March 23, 2012
My First Media ^^
ini artikel ke dua yang saya kirim ke media, dan menjadi yang pertama dimuat.
ini naskah asli yang belum diedit editornya Mimbar Mahasiswa Solopos, 20 Maret 2012 ~~
--
Yang Penting Bisa Tertawa
Tayangan komedi telah menjadi angin segar di antara berita politik, hukum, ekonomi, dan isu nasional lain yang bermuatan negatif. Kehadirannya hari ini tidak hanya sebagai alternatif hiburan dalam media massa, melainkan kebutuhan yang diperjuangkan. Hal ini memaklumkan antrian panjang di Stadion Sriwedari Surakarta pada Sabtu (17/3) lalu.
Berbagai lapisan masyarakat kota Solo ramai membicarakan rencana kehadiran mereka dalam Pargelaran Opera Van Java (OVJ), tayangan komedi wayang orang modern yang sedang menjadi pembicaraan publik. Dikatakan seseorang tidak up to date jika tidak mengenal gombalan “Bapak kamu” ala Andre atau hubungan ‘asmara’ Nunung-Azis. Pesonanya sebagai produk media sukses membentuk budaya baru dalam masyarakat kita, tidak terkecuali kaum akademisi berlabel mahasiswa. Tidak sedikit dari mereka yang terlibat euforia roadshow tersebut. Bahkan dalam tayangan sehari-hari, dapat disaksikan kampus-kampus dengan almamater berbeda secara bergantian mengisi kursi penonton di studio Trans7 itu. Namun, tanpa disadari candu program humor favorit versi Panasonic Gobel Award 2011 ini secara perlahan melunturkan budaya akademik masyarakat kampus.
OVJ dikenal sebagai tayangan komedi slapstick yang mengandalkan penderitaan orang lain untuk melahirkan tawa penonton. Tidak asing lagi bagi kita adegan Azis yang menjadi objek penderita favorit dipukuli dengan styrofoam atau dijejali tepung saat menguap. Pun dengan humor rasis Sule yang mengangkat bentuk fisik, warna kulit, dan dialek kedaerahan sebagai bahan eksplorasi. Ironisnya, penderitaan fisik dan psikis para objek penderita lah yang menjadi bahan bakar tawa penonton.
Budaya ‘Senang Orang Susah dan Susah Orang Senang (SOS)’ dalam tayangan pilihan mahasiswa itu berpengaruh dalam pergaulan kampus. Orientasi Kampus yang mengharamkan kekerasan fisik tentu tidak dapat menyediakan kesempatan penyiksaan styrofoam seperti pada OVJ. Tetapi pemberian hukuman ‘lucu-lucuan’ yang berangkat dari prinsip SOS masih dapat dijumpai hingga hari ini. Label mahasiswa ‘cupu’ atau ‘kaku’ pada mereka yang tidak membantah saat dihina menjadi bagian dari budaya kampus hari ini.
Fenomena tersebut sejalan dengan komedi yang dinilai sebagai salah satu alat propaganda. Di Inggris dan Amerika, (Medhurst, 2007, A National Joke: Popular Comedy and English Cultural Identities) komedi digunakan untuk mengampanyekan gaya hidup gay, lesbian, dan biseksual agar menjadi umum dan diterima masyarakat. Melihat keadaan masyarakat saat ini, budaya kekerasan yang ‘dikampanyekan’ melalui humor slapstick telah sukses menjadi bagian masyarakat, termasuk mahasiswa. Bahkan mereka yang tidak bersikap seperti kesepakatan mainstream (untuk ber-SOS) akan dinilai ‘salah’ dan tidak wajar.
Sebagai tayangan slapstick, OVJ menjadi favorit penduduk Indonesia karena humornya yang begitu memasyarakat. Tidak diperlukan otak cemerlang untuk bisa mencerna adegan terpelesetnya para pemain karena properti hancur yang berserakan. Penonton hanya tahu (dan beranggapan) “yang ini jatuh beneran dan pasti sakit sekali” sebelum memutuskan untuk tertawa lepas. Benar-benar menghayatinya seolah dengan menertawakan penderitaan ‘yang dibuat-buat’ itu segala beban hidup akan berkurang.
