan terbaik pun tidak akan kuasa mencipta riset tentang kehidupan setelah kehidupan. Life afterlife.
Saya mempercayai fleksibilitas dalam hidup. Air mengalir, roda berputar, tangga kehidupan. Apapun konsepnya, saya meyakini keabadian perubahan sebagai keniscayaan. Tidak selamanya saya menjadi baik, sebagaimana kejahatan saya tidak akan abadi.
Ada hal-hal yang secara sadar menjadikan seseorang berubah, tetapi tidak sedikit kondisi yang menggiring manusia pada perubahan secara perlahan. Situasi terakhir biasa terjadi tanpa disadari hingga akhirnya mereka menyebut itu takdir.
Jika kondisi kematian manusia sudah tertulis dalam kitab takdir kehidupan dan mereka mengetahuinya, orang-orang picik tentu tidak akan berjuang dalam hidup. Mereka dengan akhir buruk boleh jadi pesimis untuk berbuat baik. Mereka dengan akhir baik boleh jadi akan mengisi dunia dengan kesenangan fana di atas asas kemanfaatan. Penyalahgunaan takdir.
Lantas, di mana esensi perjuangan?
Bukankah Dia menilai proses? Tuhan tidak akan mengubah nasib seseorang kecuali dia mengubahnya sendiri. Manusia berusaha, Tuhan menentukan.
Begitulah kemudian saya menjadi takut tiap kali bayangan itu datang. Di hari saat koneksi dunia saya benar-benar diputus, dalam kondisi apakah saya akan berakhir? Sekedar berhenti memasukkan oksigen dalam organ, atau ada kesan lain dalam catatanNya? Bukankah ending yang tidak menyebalkan menjadi penentu kebaikan cerita oleh pembaca?
Hidup masih diyakini sebagai misteri, dan sepertinya akhir yang baik masih menjadi favorit.
“Hwaiting!”
Kompetisi Putih
Sungguh, penilaian manusia sangat berbahaya.
Fastabiqul khoirot. Berlomba-lomba dalam kebaikan. Awal bulan ini saya sering membaca kalimat itu, sebelum gemanya terus terulang di otak. Bukan untuk segera menyusun berbagai cara untuk memenangkannya, karena saya selalu takut untuk itu. Dan menjadi semakin takut di bulan kompetisi kebaikan ini.
Saya selalu ingin disibukkan di jalan Tuhan, mengisi kegiatan dengan kepadatan beraroma syar’i. Keinginan yang (masih) belum terlaksana. Melihat orang-orang itu begitu sibuk dengan setumpuk tugas keagamaan di pundak mereka justru membuat saya menjadi takut untuk menjadi seperti mereka.
Jujur, sebenarnya saya sungguh ingin seperti mereka yang sibuk dalam kehidupan religius, yang pasti bernilai baik di mata manusia. Saya sangat ingin disibukkan olehNya, tapi saya selalu berhenti pada keinginan. Setiap kali kaki ini melangkah, selalu ada suara dalam hati saya yang mempertanyakan keinginan itu:
“Kau ingin sibuk atau terlihat sibuk?”
Saya selalu mencerna kalimat itu berulang kali, menghabiskan menit-menit dalam pertimbangan.
“Saya ingin bermanfaat bagi agama saya!” teriak sisi lain hati saya. Tapi, bagaimana dengan penilaian orang lain? Akankah mereka berpikiran sama denganmu?
Pada akhirnya, saya kalah. Saya takut “terlihat baik” di mata orang lain. Ketakutan yang semakin menjadi itu melumpuhkan langkah saya pada setiap agenda berjenis perlombaan dalam kebaikan. Bukan berarti kemudian saya mantap melangkahkan kaki dalam setiap perlombaan keburukan –dalam standar yang diciptakan mayoritas, tentunya.
Saya benar-benar takut menjadi baik dan terlihat baik. Jika “jam terbang tinggi” menjadi parameter kebaikan seseorang, saya memilih untuk tidak terbang agar tidak terlihat. Saya bahkan pernah berpikir tentang hukum kekekalan amanah : “amanah tidak dapat diminta dan tidak dapat dipindah-tangankan (begitu saja).”
Maka, jika pada awalnya tugas tersebut bukanlah untuk saya, saya tidak akan memintanya. Bahkan untuk sekedar berbasa-basi menanyakan perkembangannya. Bagi saya, jika Dia menginginkan hal itu untuk saya, Dia akan memberikannya pada saya pada awal keberadaannya.
Ketakutan untuk terlihat tidak hanya berlaku dalam hal tugas keagamaan. Saya merasakan depresi luar biasa di bulan kompetisi ini. Menyadari tumpukan dosa yang semakin mencuat dari kotak hati saya membuat saya selalu ingin memaksimalkan kesempatan ini untuk mengumpulkan voucher discount dosa di kehidupan yang akan datang.
Opotunis kah? Toh, tidak ada salahnya memanfaatkan kesempatan untuk kebaikan, pikir saya. Tetapi, tentu saja saya tidak seberani itu untuk melakukannya. Memanfaatkan tiap detik dalam peribadatan untukNya. Selalu saja, rasa takut ini membunuh saya. Mulut saya terlalu berat untuk melafalkan ayatNya saat ada manusia lain di sekitar saya –yang kalaupun saya melakukan perbuatan berpahala itu, tidak akan ambil pusing. Kaki saya terlalu berat menambah kegiatan extraordinary lain saat ada nafas dari hidung lain berhembus di sekitar saya –yang bahkan mereka pun melakukan kegiatan-kegiatan extraordinary itu.
