March 23, 2012

My First Media ^^


ini artikel ke dua yang saya kirim ke media, dan menjadi yang pertama dimuat.
ini naskah asli yang belum diedit editornya Mimbar Mahasiswa Solopos, 20 Maret 2012 ~~
--

Yang Penting Bisa Tertawa



Tayangan komedi telah menjadi angin segar di antara berita politik, hukum, ekonomi, dan isu nasional lain yang bermuatan negatif. Kehadirannya hari ini tidak hanya sebagai alternatif hiburan dalam media massa, melainkan kebutuhan yang diperjuangkan. Hal ini memaklumkan antrian panjang di Stadion Sriwedari Surakarta pada Sabtu (17/3) lalu.

Berbagai lapisan masyarakat kota Solo ramai membicarakan rencana kehadiran mereka dalam Pargelaran Opera Van Java (OVJ), tayangan komedi wayang orang modern yang sedang menjadi pembicaraan publik. Dikatakan seseorang tidak up to date jika tidak mengenal gombalan “Bapak kamu” ala Andre atau hubungan ‘asmara’ Nunung-Azis. Pesonanya sebagai produk media sukses membentuk budaya baru dalam masyarakat kita, tidak terkecuali kaum akademisi berlabel mahasiswa. Tidak sedikit dari mereka yang terlibat euforia roadshow tersebut. Bahkan dalam tayangan sehari-hari, dapat disaksikan kampus-kampus dengan almamater berbeda secara bergantian mengisi kursi penonton di studio Trans7 itu. Namun, tanpa disadari candu program humor favorit versi Panasonic Gobel Award 2011 ini secara perlahan melunturkan budaya akademik masyarakat kampus.

OVJ dikenal sebagai tayangan komedi slapstick yang mengandalkan penderitaan orang lain untuk melahirkan tawa penonton. Tidak asing lagi bagi kita adegan Azis yang menjadi objek penderita favorit dipukuli dengan styrofoam atau dijejali tepung saat menguap. Pun dengan humor rasis Sule yang mengangkat bentuk fisik, warna kulit, dan dialek kedaerahan sebagai bahan eksplorasi. Ironisnya, penderitaan fisik dan psikis para objek penderita lah yang menjadi bahan bakar tawa penonton.

Budaya ‘Senang Orang Susah dan Susah Orang Senang (SOS)’ dalam tayangan pilihan mahasiswa itu berpengaruh dalam pergaulan kampus. Orientasi Kampus yang mengharamkan kekerasan fisik tentu tidak dapat menyediakan kesempatan penyiksaan styrofoam seperti pada OVJ. Tetapi pemberian hukuman ‘lucu-lucuan’ yang berangkat dari prinsip SOS masih dapat dijumpai hingga hari ini. Label mahasiswa ‘cupu’ atau ‘kaku’ pada mereka yang tidak membantah saat dihina menjadi bagian dari budaya kampus hari ini.

Fenomena tersebut sejalan dengan komedi yang dinilai sebagai salah satu alat propaganda. Di Inggris dan Amerika, (Medhurst, 2007, A National Joke: Popular Comedy and English Cultural Identities) komedi digunakan untuk mengampanyekan gaya hidup gay, lesbian, dan biseksual agar menjadi umum dan diterima masyarakat. Melihat keadaan masyarakat saat ini, budaya kekerasan yang ‘dikampanyekan’ melalui humor slapstick telah sukses menjadi bagian masyarakat, termasuk mahasiswa. Bahkan mereka yang tidak bersikap seperti kesepakatan mainstream (untuk ber-SOS) akan dinilai ‘salah’ dan tidak wajar.

Sebagai tayangan slapstick, OVJ menjadi favorit penduduk Indonesia karena humornya yang begitu memasyarakat. Tidak diperlukan otak cemerlang untuk bisa mencerna adegan terpelesetnya para pemain karena properti hancur yang berserakan. Penonton hanya tahu (dan beranggapan) “yang ini jatuh beneran dan pasti sakit sekali” sebelum memutuskan untuk tertawa lepas. Benar-benar menghayatinya seolah dengan menertawakan penderitaan ‘yang dibuat-buat’ itu segala beban hidup akan berkurang.