Budaya pragmatis mahasiswa, termasuk dalam memilih humor yang tidak memerlukan pemikiran ini, berimplikasi pada sunyinya kelas-kelas perkuliahan. Bagi mahasiswa pecinta komedi pragmatis seperti OVJ, tidak diperlukan pemikiran mendalam untuk mendapatkan nilai baik. Cukup hapalkan materi presentasi dan buku teks, dan jangan berharap terlalu tinggi untuk predikat A. Mendapat nilai pas-pasan dan memiliki banyak waktu untuk nongkrong menjadi lebih memasyarakat bagi mereka. Mahasiswa yang berusaha menghidupkan iklim akademik akan dianggap ‘pembantu baru’ karena banyak bertanya, sesuai predikat yang sering digunakan dalam humor OVJ. Pada akhirnya kuliah-kuliah dengan beban analisis lebih dan dosen-dosen kritis perfeksionis menjadi mimpi buruk di tengah hedonisme kemudaan mereka.
Kebiasaan untuk malas berpikir ini menjadi alasan lain sepinya forum-forum diskusi mahasiswa, nihilnya pemikiran kritis dan solutif kaum akademisi, dan pada akhirnya justru ramainya aksi anarkhi kaum ini. Aksi kekerasan, yang secara memasyarakat dikampanyekan para pemain OVJ dalam slapstick mereka, diperankan kembali dengan lebih baik oleh para mahasiswa dalam beberapa demonstrasi ‘panas’ yang pemberitaannya dapat dengan mudah kita akses di media lokal dan nasional.
Menjamurnya humor slapstick sedikit tercerahkan dengan format baru komedi yang dinilai lebih mengutakaman wawasan intelektual, Stand Up Comedy. Tayangan berbentuk narasi ‘lucu’ tunggal para comic (penyampai humor) tersebut secara frontal mengkritisi isu-isu politik, sosial, hukum, ras, bahkan agama, dalam balutan komedi satire. Akan tetapi, beberapa pihak menilai bentuk ‘humor kritis’ ini sebagai konsumsi ekslusif pihak tertentu. Persis dengan penilaian mereka tentang budaya akademik kampus. Menjadi aktif dalam forum diskusi, membaca jurnal, mengkritisi perkuliahan, melakukan riset, dan kegiatan ‘akademik’ lain sebagai sesuatu yang ekslusif bagi mahasiswa tertentu.
Pada akhirnya, dalam bentuk apapun, tayangan komedi tidak lepas dari industri hiburan. Adalah kebijakan mahasiswa sebagai agen perubahan (agent of change) untuk menentukan bentuk paling pas dalam mengubah kejenuhan rutinitas dengan hiburan yang mencerahkan. Jika para agen perubahan itu memilih bersetia dengan komedi slapstick, bukan akankah kampus berubah menjadi pentas besar OVJ, di mana ‘Dosennya bingung, mahasiswanya bingung. Yang penting bisa tertawa’?
--
btw kualitas foto yang saya kirim (bukan objeknya yaa) jelek, jadi ga pake foto deh di korannya. it's okay, kan ukhtiy :p
March 11, 2012
Bermain-main dengan Iman
“Kenapa Tuhan merasa perlu menciptakan manusia?”
Pesan singkat yang dikirim teman pagi itu sukses menggalaukan hari saya. Kalau dijawab ‘untuk menjadi khalifah di bumi’ dan seterusnya saya rasa tidak begitu sesuai karena akan melahirkan pertanyaan senada, “Kenapa Tuhan merasa perlu menjadikan manusia khalifah di bumi?”
Pertanyaan ini menjadi sulit karena selama ini manusia belajar mengenai hal abstrak seperti ini melalui pendekatan mereka; pola pikir manusia sebagai ciptaan. Bukan dari sudut pandang Tuhan sebagai pencipta. Saya lalu mencari jawaban dari beberapa teman sebagai bahan pengayaan pemahaman.
Karena Tuhan kesepian. Jawaban absurd pertama yang saya terima dan menjadikan saya melongo. Bukan karena saya tidak pernah berpikir serupa, melainkan karena jawaban-jawaban sebelumnya selalu bermuara pada kolam kerahasiaan ilmu langit.
Jawaban lain menyatakan Tuhan sebagai Mahaguru. Untuk menjadi guru, seseorang harus mempunyai murid. Jawaban ini sedikit ‘lebih’ religius karena dalam kitab-Nya saya menemukan ayat yang menceritakan bagaimana Dia mengajari manusia banyak hal.