Tapi, itu dulu…
Lantas, saya mulai berpikir, mengenang semua alasan itu. Saya lalu teringat perkataan guru saya, “Alasan hanyalah pembenaran dari kemalasan!” Saya pun –dengan berat hati- mengakui bahwa semua paragraf di atas hanyalah pembenaran dari kemalasan saya untuk sibuk di jalan Tuhan.
Jika hati saya benar-benar bertekad untuk menjadi pelayan Tuhan yang baik, sesering apapun lisan berucap “Jangan!” tidak akan menghentikan langkah untuk bertindak.
Niat adalah amalan hati, yang tidak akan mampu seorang manusia pun untuk menilainya. Jika saya begitu yakin bahwa semua perbuatan itu saya tujukan untukNya dan bukan untuk penilaian makhlukNya, sangat konyol jika kemudian saya berhenti berbuat karena takut pada penilaian manusia.
Tugas saya hanyalah melakukan ajaranNya, bukan memikirkan (dengan sangat) bagaimana orang lain akan menilai perbuatan saya. Kalau pun pada akhirnya mereka menilai perbuatan saya sebagai kebaikan tulus atau sekedar aksi cari muka, bukanlah wewenang saya untuk berpusing atas tanggapan itu.
Apa yang Tuhan pikirkan atas saya lah, yang seharusnya menjadi fokus saya. Tujuan saya adalah ketenangan batin saat bisa melaksanakan ajaran yang saya yakini. Dia adalah titik merah panah saya. Dia adalah juri tunggal perlombaan ini. Bukan makhlukNya.
Mengingat nasihat seorang teman, “Jangan terlalu sibuk memikirkan apa yang harus dilakukan, sampai-sampai tidak melakukan apapun.”
Mari berlomba-lomba dalam kebaikan!
(awal ramadhan, 2011)
Fastabiqul khoirot. Berlomba-lomba dalam kebaikan. Awal bulan ini saya sering membaca kalimat itu, sebelum gemanya terus terulang di otak. Bukan untuk segera menyusun berbagai cara untuk memenangkannya, karena saya selalu takut untuk itu. Dan menjadi semakin takut di bulan kompetisi kebaikan ini.
Saya selalu ingin disibukkan di jalan Tuhan, mengisi kegiatan dengan kepadatan beraroma syar’i. Keinginan yang (masih) belum terlaksana. Melihat orang-orang itu begitu sibuk dengan setumpuk tugas keagamaan di pundak mereka justru membuat saya menjadi takut untuk menjadi seperti mereka.
Jujur, sebenarnya saya sungguh ingin seperti mereka yang sibuk dalam kehidupan religius, yang pasti bernilai baik di mata manusia. Saya sangat ingin disibukkan olehNya, tapi saya selalu berhenti pada keinginan. Setiap kali kaki ini melangkah, selalu ada suara dalam hati saya yang mempertanyakan keinginan itu:
“Kau ingin sibuk atau terlihat sibuk?”
Saya selalu mencerna kalimat itu berulang kali, menghabiskan menit-menit dalam pertimbangan.
“Saya ingin bermanfaat bagi agama saya!” teriak sisi lain hati saya. Tapi, bagaimana dengan penilaian orang lain? Akankah mereka berpikiran sama denganmu?
Pada akhirnya, saya kalah. Saya takut “terlihat baik” di mata orang lain. Ketakutan yang semakin menjadi itu melumpuhkan langkah saya pada setiap agenda berjenis perlombaan dalam kebaikan. Bukan berarti kemudian saya mantap melangkahkan kaki dalam setiap perlombaan keburukan –dalam standar yang diciptakan mayoritas, tentunya.
Saya benar-benar takut menjadi baik dan terlihat baik. Jika “jam terbang tinggi” menjadi parameter kebaikan seseorang, saya memilih untuk tidak terbang agar tidak terlihat. Saya bahkan pernah berpikir tentang hukum kekekalan amanah : “amanah tidak dapat diminta dan tidak dapat dipindah-tangankan (begitu saja).”
Maka, jika pada awalnya tugas tersebut bukanlah untuk saya, saya tidak akan memintanya. Bahkan untuk sekedar berbasa-basi menanyakan perkembangannya. Bagi saya, jika Dia menginginkan hal itu untuk saya, Dia akan memberikannya pada saya pada awal keberadaannya.
Ketakutan untuk terlihat tidak hanya berlaku dalam hal tugas keagamaan. Saya merasakan depresi luar biasa di bulan kompetisi ini. Menyadari tumpukan dosa yang semakin mencuat dari kotak hati saya membuat saya selalu ingin memaksimalkan kesempatan ini untuk mengumpulkan voucher discount dosa di kehidupan yang akan datang.