Budaya pragmatis mahasiswa, termasuk dalam memilih humor yang tidak memerlukan pemikiran ini, berimplikasi pada sunyinya kelas-kelas perkuliahan. Bagi mahasiswa pecinta komedi pragmatis seperti OVJ, tidak diperlukan pemikiran mendalam untuk mendapatkan nilai baik. Cukup hapalkan materi presentasi dan buku teks, dan jangan berharap terlalu tinggi untuk predikat A. Mendapat nilai pas-pasan dan memiliki banyak waktu untuk nongkrong menjadi lebih memasyarakat bagi mereka. Mahasiswa yang berusaha menghidupkan iklim akademik akan dianggap ‘pembantu baru’ karena banyak bertanya, sesuai predikat yang sering digunakan dalam humor OVJ. Pada akhirnya kuliah-kuliah dengan beban analisis lebih dan dosen-dosen kritis perfeksionis menjadi mimpi buruk di tengah hedonisme kemudaan mereka.

Kebiasaan untuk malas berpikir ini menjadi alasan lain sepinya forum-forum diskusi mahasiswa, nihilnya pemikiran kritis dan solutif kaum akademisi, dan pada akhirnya justru ramainya aksi anarkhi kaum ini. Aksi kekerasan, yang secara memasyarakat dikampanyekan para pemain OVJ dalam slapstick mereka, diperankan kembali dengan lebih baik oleh para mahasiswa dalam beberapa demonstrasi ‘panas’ yang pemberitaannya dapat dengan mudah kita akses di media lokal dan nasional.

Menjamurnya humor slapstick sedikit tercerahkan dengan format baru komedi yang dinilai lebih mengutakaman wawasan intelektual, Stand Up Comedy. Tayangan berbentuk narasi ‘lucu’ tunggal para comic (penyampai humor) tersebut secara frontal mengkritisi isu-isu politik, sosial, hukum, ras, bahkan agama, dalam balutan komedi satire. Akan tetapi, beberapa pihak menilai bentuk ‘humor kritis’ ini sebagai konsumsi ekslusif pihak tertentu. Persis dengan penilaian mereka tentang budaya akademik kampus. Menjadi aktif dalam forum diskusi, membaca jurnal, mengkritisi perkuliahan, melakukan riset, dan kegiatan ‘akademik’ lain sebagai sesuatu yang ekslusif bagi mahasiswa tertentu.

Pada akhirnya, dalam bentuk apapun, tayangan komedi tidak lepas dari industri hiburan. Adalah kebijakan mahasiswa sebagai agen perubahan (agent of change) untuk menentukan bentuk paling pas dalam mengubah kejenuhan rutinitas dengan hiburan yang mencerahkan. Jika para agen perubahan itu memilih bersetia dengan komedi slapstick, bukan akankah kampus berubah menjadi pentas besar OVJ, di mana ‘Dosennya bingung, mahasiswanya bingung. Yang penting bisa tertawa’?

--

btw kualitas foto yang saya kirim (bukan objeknya yaa) jelek, jadi ga pake foto deh di korannya. it's okay, kan ukhtiy :p

6 comments:

  1. subhanallah..barakallah mb..:)
    jdi pengen banget belajar nulis (ambigu ya)..:D
    biar bisa jadi jurnalistik..
    lanjutkan ya mb..!!

    ReplyDelete
    Replies
    1. makasih nur syamsiyah, udah berkunjung.
      maaf baru sempat nengok blog,
      salam kenal :)

      Delete
  2. wah ternyata yg nulis tulisan ini anak temen ED tho..
    kereennn..

    ReplyDelete
    Replies
    1. wah kayaknya budaya ini universal ya: semakin keren semakin merunduk :)) *nunjuk ke atas
      matur nuwun mas pondra

      Delete