Tuhan hidup karena disembah. Jawaban ini adalah bentuk tafsir bebas yang merujuk pada tujuan penciptaan jin dan manusia: untuk menyembah Tuhan. Saya tentu tidak berharap lebih banyak orang berpikir mmengenai konsep ini karena pada akhirnya mereka akan berhenti pada pertanyaan baru: kenapa Tuhan bermain-main dengan kehidupan? Kenapa pula Dia ciptakan skenario besar dengan dua opsi sebagai titik akhir permainan? Konsep surga dan neraka menjadi sangat menyebalkan pada titik ini.
Dalam tulisan seorang teman terlihat jelas bagaimana dia sangat memuja Tuhan dengan agama yang tidak memerlukan manusia untuk melindunginya dan seterusnya. Maka, dengan pemikiran seperi itu Tuhan nampaknya benar-benar tidak membutuhkan manusia. Manusia lah yang membutuhkannya. Lantas kenapa Tuhan menciptakan makhluk yang tidak Dia butuhkan?
Setelah menghabiskan pagi dengan beberapa diskusi, pada akhirnya saya kembali pada aturan main yang telah Dia tetapkan dalam kitab. Ada pertanyaan-pertanyaan yang tidak perlu dijawab (bahkan diajukan) karena akan merusak keimanan. Tentu jika pertanyaan-pertanyaan itu muncul sebelum Qur’an sepenuhnya diturunkan, Dia akan menjawab melalui firman-Nya.
Dahsyatnya kepercayaan umat terdahulu tampak pada keyakinan atas konsep penciptaan dalam Qur’an Surat Al Alaqah. Pada saat itu, ilmu kandungan belum diperkenalkan sementara Eropa masih berada dalam masa kegelapan mereka dan para ilmuwan Islam pun belum lahir. Namun keimanan para sahabat pada Rasul mengantar kita pada penemuan ilmu tersebut saat ini.
Derajat keimanan kita pada ayat tersebut (setelah adanya bukti ilmiah) tentu berbeda dengan para sahabat. Karena kepercayaan pertama yang sesungguhnya adalah saat seseorang mempercayai tanpa bisa menjelaskan alasan dan buktinya.
Kalau sahabatmu dituduh mencuri sementara kau tidak mengetahui buktinya dan kau mempercayainya begitu saja, itulah kepercayaan. Tetapi kalau kau baru mempercayainya saat semua bukti tidak mengarah padanya, kau ‘boleh’ sebut itu percaya.
Seorang teman berkata senada. “Kamu tahu orang tua kamu adalah orang tua kandungmu?” Iya, jawabku yakin. “Tidak, kamu hanya percaya sebelum benar-benar tes DNA”.
Rasul telah membaca hadirnya masa ini; zaman di mana iman (keyakinan) benar-benar mahal. Bahkan beliau menyatakan ‘kehebatan’ kaum yang masih mempercayai dan bersungguh-sungguh berjuang menegakkan kalimat-Nya di saat dirinya tak lagi hadir secara fisik di bumi. Saat tak ada lagi contoh hidup yang benar-benar dapat diteladani karena para ulama sibuk berlomba antar-firqoh.
Agama ini telah memberikan sarana kebebasan berpikir dan mengeja Tuhan. Sejarah mencatat bagaimana Ibrahim membutuhkan waktu untuk mencari dan belajar mencintai tuhannya. Terlebih manusia. Dia mengizinkan kita mengenal-Nya melalui ciptaan agar kita merenunginya. Karena sebagai ciptaan, akal manusia seyogyanya mampu memahami ciptaan. Bukan Pencipta.
Terkadang saya begitu tergoda untuk bermain-main dengan keimanan. Aturannya gampang: cukup percayai sebuah konsep, lalu mulailah pencarian kebenaran konsep itu secara logis, dan kembali percaya pada konsep awal dengan pendekatan yang bertambah. Kalau jawaban logis tak didapat, kembali pasrah pada kepercayaan awal. Dosakah? Allahu ‘alam. Tetapi saya sadar penuh bahaya yang menyapa di balik permainan ini.