Opotunis kah? Toh, tidak ada salahnya memanfaatkan kesempatan untuk kebaikan, pikir saya. Tetapi, tentu saja saya tidak seberani itu untuk melakukannya. Memanfaatkan tiap detik dalam peribadatan untukNya. Selalu saja, rasa takut ini membunuh saya. Mulut saya terlalu berat untuk melafalkan ayatNya saat ada manusia lain di sekitar saya –yang kalaupun saya melakukan perbuatan berpahala itu, tidak akan ambil pusing. Kaki saya terlalu berat menambah kegiatan extraordinary lain saat ada nafas dari hidung lain berhembus di sekitar saya –yang bahkan mereka pun melakukan kegiatan-kegiatan extraordinary itu.
Tapi, itu dulu…
Lantas, saya mulai berpikir, mengenang semua alasan itu. Saya lalu teringat perkataan guru saya, “Alasan hanyalah pembenaran dari kemalasan!” Saya pun –dengan berat hati- mengakui bahwa semua paragraf di atas hanyalah pembenaran dari kemalasan saya untuk sibuk di jalan Tuhan.
Jika hati saya benar-benar bertekad untuk menjadi pelayan Tuhan yang baik, sesering apapun lisan berucap “Jangan!” tidak akan menghentikan langkah untuk bertindak.
Niat adalah amalan hati, yang tidak akan mampu seorang manusia pun untuk menilainya. Jika saya begitu yakin bahwa semua perbuatan itu saya tujukan untukNya dan bukan untuk penilaian makhlukNya, sangat konyol jika kemudian saya berhenti berbuat karena takut pada penilaian manusia.
Tugas saya hanyalah melakukan ajaranNya, bukan memikirkan (dengan sangat) bagaimana orang lain akan menilai perbuatan saya. Kalau pun pada akhirnya mereka menilai perbuatan saya sebagai kebaikan tulus atau sekedar aksi cari muka, bukanlah wewenang saya untuk berpusing atas tanggapan itu.
Apa yang Tuhan pikirkan atas saya lah, yang seharusnya menjadi fokus saya. Tujuan saya adalah ketenangan batin saat bisa melaksanakan ajaran yang saya yakini. Dia adalah titik merah panah saya. Dia adalah juri tunggal perlombaan ini. Bukan makhlukNya.
Mengingat nasihat seorang teman, “Jangan terlalu sibuk memikirkan apa yang harus dilakukan, sampai-sampai tidak melakukan apapun.”
Mari berlomba-lomba dalam kebaikan!
(awal ramadhan, 2011)
Asasi
Dunia menganugerahi kita sebuah konsep yang memungkinkan kita mendapat dan mengusahakan keinginan kita dengannya. Konsep yang biasa dikenal dunia internasional sebagai “human right”. Indonesia, dengan bahasa nasionalnya, menerjemahkan konsep itu sebagai hak asasi manusia. Hak dasar untuk manusia.
Konsep ini dipercayai sebagai salah satu cara memanusiakan manusia, dengan mengakomodasi keinginan mereka dan menetapkannya sebagai dasar kebutuhan. Sehingga pemenuhannya menjadi keharusan dan peniadaannya akan menjadikan manusia tak lagi dianggap manusiawi.
Perbincangan lokal hingga internasional banyak meletakkan poin hak asasi manusia (HAM) dalam daftar masalah inti –yang kemudian menjadi laten. Masyarakat dunia yang menempatkan HAM sebagai syarat untama menjadi manusiawi merumuskan akar permasalahan pada ketiadaan penjunjungan HAM dan menetapkan pemenuhannya sebagai solusi.
Namun, tidak sejalan dengan tujuan perdamaian dunia yakni harmonisasai kehidupan internasional, akan selalu ada pertentangan dalam tiap kepentingan.
HAM dilahirkan sebagai kebutuhan dasar manusia untuk hidup dalam kondisi ekonomi, sosial, dan politik yang layak dalam standarnya. Keseluruhan hak ini boleh didapat setelah manusia memenuhi kewajiban, konsep lain yang mengharuskan mereka melakukan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu.
Dalam aplikasinya, HAM memiliki turunan hak minor lain yang kemudian –atas nama kemanusiaan- harus dipenuhi, dalam turunan ke berapa pun. Di sinilah saya merasakannya bahaya –atau dalam bahasa dengan kesederhanaan lain, rawan. Hak seseorang, apapun istilah yang digunakan untuk menamakannya, pasti mewakili kepentingan orang tersebut. Namun dalam tingkatan apakah semua hak itu harus dan dapat terpenuhi?
Saat seseorang dibunuh, kita berbicara tentang hak orang itu untuk hidup. Lalu kita menghukum mati pembunuhnya untuk “mengembalikan” pencurian hak hidup. Ketika kasus ditutup, akankah hak kedua orang itu untuk hidup telah benar-benar terlindungi dengan HAM?
Saat seseorang merasa nyaman dengan sebuah keyakinan, dia merasa memiliki hak untuk memilih meyakininya. Namun saat keyakinannya dianggap mengancam mereka yang merasa hak atas rasa aman dan nyamannya terusik, hak siapakah yang akan diutamakan? Sedangkan ini adalah persoalan vertikal antara makhluk dan Pencipta.
