March 11, 2012

Bermain-main dengan Iman




“Kenapa Tuhan merasa perlu menciptakan manusia?”

Pesan singkat yang dikirim teman pagi itu sukses menggalaukan hari saya. Kalau dijawab ‘untuk menjadi khalifah di bumi’ dan seterusnya saya rasa tidak begitu sesuai karena akan melahirkan pertanyaan senada, “Kenapa Tuhan merasa perlu menjadikan manusia khalifah di bumi?”

Pertanyaan ini menjadi sulit karena selama ini manusia belajar mengenai hal abstrak seperti ini melalui pendekatan mereka; pola pikir manusia sebagai ciptaan. Bukan dari sudut pandang Tuhan sebagai pencipta. Saya lalu mencari jawaban dari beberapa teman sebagai bahan pengayaan pemahaman.

Karena Tuhan kesepian. Jawaban absurd pertama yang saya terima dan menjadikan saya melongo. Bukan karena saya tidak pernah berpikir serupa, melainkan karena jawaban-jawaban sebelumnya selalu bermuara pada kolam kerahasiaan ilmu langit.

Jawaban lain menyatakan Tuhan sebagai Mahaguru. Untuk menjadi guru, seseorang harus mempunyai murid. Jawaban ini sedikit ‘lebih’ religius karena dalam kitab-Nya saya menemukan ayat yang menceritakan bagaimana Dia mengajari manusia banyak hal.

Tuhan hidup karena disembah. Jawaban ini adalah bentuk tafsir bebas yang merujuk pada tujuan penciptaan jin dan manusia: untuk menyembah Tuhan. Saya tentu tidak berharap lebih banyak orang berpikir mmengenai konsep ini karena pada akhirnya mereka akan berhenti pada pertanyaan baru: kenapa Tuhan bermain-main dengan kehidupan? Kenapa pula Dia ciptakan skenario besar dengan dua opsi sebagai titik akhir permainan? Konsep surga dan neraka menjadi sangat menyebalkan pada titik ini.

Dalam tulisan seorang teman terlihat jelas bagaimana dia sangat memuja Tuhan dengan agama yang tidak memerlukan manusia untuk melindunginya dan seterusnya. Maka, dengan pemikiran seperi itu Tuhan nampaknya benar-benar tidak membutuhkan manusia. Manusia lah yang membutuhkannya. Lantas kenapa Tuhan menciptakan makhluk yang tidak Dia butuhkan?

Setelah menghabiskan pagi dengan beberapa diskusi, pada akhirnya saya kembali pada aturan main yang telah Dia tetapkan dalam kitab. Ada pertanyaan-pertanyaan yang tidak perlu dijawab (bahkan diajukan) karena akan merusak keimanan. Tentu jika pertanyaan-pertanyaan itu muncul sebelum Qur’an sepenuhnya diturunkan, Dia akan menjawab melalui firman-Nya.

Dahsyatnya kepercayaan umat terdahulu tampak pada keyakinan atas konsep penciptaan dalam Qur’an Surat Al Alaqah. Pada saat itu, ilmu kandungan belum diperkenalkan sementara Eropa masih berada dalam masa kegelapan mereka dan para ilmuwan Islam pun belum lahir. Namun keimanan para sahabat pada Rasul mengantar kita pada penemuan ilmu tersebut saat ini.

Derajat keimanan kita pada ayat tersebut (setelah adanya bukti ilmiah) tentu berbeda dengan para sahabat. Karena kepercayaan pertama yang sesungguhnya adalah saat seseorang mempercayai tanpa bisa menjelaskan alasan dan buktinya.

Kalau sahabatmu dituduh mencuri sementara kau tidak mengetahui buktinya dan kau mempercayainya begitu saja, itulah kepercayaan. Tetapi kalau kau baru mempercayainya saat semua bukti tidak mengarah padanya, kau ‘boleh’ sebut itu percaya.

Seorang teman berkata senada. “Kamu tahu orang tua kamu adalah orang tua kandungmu?” Iya, jawabku yakin. “Tidak, kamu hanya percaya sebelum benar-benar tes DNA”.

Rasul telah membaca hadirnya masa ini; zaman di mana iman (keyakinan) benar-benar mahal. Bahkan beliau menyatakan ‘kehebatan’ kaum yang masih mempercayai dan bersungguh-sungguh berjuang menegakkan kalimat-Nya di saat dirinya tak lagi hadir secara fisik di bumi. Saat tak ada lagi contoh hidup yang benar-benar dapat diteladani karena para ulama sibuk berlomba antar-firqoh.

Agama ini telah memberikan sarana kebebasan berpikir dan mengeja Tuhan. Sejarah mencatat bagaimana Ibrahim membutuhkan waktu untuk mencari dan belajar mencintai tuhannya. Terlebih manusia. Dia mengizinkan kita mengenal-Nya melalui ciptaan agar kita merenunginya. Karena sebagai ciptaan, akal manusia seyogyanya mampu memahami ciptaan. Bukan Pencipta.

Terkadang saya begitu tergoda untuk bermain-main dengan keimanan. Aturannya gampang: cukup percayai sebuah konsep, lalu mulailah pencarian kebenaran konsep itu secara logis, dan kembali percaya pada konsep awal dengan pendekatan yang bertambah. Kalau jawaban logis tak didapat, kembali pasrah pada kepercayaan awal. Dosakah? Allahu ‘alam. Tetapi saya sadar penuh bahaya yang menyapa di balik permainan ini.
Saya paham bagaimana Dia berkehendak membolak-balikkan hati seorang hamba. Tidak ada yang dapat menjamin seorang ahli agama pagi ini akan tetap menjadi ahli agama di malam hari, dan sebaliknya. Kadang manusia merasa terlalu maha untuk menjadi takabur. Pada saat itu, konsep kebenaran yang seharusnya diyakini begitu saja akan tampak kabur dan selalu mengendapkan tumpukan pertanyaan.

*btw saya juga bingung mau ngasih gambar apa soal beginian. next time hunting foto dulu lah #sok2an

2 comments:

  1. Akhirnya dijawab sendiri ya.. :)
    NIce writing, btw. Keep up ur god work! ;)

    ReplyDelete
    Replies
    1. anyway, pls be careful in typing ur message.
      it can b troublesome saying 'god work', not 'good work' #gapenting

      Delete