Saya paham bagaimana Dia berkehendak membolak-balikkan hati seorang hamba. Tidak ada yang dapat menjamin seorang ahli agama pagi ini akan tetap menjadi ahli agama di malam hari, dan sebaliknya. Kadang manusia merasa terlalu maha untuk menjadi takabur. Pada saat itu, konsep kebenaran yang seharusnya diyakini begitu saja akan tampak kabur dan selalu mengendapkan tumpukan pertanyaan.
*btw saya juga bingung mau ngasih gambar apa soal beginian. next time hunting foto dulu lah #sok2an
Barter!
Seseorang tampak tenang ketika delapan flashdisk bermuatan 24 gigabytes diserahkan padanya. Namun perasaan ‘biasa saja’ itu berubah ketika didapatinya kedelapan flashdisk itu kosong. Artinya, tidak ada barter seperti perjanjian. Dia hanya akan memberi banyak film tanpa mendapatkan sesuatu selain kemungkinan pahala jika berhasil ikhlas.
Tentu saja konsep keikhlasan itu gagal diraihnya dengan kalimat-kalimat balas budi yang diajukan pada peminta film itu kemudian. Peminta bahkan tidak merasa bersalah saat kolektor film itu berulang kali menyebut ‘barter’ sebagai aturan main transaksi. Sebagai peminta, dia tidak merasa kolektor itu butuh film-film darinya. Toh, selama ini dia yang selalu meminta. Toh, sebagai pemilik –dengan derajat koleksi yang lebih– kolektor itu tentu memiliki semua yang diberikan pada peminta. Secara ekstrim, jika kolektor itu Maha dan peminta itu hamba, maka tidak sepantasnya Sang Maha meminta pada hamba, pikirnya. Peminta itu lupa, dalam bentuk kehidupan paling primitif pun konsep balas budi telah lama diterapkan.
Barter dikenal sebagai bentuk perniagaan pertama yang sederhana; pertukaran barang dengan barang. Untuk dapat melakukannya, pihak yang terlibat harus membutuhkan barang dari pihak lain sekaligus memiliki barang yang dibutuhkan pihak lain. Kondisi semacam ini dapat disebut simbiosis mutualisme, hal yang sering tidak disadari keberadaannya dalam kehidupan berislam.
Sebagai peminta, seorang hamba seringkali merasa tidak perlu berbarter dengan Tuhannya. Dia hanya menerima tanpa memberi. Konsep lain bahkan menyebut Tuhan yang membutuhkan sesuatu dari hambanya tidak pantas dituankan; maka carilah Tuhan yang baru. Kaum ini mungkin lupa bagaimana bersikap sebagai hamba yang baik. Sebagai manusia mereka bahkan terus menagih jawaban atas pertanyaan-pertanyaan menjebak yang mereka berikan. Mereka kemudian menyebut kaum di luar mereka tidak berilmu jika jawaban tidak memuaskan yang didapat. Jika menjadi hamba berarti menjadi peminta sejati, konsep hak-kewajiban sudah pasti mati pada titik ini.
Dia mencintai perniagaan sebagai bentuk ajaran mulia yang dikenal dunia sebagai balas budi. Dia tidak mengharap balasan dari mereka yang tidak berbudi, tetapi Dia memberikan kebaikan pada semua makhluk. Maka hanya mereka yang memiliki rasa malu pada konsep kemanusiaan yang berusaha mengeja kehidupan langit. Jika pada manusia tak pernah terbersit keinginan seseorang untuk membalas kebaikan, maka tak perlu berusaha meyakinkannya membalas kebaikan Tuhannya, karena selamanya perhitungan langit dan bumi tidak akan bertemu.
Kebaikan-kebaikan bumi, dalam titik kecil zarah pun akan mendapatkan balasan (tidak hanya penilaian) langit. Sebaliknya, keberadaan bumi seisinya masih tak menggerakkan penghuninya membalas kasih Pencipta. Saya tentu tidak sedang membicarakan mereka yang berpikir konsep penciptaan mereka tidak berkaitan dengan Pencipta yang mengatur, meskipun kaum ini sangat mengenal sistem barter dalam kehidupan dunia mereka. Saya ingin bercerita tentang mereka –dan mungkin saya– yang meyakini keberadaanNya, mengakuiNya sebagai Pencipta yang mengatur, begitu percaya diri mencintaiNya, tetapi berhenti pada hati. Tak ada bekas pada lisan, terlebih perbuatan.