Dalam kegiatan berpikir dan berbicara “bebas” yang saya ikuti (parliamentary debate), pada akhirnya debaters tidak menggunakan poin HAM sebagai kekuatan utama untuk menganalisa dan menyelesaikan kasus. Karena akan selalu ada negasi dari hak seseorang. Saat kita ingin membatasi hak, saat itulah kita menghancurkannya. Seminor apapun itu, dan sebesar apapun kewajiban untuk mendapatkannya.
HAM sebagai konsep (buatan) manusia berusaha memanusiakan manusia. Tetapi, sebagaimana ketidaksempurnaan manusia, pemikiran ciptaannya pun terasa rapuh. Pemenuhan hak seseorang sekaligus menjadi penghilangan hak sebagian yang lain. Maka, tidak akan pernah ada penggenapan hak, dalam turunan asasi apapun. Thus, saya mulai berpikir bahwa konsep ciptaan ini tidak cukup kuat.
Bagi saya, hak dan kewajiban mutlak hanyalah untuk Pencipta. Saat saya berkomitmen untuk konsep ini, mungkin masih ada pihak lain yang merasa haknya untuk tidak hidup bersama ekstermis pemuja Tuhan (jika dia menganggap saya seperti itu) terganggu. Tetapi ini akan lebih efektif karena inti konsep ini adalah hubungan bilateral antara hamba dan Tuan. Mereka yang bukan merupakan Tuan saya –dan tidak mungkin mau dihambakan- tentu tidak perlu memikirkan bagaimana saya berkomitmen untuk memenuhi kewajiban saya pada Tuhan sebelum Dia berikan hak saya. Tentu saja, dengan caraNya.
Jika kemudian dengan konsep ini saya terlihat hidup dalam kondisi politik, ekonomi, dan sosial yang tidak manusiawi menurut standar manusia, saya tahu pasti apa hak dan kewajiban saya. Bukan untuk meminta pergantian standar hidup pada sesama makhluk, karena transaksi saya adalah bilateral vertikal dengan Yang Maha Kuasa. Tentu cara langit akan jauh berbeda dengan cara bumi. Begitulah, kemudian saya akan tetap berjalan dengan konsep ini dan berusaha mengais untuk rasakan bahagia langit di kolong bumi. Semoga saja. Amin.
Konsep ini dipercayai sebagai salah satu cara memanusiakan manusia, dengan mengakomodasi keinginan mereka dan menetapkannya sebagai dasar kebutuhan. Sehingga pemenuhannya menjadi keharusan dan peniadaannya akan menjadikan manusia tak lagi dianggap manusiawi.
Perbincangan lokal hingga internasional banyak meletakkan poin hak asasi manusia (HAM) dalam daftar masalah inti –yang kemudian menjadi laten. Masyarakat dunia yang menempatkan HAM sebagai syarat untama menjadi manusiawi merumuskan akar permasalahan pada ketiadaan penjunjungan HAM dan menetapkan pemenuhannya sebagai solusi.
Namun, tidak sejalan dengan tujuan perdamaian dunia yakni harmonisasai kehidupan internasional, akan selalu ada pertentangan dalam tiap kepentingan.
HAM dilahirkan sebagai kebutuhan dasar manusia untuk hidup dalam kondisi ekonomi, sosial, dan politik yang layak dalam standarnya. Keseluruhan hak ini boleh didapat setelah manusia memenuhi kewajiban, konsep lain yang mengharuskan mereka melakukan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu.
Dalam aplikasinya, HAM memiliki turunan hak minor lain yang kemudian –atas nama kemanusiaan- harus dipenuhi, dalam turunan ke berapa pun. Di sinilah saya merasakannya bahaya –atau dalam bahasa dengan kesederhanaan lain, rawan. Hak seseorang, apapun istilah yang digunakan untuk menamakannya, pasti mewakili kepentingan orang tersebut. Namun dalam tingkatan apakah semua hak itu harus dan dapat terpenuhi?
Saat seseorang dibunuh, kita berbicara tentang hak orang itu untuk hidup. Lalu kita menghukum mati pembunuhnya untuk “mengembalikan” pencurian hak hidup. Ketika kasus ditutup, akankah hak kedua orang itu untuk hidup telah benar-benar terlindungi dengan HAM?
Saat seseorang merasa nyaman dengan sebuah keyakinan, dia merasa memiliki hak untuk memilih meyakininya. Namun saat keyakinannya dianggap mengancam mereka yang merasa hak atas rasa aman dan nyamannya terusik, hak siapakah yang akan diutamakan? Sedangkan ini adalah persoalan vertikal antara makhluk dan Pencipta.
Dalam kegiatan berpikir dan berbicara “bebas” yang saya ikuti (parliamentary debate), pada akhirnya debaters tidak menggunakan poin HAM sebagai kekuatan utama untuk menganalisa dan menyelesaikan kasus. Karena akan selalu ada negasi dari hak seseorang. Saat kita ingin membatasi hak, saat itulah kita menghancurkannya. Seminor apapun itu, dan sebesar apapun kewajiban untuk mendapatkannya.
HAM sebagai konsep (buatan) manusia berusaha memanusiakan manusia. Tetapi, sebagaimana ketidaksempurnaan manusia, pemikiran ciptaannya pun terasa rapuh. Pemenuhan hak seseorang sekaligus menjadi penghilangan hak sebagian yang lain. Maka, tidak akan pernah ada penggenapan hak, dalam turunan asasi apapun. Thus, saya mulai berpikir bahwa konsep ciptaan ini tidak cukup kuat.
