November 19, 2012

Kambing Hitam dalam Kelompok




Ada yang mengatakan, saat hati begitu keras hingga air mata tak lagi dapat menetes, diindikasikan keimananmu sedang sakit. Ketika saat itu tiba, kunjungilah saudara seimanmu. Maka kau akan dapatkan energi positif penyembuh sakit itu. Kau akan kembali sanggup menangis.

Nasihat di atas berupaya melunakkan kerasnya hati dengan silaturahmi; karena pada setiap perjalanan ada pelajaran untuk diambil hikmah. Pada tiap sapa dan rangkulan ukhuwah terdapat kasih yang lantas berbenih. Menggetarkan hati hingga aliran lembut menetes menyadari lemahnya iman.

Kunjungan selalu penuh dengan obrolan. Cerita perjalanan dan pengalaman penuh hikmah. Mereka yang pemula belajar pada pilot dengan jam terbang tinggi. Mereka yang umat berguru pada umara. Lantas kisah-kisah teladan diuraikan sebagai pemantik rasa malu pada Pencipta. Untuk hanya berdiam diri. Untuk hanya mempertanyakan konsep. Untuk tidak sehebat mereka. Dan tujuan menangis pun tercapai dalam sujud-sujud doa setelah perpisahan.

Tetapi terkadang tidak selalu tangis keimanan yang tercipta paska-kunjungan. Bukan berarti tak ada tangis yang meluluhkan hati dengan bertemu dengan para ikhwah. Tetapi yang diharapkan tentu bukan tangis karena perbedaan dan jeda panjang yang senantiasa memisahkan hati. Pada setiap pertemuan, tiap insan mencoba melompati jeda itu. Namun selalu saja keduanya terjatuh dalam jurang di tengahnya. Dan untuk kesadaran pada lemahnya ikatan, perbedaan yang tertutup tampilan, dan keyakinan yang melindungi kegalauan; Pada tiap kunjungan, selalu tersedia air mata.

Menjadi kolektivis tidaklah mudah. Jika identitasmu bukanlah ideal mainstream, kau harus melebur. Kecuali kau sudah di tangga teratas. Karena bagi kolektivis, identitas individu adalah refleksi identitas kelompok.

Islam sangat sensitif dalam konsep kelompok. Menjadi Islam berarti menjadi bagian kelompok, sama seperti saat kau memutuskan menjadi bagian agama lain. Orang-orang kemudian merumuskan identitas Islam: memakai peci dan baju koko, berjenggot, memiliki tanda hitam di dahi, berjilbab, lemah lembut. Mereka di luar identitas itu bukanlah muslim ideal. Dalam kelompok, ia adalah kambing hitam di tengah putihnya domba.

Idealnya, kelompok ini tidak akan menjadikan kambing hitam sebagai pemimpin koloni. Penerimaan domba atasnya pun sebatas tanggung jawab moral menyelamatkan kambing yang tersesat dalam perjalanan merumput. Kebetulan tujuan mereka sama, dan tenaga kambing hitam dapat dimanfaatkan bagi kelompok itu. Maka jadilah kambing hitam bagian kelompok domba, karena tujuan dan perasaan sebagai sejenis bernasib yang sama.

Tetapi memilih untuk tetap menjadi kambing hitam di antara domba tentunya tidak mudah, bahkan dengan gencarnya kampanye posmodernisme yang menjunjung identitas minoritas: you are you; you are what mainstream has no talks about. Di atas tingginya semangat kolektivitas, kambing hitam harus membunuh kebutuhan aktualisasi dirinya di tengah kelompok. Terlebih dengan ancaman “terbunuh serigala dengan paling mudah” karena perbedaan mencoloknya dalam kelompok. Maka melebur menjadi domba pun dilaksanakan atas nama pertahanan diri.

Apakah Umar berusaha menjadi Abu Bakar setelah keputusannya memasuki koloni? Iya, dalam hal sedekah harta (yang pada kenyataannya dilarang Rasulullah). Tetapi tidak dalam hal identitas. Semangat kolektivitas pada zaman Nabi tidak serta merta mencetak generasi kloning Rasulullah. Itulah mengapa dalam kisah-kisah kita kemudian mengenal sebutan-sebutan identik para sahabat. Bahkan sejarah yang sering dinilai subyektif pun mengamini, bahwa mereka yang berbeda tetap tercatat. Bukan sebagai nama, tetapi identitas perbuatan. Mereka yang tetap berani menjadi kambing hitam dalam koloni pun masih mampu memberi kemanfaatan tanpa harus menjelma domba.

Namun menjadi kambing hitam di sepanjang perjalanan akan sangat melelahkan sekaligus menyesakkan. Menyadari perbedaan dan (terkadang) penerimaan yang tidak sama membuatnya membutuhkan ekstra oksigen untuk bernafas. Lantas kambing hitam memilih untuk menyendiri. Entah di depan, belakang, atau samping barisan. Setidaknya dengan sendiri ia akan punya waktu lebih untuk menjadi dirinya sendiri. Tentu saja para domba pun sering kesal demi menuruti perbedaannya. Sementara mereka berkoloni, kambing hitam tidak. Tentu rasa kesal yang mereka rasakan bersama berbeda dengannya yang sendirian.

Maka, saat kesendirian mulai menyakitkan hingga hati begitu keras untuk menangis, kambing hitam mendekat pada barisan. Mengadakan kunjungan. Mendengar cerita-cerita. Memuja keteladanan. Menyadari perbedaan. Untuk kembali menemukan, kesendirian tidak mengubahnya menjadi domba. Masih ada sakit saat bertatap. Resah saat mendekap. Prasangka saat tak dekat. Lalu parameter kelembutan hati pun tercipta: kambing hitam menangis saat kembali dalam penyendiriannya.