Pada masa di mana keseriusan beragama dinilai berbahaya, orang-orang sebisa mungkin menyembunyikan identitas keislamannya. Tidak ada jilbab, yang penting pakaian rapi. Tidak ada kajian agama, yang penting berkegiatan sosial. Tidak ada hukum Islam, yang penting hukum islami. Tidak ingin dianggap kolot dengan penerapan kitab dan sunnah. Tidak melakukan sesuatu yang tertulis sebagai barter untuk Tuannya, tetapi terus mengais kasih lalu menutup mata pada jawaban doa dariNya.
Dalam peradaban manusia modern, seorang akan dihargai saat dia bersedia menghargai orang lain. Seseorang akan dinilai bermartabat saat dia mau memberi, tidak sekedar menampung pemberian. Konsep ini dikenal Islam dalam beberapa ayatnya perihal perniagaan yang berbuah tak hanya kehidupan surga melainkan kemuliaan hidup. Dalam 2:245, 4:86, 9:111, 47:7, 62:10-14, dan 99:7-8, misalnya, Dia mengajarkan bagaimana sebuah kebaikan selayaknya berbalas kebaikan. Bagi saya, berbakti kepada Pencipta bukanlah perihal ‘siapa yang Maha maka dia yang memberi’ melainkan usaha memanusiakan manusia.
Tanpa memberi, manusia tak lebih dari pengemis muda di ujung jalan yang berdiam menunggu seorang dermawan mendatanginya dengan kotak makanan atau segepok uang. Banyak orang memandang rendah kaum ini (peminta, muda, tanpa usaha) dengan tidak menyadari bentuk lain kaum ini yang terinternalisasi dalam diri masing-masing. Tanpa kebaikan untuk Pencipta, berdiam dalam keluhan, dan terus meminta. Tanpa barter.
btw gambarnya dari sini
kalau dilihat dari tumpukannya sih ga terlalu banyak gitu =3=
Berhenti Ikhlas!
“Nggak ikhlas,” kata seorang wanita pada pria yang mengaku berubah lebih baik agar dapat lebih dekat dengan wanita tersebut. Lelaki itu kemudian tidak melakukan satupun kebaikan karena takut semua yang diperbuatnya tidak berdasarkan keikhlasan.
Ikhlas menjelma dalam berbagai nasihat berbalut kata sabar dan rela dalam kalimat kehilangan dan penerimaan. Namun sejatinya makna ikhlas dan keberadaannya begitu abstrak hingga bahkan hati pun tidak dapat merasakannya. Konon jika seseorang merasakan – terlebih menyatakan – dirinya telah ikhlas maka sesungguhnya keikhlasan itu tidak menyertainya. Begitu tinggi dan sulit rasa ini terbentuk sehingga bahkan untuk menilainya pun kita tak akan mampu.
Ada yang menyarankan berlaku ikhlas dengan bercermin pada perasaan tidak terbebani saat kita (maaf) buang angin atau hajat. Tetapi bagi saya kedua hal tersebut tentu bukan perilaku ikhlas, karena perasaan tidak terbebani itu lahir sebagai wujud kelegaan karena dapat membuang sesuatu yang tidak ingin disimpan terlalu lama. Sedangkan saat seseorang diharuskan ikhlas dan dia rasakan kesulitan, biasanya dia tidak ingin melepaskan (mengikhlaskan) hal tersebut.
Lantas seperti apakah standar keikhlasan seseorang?
Ada yang meyakini segala sesuatu yang dilakukan tanpa maksud tertentu melainkan mencari keridhoan-Nya dapat disebut ikhlas. Namun apakah pencarian ridho tersebut benar-benar tidak termasuk sebuah tujuan? Manusia melakukan sesuatu, apapun itu, tentu didasari motif atau alasan khusus. Terlebih kadang kita memerlukan sikap realistis dengan menjadikan alasan tersebut sesuatu yang konkrit. Pada titik ini, sebuah perbuatan yang dinyatakan bermuatan ikhlas karena hanya mengharap penerimaan Tuhan menjadi ambigu. Bagaimana kemudian kita dapat mengetahui perbuatan kita berterima dengan kehendak Tuhan? Bahkan saat kita mulai mempertanyakan hal tersebut, muatan ikhlas dalam ‘pencarian ridho-Nya’ seketika terhapus.