Bagi saya, hak dan kewajiban mutlak hanyalah untuk Pencipta. Saat saya berkomitmen untuk konsep ini, mungkin masih ada pihak lain yang merasa haknya untuk tidak hidup bersama ekstermis pemuja Tuhan (jika dia menganggap saya seperti itu) terganggu. Tetapi ini akan lebih efektif karena inti konsep ini adalah hubungan bilateral antara hamba dan Tuan. Mereka yang bukan merupakan Tuan saya –dan tidak mungkin mau dihambakan- tentu tidak perlu memikirkan bagaimana saya berkomitmen untuk memenuhi kewajiban saya pada Tuhan sebelum Dia berikan hak saya. Tentu saja, dengan caraNya.
Jika kemudian dengan konsep ini saya terlihat hidup dalam kondisi politik, ekonomi, dan sosial yang tidak manusiawi menurut standar manusia, saya tahu pasti apa hak dan kewajiban saya. Bukan untuk meminta pergantian standar hidup pada sesama makhluk, karena transaksi saya adalah bilateral vertikal dengan Yang Maha Kuasa. Tentu cara langit akan jauh berbeda dengan cara bumi. Begitulah, kemudian saya akan tetap berjalan dengan konsep ini dan berusaha mengais untuk rasakan bahagia langit di kolong bumi. Semoga saja. Amin.
Gamelan Padang Pasir
Akhir-akhir ini sebuah bisikan terdengar lebih keras di otak saya: “Apakah Islam (memang) seperti ini?”
Anggota komunitas pasti ingin menjadi refleksi komunitas mereka, dengan selalu menyertakan identitas dalam kata dan perbuatan mereka. Begitulah yang saya lihat dari mayoritas mahasiswa yang bergerak di bidang organisasi, termasuk gerakan keagamaan. Mereka (kebetulan saya mengamati mereka yang beridentitas sama dengan saya) selalu menambahkan istilah bahasa Arab dalam ucapan mereka. Bahkan kemudian terbentuk stigma bahwa semakin tinggi tingkatan seseorang, akan semakin banyak istilah “keagamaan” disertakan dalam kalimat mereka. Apakah ini Islamisasi, atau Arabisasi?
Sebagian besar mereka (mungkin) memandang rendah saya yang menyukai irama dalam harmoni yang tidak mereka sukai. Saya pernah mendengar mereka menyebut rangkaian melodi itu sebagai “musik setan” karena diciptakan oleh mereka yang berada di “jalan yang salah”. Tidak seperti apa yang selalu mereka dengarkan, alunan syahdu penuh kelembutan dalam nada-nada yang tidak saya sukai. Menurut saya, ini tentang selera. Toh apresiasi saya tidak terlepas dari bagaimana saya merasa dan mendengar kalimat dalam nada-nada itu, bukan sekedar tampilan fisik dalam video menyegarkan dari boyband Korea.
Bagaimana seseorang menggunakan dan berpikir dengan musik lah yang menjadi fokus saya. Gambus dan kesenian padang pasir lainnya (masih) belum sesuai dengan telinga dan otak saya. Mungkin mereka akan mempertajam tatapan mereka saat saya berteriak frustasi untuk mendengarkan punk rock daripada nasyid. I swear. Sejauh ini saya lebih banyak terinspirasi dari nada-nada seperti itu, lantas salahkah saya? Untuk menjadi totalitas, haruskah saya mencintai alunan padang pasir? Apakah ini Islamisasi, atau Arabisasi?
Dalam taraf lain mereka bahkan mengatakan kebudayaan sebagai salah satu jalan menuju penggandaan keyakinan. Ini gila, pikir saya. Meskipun saya bukan budayawan ataupun penikmat budaya yang menilai karya dalam bahasa langit, saya cukup menyukai budaya yang saya kenal. Saya hidup di Jawa dengan setumpuk kebudayaan di sekitar saya. Sementara saya –dalam kewajaran seorang hamba- menginkan kedekatan tertentu dengan Tuhan, beberapa sisi dalam ajaran saya menilai budaya sebagai bahaya. “Ada lorong-lorong yang justru menjauhkanmu dari rumah Tuhan jika kau terlalu lama mendekam dalam gelapnya,” kata mereka.
Kebudayaan lahir dari pembiasaan pikiran yang tervisualisasi dalam kata dan perbuatan, begitu yang saya pelajari dalam Sosiologi. Untuk merubah peradaban sebuah masyarakat, pembiasaan dalam pemikiran-pemikiran baru mutlak menjadi suatu keniscayaan. Lantas, saat saya ingin menyeluruh dalam mendekati Tuhan di jalan yang telah Dia pilihkan, saya sadar akan sebuah kewajiban membumikan budaya baru itu. Tapi, apakah sesuatu yang baru itu benar-benar merupakan unsur dari inti totalitas yang saya inginkan? Ataukah hanya karena lokasi keberadaan yang sama menjadikan sesuatu mutlak menjadi bagian sebuah sistem? Bukankah seorang pembantu rumah tangga, setinggi apapun kebaikan majikannya, tidak akan pernah bisa tercatat sebagai bagian keluarga inti majikannya begitu saja, hanya karena mereka hidup di bawah atap yang sama?
Di akhir semua kekesalan dengan sapaan dan perbincangan yang penuh dengan kosakata “keagamaan” diiringi hiburan “keagamaan” bersama mereka yang dianggap mewakili aura dan kharisma “keagamaan”, bisikan di dalam otak saya justru semakin sering terdengar. Sebagai remaja yang labil, saya menjadi lebih berhati-hati dalam menyaring semua cairan itu.
Mereka berkata, “Inilah Islam.” Tapi, sekali lagi, bisikan itu terdengar, “Apakah Islam (memang) seperti ini?” Jika agama ini pertama kali diturunkan di tanah Jawa, akankah mereka kemudian berlomba-lomba mencipta nada lewat gamelan seperti para penyampai terdahulu? Ataukah mereka akan menggunakan keseluruhan krama inggil dalam sapa dan kata mereka? Lantas, akankah ini menjadi Islamisasi, atau Jawaisasi?
Anggota komunitas pasti ingin menjadi refleksi komunitas mereka, dengan selalu menyertakan identitas dalam kata dan perbuatan mereka. Begitulah yang saya lihat dari mayoritas mahasiswa yang bergerak di bidang organisasi, termasuk gerakan keagamaan. Mereka (kebetulan saya mengamati mereka yang beridentitas sama dengan saya) selalu menambahkan istilah bahasa Arab dalam ucapan mereka. Bahkan kemudian terbentuk stigma bahwa semakin tinggi tingkatan seseorang, akan semakin banyak istilah “keagamaan” disertakan dalam kalimat mereka. Apakah ini Islamisasi, atau Arabisasi?
Sebagian besar mereka (mungkin) memandang rendah saya yang menyukai irama dalam harmoni yang tidak mereka sukai. Saya pernah mendengar mereka menyebut rangkaian melodi itu sebagai “musik setan” karena diciptakan oleh mereka yang berada di “jalan yang salah”. Tidak seperti apa yang selalu mereka dengarkan, alunan syahdu penuh kelembutan dalam nada-nada yang tidak saya sukai. Menurut saya, ini tentang selera. Toh apresiasi saya tidak terlepas dari bagaimana saya merasa dan mendengar kalimat dalam nada-nada itu, bukan sekedar tampilan fisik dalam video menyegarkan dari boyband Korea.
Bagaimana seseorang menggunakan dan berpikir dengan musik lah yang menjadi fokus saya. Gambus dan kesenian padang pasir lainnya (masih) belum sesuai dengan telinga dan otak saya. Mungkin mereka akan mempertajam tatapan mereka saat saya berteriak frustasi untuk mendengarkan punk rock daripada nasyid. I swear. Sejauh ini saya lebih banyak terinspirasi dari nada-nada seperti itu, lantas salahkah saya? Untuk menjadi totalitas, haruskah saya mencintai alunan padang pasir? Apakah ini Islamisasi, atau Arabisasi?
Dalam taraf lain mereka bahkan mengatakan kebudayaan sebagai salah satu jalan menuju penggandaan keyakinan. Ini gila, pikir saya. Meskipun saya bukan budayawan ataupun penikmat budaya yang menilai karya dalam bahasa langit, saya cukup menyukai budaya yang saya kenal. Saya hidup di Jawa dengan setumpuk kebudayaan di sekitar saya. Sementara saya –dalam kewajaran seorang hamba- menginkan kedekatan tertentu dengan Tuhan, beberapa sisi dalam ajaran saya menilai budaya sebagai bahaya. “Ada lorong-lorong yang justru menjauhkanmu dari rumah Tuhan jika kau terlalu lama mendekam dalam gelapnya,” kata mereka.
Kebudayaan lahir dari pembiasaan pikiran yang tervisualisasi dalam kata dan perbuatan, begitu yang saya pelajari dalam Sosiologi. Untuk merubah peradaban sebuah masyarakat, pembiasaan dalam pemikiran-pemikiran baru mutlak menjadi suatu keniscayaan. Lantas, saat saya ingin menyeluruh dalam mendekati Tuhan di jalan yang telah Dia pilihkan, saya sadar akan sebuah kewajiban membumikan budaya baru itu. Tapi, apakah sesuatu yang baru itu benar-benar merupakan unsur dari inti totalitas yang saya inginkan? Ataukah hanya karena lokasi keberadaan yang sama menjadikan sesuatu mutlak menjadi bagian sebuah sistem? Bukankah seorang pembantu rumah tangga, setinggi apapun kebaikan majikannya, tidak akan pernah bisa tercatat sebagai bagian keluarga inti majikannya begitu saja, hanya karena mereka hidup di bawah atap yang sama?
Di akhir semua kekesalan dengan sapaan dan perbincangan yang penuh dengan kosakata “keagamaan” diiringi hiburan “keagamaan” bersama mereka yang dianggap mewakili aura dan kharisma “keagamaan”, bisikan di dalam otak saya justru semakin sering terdengar. Sebagai remaja yang labil, saya menjadi lebih berhati-hati dalam menyaring semua cairan itu.