Demi sesuatu bernama logika, manusia kemudian menyertakan pahala sebagai motif perbuatan seseorang dalam ‘pencarian ridho-Nya’. Meskipun poin kedua ini masih abstrak dalam wujud dan penghitungannya, opsi melakukan perbuatan yang berpahala sebagai bonus ‘keikhlasan’ cukup populer. Namun pertanyaan lain lahir, apakah sesuatu yang dilakukan untuk mendapatkan pahala dapat dinyatakan mengenal keikhlasan?
Ikhlas menjadi semakin ghaib seiring setiap motif yang menyertai suatu perbuatan dapat melukai esensinya. Maka apabila seluruh alasan manusia bertindak menjadikan perbuatan tersebut tidak bernilai (karena tidak ikhlas), tidak akan ada perbuatan karena mereka yang takut tidak ikhlas enggan melakukan sesuatu tanpa motif. Sementara setiap gerak memerlukan alasan.
Seseorang yang tuli melakukan kebaikan tanpa mendengar penilaian orang lain atas motif perbuatannya. Akibatnya dia tidak akan berhenti menjadi baik karena tidak teracuni pemikiran manusia yang mencoba menilai keikhlasan dalam perbuatannya. Dalam kasus ini, beberapa pihak bahkan menilai seorang tuli ini sebagai orang yang ikhlas, karena dia tetap melakukan sesuatu tanpa mengkhawatirkan penilaian manusia. Dia yang bahkan tidak peduli akan seperti apa penilaian Tuhan padanya menjadi leluasa berbuat baik.
Seperti anak kecil yang dengan senang hati membagi es krim pada kawannya, tanpa peduli penilaian para orang tua yang akan menyebutnya ‘anak baik’ atau Tuhan yang akan memberinya pahala kebaikan – karena bahkan dia belum paham kata sakral bernama agama.
Jika pada kasus teratas pemuda tersebut tetap melakukan proses menjadi baik karena mengetahui wanita yang disukainya berminat hanya pada pria baik, keadaan akan jauh lebih indah. Mereka yang memuja keikhlasan mungkin akan mencaci niat perubahan pemuda tersebut: mendekati kebaikan hanya karena cinta manusia. Tetapi bukankah kita sangat paham penilaian niat merupakan hak mutlak Tuhan? Dia bahkan sangat baik dengan memberikan kesempatan kedua.
Dinyatakan jika seseorang memasuki Islam karena harta maka ia dapatkan itu. Jika seseorang memasuki Islam karena jabatan akan ia dapatkan pula. Namun pada rentang terakhir tiap firman-Nya, Dia selalu baik dengan segala kalimat terbuka dalam kitabnya. Setiap perubahan motif dalam perbuatan akan mendapatkan perubahan penilaian langit kecuali sebelum detik terakhir nafas. Maka apabila seseorang yang menjadi baik karena lawan jenis dinilai tidak memiliki keikhlasan beriman sementara dia terus berusaha menjadi baik hingga pada akhirnya motif asmara itu berubah bahkan hilang, di sinilah kuasa langit berperan. Orang tersebut tidak kemudian menjadi selamanya berdosa karena ketidak-ikhlasan pada langkah awalnya.
Ikhlas bukanlah sebuah anugerah Tuhan pada orang-orang tertentu yang kepemilikannya bertahan hingga kematian. Dalam kehidupan, menjadi ikhlas adalah lingkaran proses pembelajaran tanpa titik pencapaian yang nyata. Menyadari abstrak ini begitu besar, maka rentang hidup seseorang akan menjadi terlalu sia untuk memikirkan keikhlasan di setiap lakunya. Akan lebih mudah bagi manusia dengan kapasitas rasa dan pikir minimal untuk terus bergerak. Dengan ataupun tanpa keikhlasan, perbuatan baik harus tetap mewarnai birunya bumi ini. Karena ikhlas tidak abadi dan penilaian mutlak berada pada Pemberi rasa tersebut, mari berhenti (mengeja) keikhlasan!
*btw saya bingung menggambarkan keikhlasan, jadi maaf kalau gambarnya sedikit gak nyambung. tapi kan pantai terkenal dengan 'pelepasan suntuk'nya, jadi ibaratnya kalau udah ikhlas tuh gak lagi suntuk. hehehe *maksaa
Subscribe to:
Posts (Atom)