Mereka berkata, “Inilah Islam.” Tapi, sekali lagi, bisikan itu terdengar, “Apakah Islam (memang) seperti ini?” Jika agama ini pertama kali diturunkan di tanah Jawa, akankah mereka kemudian berlomba-lomba mencipta nada lewat gamelan seperti para penyampai terdahulu? Ataukah mereka akan menggunakan keseluruhan krama inggil dalam sapa dan kata mereka? Lantas, akankah ini menjadi Islamisasi, atau Jawaisasi?
Menyapa Kebebasan
Setahu saya, bebas ya bebas. Tanpa batas, tanpa aturan. Saat kemudian ada tanda bintang yang mengisyaratkan “syarat dan ketentuan berlaku”, esensi bebas tak lagi ada. Lahirlah sesuatu yang mereka sebut kebebasan bersyarat.
Tulisan ini tentu tidak akan mengupas liberalisme pada titik pokok kebebasannya. Hanya dengan menyapa tentu tidak akan cukup untuk mengenal pribadi seseorang. Saya hanya ingin mengutarakan konsep kebebasan menurut pemahaman dan harapan saya. Subyektif, mungkin. Tapi inilah yang saya sebut “berbincang dengan bisikan”. Saya ingin menuliskan bisikan-bisikan yang menjadikan saya tetap manusia. Untuk tetap berpikir dan tidak serta merta menerima dogma.
Kata liberalisme dan definisinya sebagai suatu paham pertama kali saya baca saat SMP. Saat itu, beberapa tokoh dalam buku Pendidikan Kewarganegaraan menjelaskan liberalisme sebagai ideologi yang menjunjung kebebasan individu di atas segalanya, dengan memberi contoh Amerika Serikat sebagai negara penganuti ideologi itu.
Saat itu, sebagai remaja yang jauh lebih labil dari saat ini, saya mengiyakan penjelasan dari buku itu –dan buku-buku lain anjuran pemerintah. Kemudian saya teringat kondisi penganut ajaran minoritas di negeri itu. Mereka, seperti yang digambarkan media internasional, menemukan banyak hambatan dalam akses peribadatan mereka. Bahkan untuk merealisasikan eksistensi ajaran mereka dalam hal penampilan. Kaum mayor menolak mereka dengan jaket paranoid terhadap terorisme jihad –yang saya ragu mereka benar-benar paham tentang itu. Lantas, apakah permainan hak mayoritas dan minoritas masih berlaku dalam kebebasan liberalisme?
Setahu saya, kebebasan menjunjung hak tiap individu, siapa pun itu. Tidak ada prinsip “suara terbanyak lah yang menang” karena ini bukan demokrasi –yang bahkan mempersilahkan kaum minor bersuara. Sekecil apapun kelompok itu dan selemah apapun pengaruh mereka dalam konstruksi masyarakat, kebebasan memberi tempat mereka untuk hidup dengan menjabarkan keyakinan mereka dalam langkah di atas tanah. Bukan dengan hidup bersembunyi atas nama ideologi yang dianggap mati.
Saya lalu ragu dengan penetapan Amerika sebagai negara yang menjunjung tinggi hak tiap individu. Tidak ada kebebasan untuk berkeyakinan yang bisa saya yakini dari fakta yang ada. Dalam skala dunia, ketiadaan kebebasan itu juga saya rasakan. Bahkan, di tanah tempat saya berdiri saat ini.
Mereka berkata pada saya, “kebebasan beragama telah diatur dalam pasal dan ayat.” Faktanya, berapa jumlah keyakinan yang kemudian diyakini dan diterima mayoritas kita? Bagi saya, keyakinan –apapun bentuknya- adalah perniagaan ekslusif antara saya dan apa yang saya yakini. Tidak ada yang bisa –dalam jangkauan hak dan kemampuan- menentukan kebenaran absolut atas keyakinan seseorang.
Manusia berdebat bahkan berperang tentang sesuatu bernama keyakinan. Mencoba meletakkan kebenaran dengan skala ciptaan manusia. Berprasangka dan bebas bermain kata tentang kesesatan suatu ajaran. Lantas, saya berpikir : siapakah kita? Seberapa hebat dan muliakah manusia untuk menilai kebenaran suatu ajaran? Bukankah kebenaran dan keyakinan merupakan abstrak yang relatif?
Seorang teman pernah berkomentar, “Dia memiliki segalanya. Ketampanan, kecerdasan, kekayaan, kebahagiaan. Sayang, dia seorang muslim.” Tentu saja saya hanya diam dalam ekspresi yang dia pahami sebagai penolakan statement. Ketika manusia terbagi dalam keyakinan masing-masing, bukan porsi mereka sebagai makhluk untuk saling menilai. Jika seorang teman memilih untuk meyakini Budha sementara teman yang lain lebih nyaman dengan ajaran Kristus, bukan kewajiban saya untuk menilai kebenaran jalan mereka. Bahkan jika mereka kemudian memilih untuk tidak memilih ajaran apapun.
Saat ada perbincangan yang berakhir pada perpindahan keyakinan, saya percaya pada kuasa penuhNya untuk melakukan itu. Bukan karena siapa mempercayai apa lantas saya “terpengaruh” mengikutinya. Sekuat apapun seseorang mempengaruhi orang lain untuk percaya pada sesuatu yang ia yakini sebagai kebenaran, saat “sesuatu” itu tidak berkeinginan pada keinginan orang itu, saya percaya pada kenihilan sebagai hasilnya. Inilah konsep kebebasan yang ingin saya yakini : untuk tidak sok tahu dengan pilihan orang lain. Bukankah Tuhan memperkenalkan kebebasan dengan pintu fleksibel dalam berbagai jalan menuju rumahNya?
Tulisan ini tentu tidak akan mengupas liberalisme pada titik pokok kebebasannya. Hanya dengan menyapa tentu tidak akan cukup untuk mengenal pribadi seseorang. Saya hanya ingin mengutarakan konsep kebebasan menurut pemahaman dan harapan saya. Subyektif, mungkin. Tapi inilah yang saya sebut “berbincang dengan bisikan”. Saya ingin menuliskan bisikan-bisikan yang menjadikan saya tetap manusia. Untuk tetap berpikir dan tidak serta merta menerima dogma.
Kata liberalisme dan definisinya sebagai suatu paham pertama kali saya baca saat SMP. Saat itu, beberapa tokoh dalam buku Pendidikan Kewarganegaraan menjelaskan liberalisme sebagai ideologi yang menjunjung kebebasan individu di atas segalanya, dengan memberi contoh Amerika Serikat sebagai negara penganuti ideologi itu.
Saat itu, sebagai remaja yang jauh lebih labil dari saat ini, saya mengiyakan penjelasan dari buku itu –dan buku-buku lain anjuran pemerintah. Kemudian saya teringat kondisi penganut ajaran minoritas di negeri itu. Mereka, seperti yang digambarkan media internasional, menemukan banyak hambatan dalam akses peribadatan mereka. Bahkan untuk merealisasikan eksistensi ajaran mereka dalam hal penampilan. Kaum mayor menolak mereka dengan jaket paranoid terhadap terorisme jihad –yang saya ragu mereka benar-benar paham tentang itu. Lantas, apakah permainan hak mayoritas dan minoritas masih berlaku dalam kebebasan liberalisme?
Setahu saya, kebebasan menjunjung hak tiap individu, siapa pun itu. Tidak ada prinsip “suara terbanyak lah yang menang” karena ini bukan demokrasi –yang bahkan mempersilahkan kaum minor bersuara. Sekecil apapun kelompok itu dan selemah apapun pengaruh mereka dalam konstruksi masyarakat, kebebasan memberi tempat mereka untuk hidup dengan menjabarkan keyakinan mereka dalam langkah di atas tanah. Bukan dengan hidup bersembunyi atas nama ideologi yang dianggap mati.
Saya lalu ragu dengan penetapan Amerika sebagai negara yang menjunjung tinggi hak tiap individu. Tidak ada kebebasan untuk berkeyakinan yang bisa saya yakini dari fakta yang ada. Dalam skala dunia, ketiadaan kebebasan itu juga saya rasakan. Bahkan, di tanah tempat saya berdiri saat ini.
Mereka berkata pada saya, “kebebasan beragama telah diatur dalam pasal dan ayat.” Faktanya, berapa jumlah keyakinan yang kemudian diyakini dan diterima mayoritas kita? Bagi saya, keyakinan –apapun bentuknya- adalah perniagaan ekslusif antara saya dan apa yang saya yakini. Tidak ada yang bisa –dalam jangkauan hak dan kemampuan- menentukan kebenaran absolut atas keyakinan seseorang.
Manusia berdebat bahkan berperang tentang sesuatu bernama keyakinan. Mencoba meletakkan kebenaran dengan skala ciptaan manusia. Berprasangka dan bebas bermain kata tentang kesesatan suatu ajaran. Lantas, saya berpikir : siapakah kita? Seberapa hebat dan muliakah manusia untuk menilai kebenaran suatu ajaran? Bukankah kebenaran dan keyakinan merupakan abstrak yang relatif?
Seorang teman pernah berkomentar, “Dia memiliki segalanya. Ketampanan, kecerdasan, kekayaan, kebahagiaan. Sayang, dia seorang muslim.” Tentu saja saya hanya diam dalam ekspresi yang dia pahami sebagai penolakan statement. Ketika manusia terbagi dalam keyakinan masing-masing, bukan porsi mereka sebagai makhluk untuk saling menilai. Jika seorang teman memilih untuk meyakini Budha sementara teman yang lain lebih nyaman dengan ajaran Kristus, bukan kewajiban saya untuk menilai kebenaran jalan mereka. Bahkan jika mereka kemudian memilih untuk tidak memilih ajaran apapun.
Saat ada perbincangan yang berakhir pada perpindahan keyakinan, saya percaya pada kuasa penuhNya untuk melakukan itu. Bukan karena siapa mempercayai apa lantas saya “terpengaruh” mengikutinya. Sekuat apapun seseorang mempengaruhi orang lain untuk percaya pada sesuatu yang ia yakini sebagai kebenaran, saat “sesuatu” itu tidak berkeinginan pada keinginan orang itu, saya percaya pada kenihilan sebagai hasilnya. Inilah konsep kebebasan yang ingin saya yakini : untuk tidak sok tahu dengan pilihan orang lain. Bukankah Tuhan memperkenalkan kebebasan dengan pintu fleksibel dalam berbagai jalan menuju rumahNya?
Subscribe to:
Posts (Atom)